MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #28

Bab 28 : Ghosting Gegara Hafiz

Memastikan Huasya dalam keadaan aman dan nyaman adalah prioritas Dipta, sudah ia lakukan. Kini Dipta kembali ke stelannya sebagai bagian dari tim bantuan investigasi kasus Hafiz. Setelah menangkap orang yang membuntuti Huasya tadi, Dipta segera mengirimkan penguntit itu ke kantor polisi terdekat dibantu oleh anggotanya yang ditugaskan mengawasi Huasya secara tertutup. 

Di sinilah Dipta saat ini, di kantor polisi untuk mengecek hasil pemeriksaan si penguntit. 

“Selamat sore, Pak Mayor,” sapa seorang polisi. 

“Sore, salam kenal, Pak. Saya Dipta Bramantya. Izin untuk mengetahui hasil interogasi sementara.” 

Sang polisi yang bertugas sebagai penyidik itu segera menjelaskan temuannya bahwa penguntit itu ada kaitannya dengan Hafiz Eka Kurniawan yang sedang masuk dalam daftar pencarian orang alias buron. Si penguntit ternyata sudah lama menjadi pesuruh Hafiz dalam melakukan hal-hal ilegal. Mereka ketahui hal itu dari ponsel dan bukti CCTV yang didapat sebelum penguntit mengincar Huasya. Kendati sudah diketahui namun si penguntit masih bungkam dan enggan mengakuinya. 

“Boleh saya minta data asli dari ponselnya? Saya harus bawa ke tim investigasi gabungan.”

“Boleh, Pak Mayor. Akan kami serahkan.”

Setelah menerima ponsel penguntit tadi, Dipta langsung kembali melajukan mobilnya menuju Kantor Sekjen Negara. Di tengah perjalanan ia menelepon timnya di kantor. 

“Tolong segera hubungi seluruh tim investigasi terutama tim siber. Kita harus segera menangkap Hafiz.” 

Entah apa yang dipikirkan Hafiz sampai berani kembali ke Indonesia dan mengirim orang untuk mengincar Huasya. Sepertinya karena sudah terpojok oleh tim pemburu internasional, kini ia lebih memilih kembali ke Indonesia. 

Tak butuh waktu lama bagi Dipta yang sudah tak lagi menampakkan lesung pipinya karena kondisi genting saat ini. Bukan hanya Huasya dan para saksi yang akan berada dalam bahaya. Jika Hafiz terus menjalankan rencananya untuk merebut data dan informasi litbang rahasia milik Indonesia, dalam skenario terburuk, setidaknya ia dan UC pasti akan menghancurkan Bulwark yang tentu saja harus dicegah. 

“Pertama cek kedatangan internasional terutama penerbangan dari Amerika yang menggunakan autogate di bandara. Kedua, kedatangan dari pelabuhan, bisa minta akses data ke BIN untuk cek imigran dan kapal barang dari bea cukai.” 

Dipta memimpin tim siber untuk melakukan investigasi, sementara ketua tim dan yang lainnya akan menyusul. Mereka juga sedang berkoordinasi dengan Menlu dan interpol soal Hafiz yang ternyata telah memiliki jaringan. Informasi yang didapat dari ponsel penguntit ternyata cukup untuk melacak jaringan tersebut. 

Berjam-jam mereka lacak keberadaan Hafiz sembari menggambar peta jejaring Hafiz dan kemungkinan markasnya. Dipta mendapat telepon dari BIN bahwa Hafiz masuk lewat jalur laut dan berlabuh di Pakuan. 

Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari sementara Dipta dan seluruh tim masih bekerja di ruang rapat integral ini.

“Meski kita bisa lacak dari jaringan dan lokasi yang diduga markasnya, tapi pencarian kita akan lebih cepat kalau si penguntit mau buka suara,” ujar Dipta. 

Semua orang menyetujui hal ini. Untuk efisienkan waktu pencarian dan agar Hafiz tidak memiliki waktu untuk keluar dari wilayah Pakuan, maka si penguntit harus bekerja sama dengan aparat. 

“Minta BIN kirim ahli negosiasi mereka ke kantor polisi tempat si penguntit diamankan,” ketua tim memutuskan. “Mayor Dipta, tolong hubungi ketua tim intel.” 

*****

Pagi ini seperti biasanya, Huasya ditelepon Mona untuk melaporkan kondisi terkini dirinya. Betapa terkejutnya Mona saat mengetahui Huasya kembali ke asrama Batalyon Infanteri 007. 

Rendra kembali bertanya, “Dipta ada bilang berapa lama mereka bisa tangkap Hafiz?” 

Huasya menggeleng cepat meski tak dapat dilihat orang tuanya. 

“Kalau hal seperti ini kan harusnya terukur dan terarah, Kak. Kakak harusnya tanya,” omel Rendra. 

Huasya kemudian memberikan pengertian pada Mona dan Rendra bahwa ia tak mau mengganggu proses pemburuan Hafiz. Ia juga tak mau memanfaatkan hubungannya dengan Dipta untuk mendapat informasi A1. Ia hanya akan menunggu informasi resmi yang biasa ia dapatkan dari Profesor Nina. Saat ini yang bisa Huasya lakukan hanyalah menunggu dan tidak mengganggu proses penangkapan. Tidak melakukan hal-hal yang berpotensi menambah masalah dan celah untuk Hafiz dan UC adalah usaha terbaik yang bisa Huasya lakukan. Maka dari itu, mulai hari ini ia akan menikmati hari-harinya di asrama. Ia juga berniat menyambangi asrama anggota batalyon yang sudah menikah yakni di sebelah selatan asramanya. Huasya mendengar di sana biasanya terdapat ibu-ibu Persit dan banyak kegiatan rutin yang diselenggarakan. 

Namun seperti biasa, niatnya tertahan karena tiba-tiba Rita menelepon Huasya dan itu menghabiskan waktu hampir dua jam. Huasya memang berjanji akan ke kampus hari ini namun apa daya ia harus mengamankan diri sementara waktu. Rita yang paham ketika Huasya menyebut sedang di asrama Dipta pun tak banyak bertanya. Lamanya waktu menelepon justru untuk membahas perkembangan hubungan Huasya dan Dipta. 

Sudah Huasya duga, Rita akan seheboh ini ketika tahu bahwa Dipta benar-benar memanjakan Huasya. Rita bahkan menyebutkan, selama ini Dipta selalu menyilangkan tangannya di depan saat berfoto dengan siapa pun ternyata tak lain adalah demi menjaga perasaan Huasya. 

“Apaan, sih?” Huasya berusaha menjaga citra. “Ya, tapi kalau bener sih, aku seneng!” Huasya tertawa renyah. 

Tenang saja, Huasya tak tertawa sendiri karena nyatanya Rita di sebrang sambungan sana sedang tergelak hingga tak bersuara dan kehabisan napas akibat terlalu bersemangat mengomentari Huasya dan Dipta. 

Sampai Huasya dibombardir pesan oleh Gea yang mengeluh tak bisa menelepon Huasya selama hampir dua jam, Huasya pun mengakhiri obrolannya dengan Rita. 

Pada dasarnya Huasya hanya mengubah sambungan saja, selebihnya waktu dan cara bercerita ia dengan Rita maupun dengan Gea dapat dikatakan sebelas-dua belas. Gea tak dapat menghentikan obrolan mereka hanya dalam waktu 10 menit saja. Gea benar-benar mencari tahu apa yang sedang terjadi dan dilakukan oleh Huasya. Sayangnya upayanya nihil. Gea yang merasa tak enak hati sejak kemarin benar-benar berfirasat kuat. Untung saja Huasya mampu mengalihkan banyak pertanyaan Gea pada topik yang lain. Huasya hanya mengatakan pada Gea bahwa ia baik-baik saja, dan Gea tak perlu cemas. 

Keesokan harinya, Huasya kembali beraktivitas sebagaimana mestinya di asrama tentara. Ikut berolahraga di pagi hari, dimulai dengan pemanasan, berlari, lalu belajar bela diri. Usai itu ia kembali ke kamar untuk beryoga mandiri guna kesejahteraan otot-ototnya yang belum terbiasa dipakai tinju. 

Bermeditasi setidaknya setengah jam juga dilakukan Huasya sebelum ia membersihkan diri. Bukan apa-apa, belakangan Huasya sulit tidur sehingga butuh menenangkan hati dan jiwanya. Namun tiba-tiba sebongkah memori terputar di kepalanya. 

Dipta mengecup pucuk kepalanya. 

Sungguh, Huasya masih tak dapat mencernanya dengan baik. Seolah itu hanya ilusi belaka yang tidak benar-benar terjadi. Hanya saja, memori ini terputar terlalu jelas sampai jantungnya terpacu dua kali lipat lebih cepat dari yang seharusnya. Bukannya rileks dan damai, huru-hara malah terjadi dalam dadanya. 

Seperti seorang pemikir pada umumnya, Huasya banyak menyusun pertanyaan yang membuat otaknya semakin banyak berpikir. Dimulai dengan apakah kemarin hanya delusinya saja? Apakah Dipta sungguhan adalah kekasihnya? Bagaimana bisa Dipta menyukai dirinya yang dinilai sendiri sebagai karakter wanita pada umumnya?

Semadinya gagal total! Ada baiknya jika nanti ia tanyakan langsung pada sang mayor kesayangan. Apalagi sebentar lagi Dipta akan berulang tahun, momen ini bisa ia jadikan kesempatan untuk bicara lebih banyak dengan Dipta. Sekarang lebih baik ia segera mandi dan mempersiapkan diri untuk evaluasi tesisnya secara daring bersama Profesor Nina. 

Sejurus kemudian Huasya sudah siap di hadapan laptopnya dan menunggu Profesor Nina masuk ke dalam ruang telekonferensi. Ketika masuk, hal yang pertama kali ditanyakan oleh Prof. Nina bukan mengenai tesis Huasya. 

“Mayor Dipta ada nengokin kamu nggak?” 

Huasya melongo ditanya demikian oleh dosen pembimbingnya. Namun ia tetap harus menjawabnya, bukan? 

“Nggak, Prof. Terakhir beliau hanya antar saya ke sini aja.” 

Profesor Nina tertawa lepas mendengar nada murung dari ucapan Huasya. Ia hanya menggoda Huasya namun sepertinya yang digoda justru berat hati mengingat hal tersebut. Pasalnya Dipta sudah dua hari tak menelepon dirinya, sementara dia segan untuk mengganggu Dipta. Begitu terus sampai ia dongkol sendiri. 

Perlahan Huasya kembali fokus pada Profesor Nina yang mulai membahas bab analisis hasil penelitian yang dibahas Huasya. Katanya benang merahnya sudah ada, analisis Huasya cukup tajam dan memberikan alternatif teori dan model baru yang aplikatif. Selanjutnya Profesor Nina hanya memberikan sedikit masukan untuk simpulan yang ditulis Huasya. 

“Bisa beres sehari, kan?” tanya Profesor Nina enteng. 

Huasya senyum terpaksa dengan kedua alis terangkat sebelum ia menjawab. 

“Bisa, Prof.” 

“Biar gak kepikiran Mayor Dipta terus. Jangan ya, Sya, jangan!” 

Huasya tersenyum tawar. Tak mengerti dari mana Profesor Nina bisa mengetahui tren "jangan ya dek ya, jangan" milik generasi alfa ini. 

Segera Profesor Nina menutup pertemuan mereka dan meninggalkan Huasya dalam keadaan termenung. Kini ia benar-benar sibuk dan tak ada waktu untuk mencari informasi apa pun mengenai Dipta dari Serka Lukman. 

Hingga tengah malam menjelang Huasya masih terpaku pada laptopnya. Ia tidak berniat keluar untuk mencari makanan karena masih memiliki roti dan susu di kamarnya yang diantarkan Serka Lukman tadi siang, katanya titipan Dipta. Hanya saja yang tak membuat Huasya paham adalah mengapa Dipta mengabaikan pesannya. Padahal pesannya terkirim dengan baik bahkan Serka Lukman dihubungi oleh Dipta untuk mengantarkan makanan kepadanya. 

Huasya masih mencoba berbaik sangka dan berpikir positif bahwa Dipta memang sangat sibuk. 

Tapi kan, aku Huasya! Aku pacarnya!

Cemas dirinya makin tenggelam pada kolam pikiran negatif yang tiada berujung, Huasya segera memikirkan hal lain, ia lupa belum mengganti alamat pengiriman untuk kado Dipta. Gegas ia membuka aplikasi belanja daringnya dan mengganti alamat ke asrama ini. Lusa sudah hari ulang tahun Dipta, ia hanya berharap kadonya bisa datang sebelum ia bertemu dengan Dipta. 

*****

Hari H Ulang Tahun Dipta 

Sejak subuh Huasya sudah bangun untuk mempersiapkan kejutan bagi Dipta. Ia sudah bersiap pergi keluar dari asrama untuk mencari kue dan makanan untuk para anggota saat nanti merayakan ulang tahun Dipta. Saat fajar berganti matahari, Huasya pun ikut berlari terlebih dulu seperti kemarin. Kini lari pagi dan melatih gerakan bela diri sudah menjadi agenda rutin setiap pagi. 

Usai berlatih, Huasya meminta izin pada Serka Lukman untuk keluar dari asrama hari ini. Ia mengatakan akan mencari kue ulang tahun untuk Dipta di sekitar kawasan Yonif 007. Ia menjamin tak akan pergi jauh bahkan tidak memerlukan kendaraan. Serka Lukman pun menyetujui izin Huasya. Sampai saat Huasya selesai berganti pakaian untuk pergi, di gerbang Serka Lukman sudah menunggunya. 

Lihat selengkapnya