MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #29

Bab 29 : Rekonsiliasi

Sepanjang akhir pekan Huasya habiskan di Dayo bersama keluarga. Meski keluarganya telah merayakan ulang tahunnya yang ke-26 dengan cukup meriah hingga memuaskan perutnya dengan makanan rumahan yang begitu nikmat, namun rasa di hatinya belum terisi penuh. Merupakan sebuah kebiasaan Huasya bahwa setelah merajuk, pasti menyesal kemudian. 

Meski baru dua hari yang lalu Huasya bertemu dengan pelaku yang menyebabkannya merindu begini, namun lamanya seolah dua pekan penuh ia tak bertemu. Ada sedikit rasa menyesal dalam dirinya karena telah bersikap acuh tak acuh pada Dipta. Hanya saja gengsinya yang mengatakan bahwa ia akan menghilang dua minggu sungguh tak bisa semudah itu ditarik, bukan? 

“Ma, si Kakak kenapa, sih?” tanya Vika. 

Ia terheran-heran dengan sikap kakaknya yang tiba-tiba jarang bicara, tidak mengobrol, tetapi jika tersenggol sedikit bisa berubah menjadi macan tutul. Aktivitasnya hanya membersihkan kamar, rumah, dan seluruh halaman di setiap pagi dan sore. Selebihnya ia hanya membaca buku dengan ponsel di hadapannya. 

“Pegang HP mulu padahal gak dimainin,” Vika mendeskripsikannya. 

“Lagi capek kali, nggak usah diganggu,” Mona menanggapi. “Papa mana?” Mona bertanya balik. 

“Di teras lagi nyemir sepatu, mau apa, Ma?” 

Vika terus memakan kuaci bersama Mona. 

“Mama mau minta Papa ajakin Kakak kamu ke Dayo Timur. Biar gak di rumah terus.” 

Belum sempat Mona menutup mulutnya usai bicara, yang dibicarakan pun datang menghampiri. Huasya duduk di samping mamanya lalu bersandar dan memeluk Mona erat. 

“Apaan sih, Kak?” Mona menggeliat. “Sama pacar kamu sana! Masa meluk Mama?” 

Huasya langsung melepas pelukannya dan menatap Mona penuh keluhan. 

“Jangan ingetin Kakak soal dia deh, Ma,” lirih Huasya. 

Mona memang sengaja mencari kesempatan untuk memancing Huasya bicara. Sepertinya inilah waktu yang tepat untuk mencari tahu biang kerok suasana horor di dekat Huasya selama dua hari terakhir. 

“Lagi ngambek sama Dipta?” 

Huasya merebahkan kepalanya di atas meja. Ia mengangguk pelan. Sungguh ia memang tidak bisa menyembunyikan apa pun dari mamanya. 

“Kenapa?” 

“Dia ghosting kakak dua minggu, Ma.”

Mona menghela napasnya, “Mama udah bilang ke Kakak, kan. Kalau Kakak harus bersedia ditinggal-tinggal kalau jadi sama Dipta?” 

“Bukannya di awal Mama yang nyuruh Kakak buat kejar Mayor Dipta, ya?” Huasya makin sebal. 

“Kalau Kakak nggak suka, nggak ngidolain Mayor Dipta, emangnya Kakak bakalan nurut omongan Mama? Pas Mama nyuruh Kakak ikut reuni biar Kakak dapet pasangan, kapan Kakak nurut Mama? Nggak, kan?” 

Huasya tak bisa mengelak apa yang diucapkan mamanya. Sejak kapan dia mau diintervensi soal pasangan. Soal mimpi dan karier saja ia tak mau ada siapa pun yang mengintervensi berlebihan. 

“Terus Mama mau Kakak gimana sekarang? Udah terlanjur pacaran juga sama Mas Dipta.”

“Ikut Papa, jadi sopir Papa ke Dayo Timur.” 

“Kapan?”

“Hari ini!” 

*****

Huasya benar-benar menjadi sopir papanya hari ini. Ia mengemudikan mobil selama dua puluh menit ke area Dayo Timur. Ini hari Minggu dan besok adalah tanggal merah sehingga acara pernikahan bisa diadakan di sore hari. 

Sesampainya di tempat acara, Huasya tak mau masuk dan hanya menunggu di luar halaman yang punya hajat. Saat melihat jajanan khas di tempat resepsi seperti ini, Huasya langsung kalap mata. Permen kapas, gulali, rujak bebek, es krim cincau, cilok, pentol, dan banyak lagi kios dadakan yang terhalang para bocah yang sedang jajan. Tak mau ketinggalan, Huasya membawa tas selempangnya lalu mencepol tinggi rambutnya, bersiap bersaing antrean dengan adik-adik lucu akamsi.

Sebelumnya Huasya memotret jajaran kios jajanan ini lalu mengunggahnya ke media sosial. Lalu setelah terunggah ia segera menyembunyikan statusnya dari Dipta. Gengsinya benar-benar di luar dugaan. Pasalnya jika nanti Dipta membalas statusnya Huasya pasti tak akan tahan untuk tak membalas. Jadi lebih baik mencegahnya. 

Huasya sudah bertekad untuk menikmati waktunya di sini sampai ia mendapatkan jadwal untuk sidang tesisnya. Untuk menempuh ujian, tentu ia harus menyiapkan mental terbaiknya. 

Huasya benar-benar puas dengan jajanan yang ia beli sampai tak terasa acara akad nikah sudah usai. Rendra menghampiri Huasya yang masih memegang empat bungkus plastik permen kapas di kedua tangannya. 

“Beli banyak banget buat siapa?” tanya Rendra penasaran. 

“Buat kakak semua ini,” ungkap Huasya riang. 

Rendra hanya bisa menggeleng kepalanya tak habis pikir dengan selera anak gadisnya yang tak pernah berubah. 

“Ayo, pulang! Mama tadi WA papa, katanya mau ngenalin Kakak ke temennya.” 

Huasya memutar bola matanya lelah. Kini mamanya akan memerintahkan apa lagi kepadanya. Sepertinya sifat sulit ditebak miliknya jatuh dari sang mama.

*****

“Maaaa! Nggak mau ikut,” tolak Huasya. 

“Kakak nggak penasaran kenapa Mama ngotot ngajak?” 

Huasya menggeleng pasti. Ia benar-benar tidak mau tahu mengapa mamanya sangat bersikukuh mengajaknya bertemu temannya. Kalau hanya untuk antar mamanya, ia tak akan mungkin menolak. Hanya saja ia curiga mamanya akan berbuat yang lain saat bertemu temannya nanti. Kalau tiba-tiba Mona ingin menjodohkannya dengan anak temannya itu, bisa gawat, kan? Bagaimana nanti nasib hubungannya dengan Dipta? 

Huasya mempertahankan posisi duduknya di ruang tamu. Tak mau beranjak sedikit pun. Namun Mona tak habis akal, ia membuka ponselnya lalu menunjukkan kontak Dipta dan hampir menyentuh tombol panggil. 

“Mending Mama suruh Dipta dateng ke sini atau kamu ikut Mama?” 

Satu-satunya orang yang mampu menjinakkan ego Huasya hanyalah Mona, mamanya. Terbukti sekarang ia lagi-lagi menuruti perintah Mona. Sehari ini ia benar-benar dikendalikan Mona. 

“Tapi jangan lama-lama, ya!” 

Di sinilah Huasya terduduk, di sebuah rumah makan khas Sunda dengan beberapa ibu-ibu teman sekolah mamanya. Entah sejak kapan mamanya senang bersosialisasi seperti ini, yang jelas Huasya ingin segera pergi dari sini. 

Mona bercengkrama dengan gembira. Ia juga memperkenalkan Huasya pada teman-temannya. Ia mengatakan kalau Huasya akan segera sidang S2 bahkan rencana Huasya ingin menjadi dosen pun, Mona bocorkan dengan sangat mulusnya. 

“Huasya S1 di Universitas Negeri Dayo, kan?” tanya salah seorang teman Mona. 

Huasya membenarkan pertanyaan tante itu. Kemudian mengalirlah informasi bahwa UND sedang mempersiapkan rekrutmen dosen dan akan segera merekrut dosen-dosen muda dalam waktu dekat. Mendengar informasi A1 seperti ini tentu membawa angin segar bagi Huasya. Tetapi kelihatannya Mona lebih bersemangat dibanding Huasya. 

“Nanti kalau udah ada info resminya, tante share lewat Mama kamu.” 

Huasya hanya mengangguk berterima kasih atas kebaikan tante itu. Hanya saja yang dipertimbangkannya kali ini, jika ia benar-benar kerja di Dayo, maka Huasya harus siap membina hubungan jarak jauh dengan Dipta. Pertanyaannya adalah, apakah ia sudah siap untuk itu? 

Pertanyaan itu terus membayangi Huasya hingga mereka sampai di rumah. Begitu pun dengan Mona yang terus bersemangat mendesak Huasya untuk bekerja tak jauh darinya. Mona khawatir seperti saat ia berada di Pakuan, hal-hal tak terduga dan berbahaya justru terjadi pada Huasya. Mona tak lagi mengizinkan Huasya berada jauh dari pandangannya. 

Tak mendapat respon apa pun dari Huasya, Mona mengeluarkan jurus andalannya, menyentuh titik paling sensitif yang sedang Huasya lalui agar anak sulungnya mau menuruti keinginannya hanya untuk kali ini saja. 

“Kak, Mama tahu Kakak dikatain pengangguran kan, sama temen-temen pas waktu reuni?” Mona bertanya lamat. 

“Ma,” Huasya menggeram. 

Huasya sudah tak merasa aneh kala Mona mengetahui banyak hal yang bahkan tak ia ceritakan pada mamanya. Dalam hati Huasya sudah mengutuk kedua adiknya yang membocorkan curahan hatinya pada Mona. Bukan mengapa, saat Mona mengetahui banyak hal dengan konotasi dan terkesan negatif terjadi pada Huasya, pasti akan menjadi beban pikiran Mona dan Huasya tak ingin seperti itu. Ini terjadi setelah Huasya terlibat kasus Hafiz, mulanya Mona tak pernah mengintervensi sejauh ini apa pun keputusan Huasya, hanya saja sekarang kondisi sudah berubah, bahkan adik-adiknya menjadi mata-mata Mona, menunjukkan bahwa Mona sudah pada level paling protektif terhadap Huasya.

“Pokoknya Mama pengen Kakak kerja di UND, gak ada tapi,” ucap Mona mutlak. 

Huasya memikirkan bagaimana caranya agar Mona bisa bersabar dan memberinya waktu berpikir terlebih dulu. 

"Aku bukannya nolak, Ma. Kakak cuma butuh waktu berpikir. Siapa tahu nanti ada lowongan di Unhantara, Kakak kan, bisa apply juga,” Huasya bernegosiasi. 

Mona bergeming tak berniat menjawab dan memberikan harapan palsu apa pun pada Huasya.  

“Ma … izinin Kakak pikirin dulu,” Huasya hanya bisa memelas. 

“Emangnya kalau di Pakuan mau sama siapa? Dipta? Kakak emang udah rencanain apa sama Dipta?” tanya Mona telak. 

Sejujurnya Huasya dan Dipta belum membahas apa pun mengenai masa depan mereka. Huasya juga belum membicarakan rencana kerjanya pada Dipta. Saat bertemu mereka belum sempat membahas topik hingga sejauh itu. Diamnya Huasya mengkonfirmasi dugaan Mona. 

“Belum, kan?” desak Mona. 

Bahu Huasya meluruh. Ia enggan menjawab apa pun. Rasanya memang masalahnya ada pada dirinya, seharusnya kemarin ia tak merajuk seperti itu pada Dipta. Seharusnya ia kemarin menghabiskan waktu bersama Dipta dan membahas rencana mereka berdua ke depan. Huasya bukan lagi remaja yang hanya ingin berpacaran karena kesenangan belaka, pun dengan Dipta yang sudah di usia matang pasti bersama dengan Huasya bukan sekadar untuk main-main. Mereka sudah sama-sama dewasa yang menjalin hubungan untuk menuju ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan adalah sesuatu yang pasti harus mereka bicarakan jika mereka bersungguh-sungguh dengan hubungan mereka. 

Bukan terburu-buru, melainkan bersiap. Bukan ngebet, hanya tak ingin menghabiskan waktu, energi, dan perasaan pada orang yang tak seharusnya. Jika memang tujuannya bersama sepanjang hayat, maka membicarakan rencana kehidupan di masa mendatang adalah keharusan. Jika bisa disesuaikan, maka bisa berlanjut. Namun jika tidak, maka sebaiknya dicukupkan. Sama seperti saat ia dan Evan sepakat untuk mengakhiri perasaan mereka. Hanya saja, kali ini Huasya berharap ia bisa lebih beruntung bersama Dipta. Kali ini ia akan usahakan sebaik mungkin untuk menyesuaikan. Sungguh Huasya tak ingin berpisah dari Dipta. 

*****

Malam-malam sekali Vika dan Kila dikejutkan dengan notifikasi pengikut baru di media sosial mereka. Bagaimana mereka tak terkejut, yang mengikuti mereka adalah calon kakak ipar mereka, siapa lagi kalau bukan Dipta Bramantya. 

Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah Dipta yang mengirim pesan langsung lada Vika dan menanyakan kabar Huasya. Vika segera mengetuk pintu kamar Mona dan Rendra. Ia hanya merasa harus melapor pada mamanya. 

Rendra sudah tidur, sementara Mona terbangun karena Vika. Vika menunjukkan akun Dipta yang baru saja mengikutinya. Ia juga menampilkan chat-nya bersama Kila adiknya yang juga terkejut di-follow Dipta. Jangan heran, bagi generasi Z dan Alfa, serumah pun tetap harus chatting-an. 

Lihat selengkapnya