MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #30

Bab 30 : In Danger ⚠️

Hari yang telah Huasya nantikan akhirnya tiba. Bukan! Ini bukan hari pertunangan atau bahkan pernikahannya. Ini adalah hari sidang tugas akhir program magisternya, sidang tesis yang akan menandakan akhir dari pendidikan S2 Huasya. Berbeda dengan universitas lainnya, sidang tesis di Unhantara memiliki prosedur seperti sidang doktoral. Sidangnya bersifat publik dan bisa dihadiri banyak orang. 

Huasya diantar orang tua, adik, dan para sahabatnya. Mona, Rendra, Vika, Kila, Gea, Rita, Sakti, dan Evan menjadi suporter Huasya di auditorium sidang ini dengan mengenakan batik senada berwarna coklat, emas, dan kuning. Sementara Huasya sendiri mengenakan kebaya Sunda dengan desain khasnya yakni U neck berlengan panjang yang pas ditubuhnya dan menjuntai hingga lutut. Warna merah marun sengaja ia pilih karena hari ini ia akan menjadi tokoh utama pada sidang tesisnya. Kain batik bernuansa coklat dan emas ia pilih untuk bawahannya. Kainnya yang sudah dibentuk rok sepan menjadikan penampilan Huasya lebih anggun lagi. Rambutnya ia gelung rendah dengan sangat rapi diikat pita merah marun senada kebayanya. Huasya yang merias wajahnya dibantu Gea sehingga terlihat lebih cantik dan pangling. 

Mayor Dipta ♡ 

Cantik banget! Banyakin fotonya ya Sya. Mas pengen puas-puasin liatnya

Me

Harusnya sih dateng sendiri liat sendiri secantik apa aku ini 

Tapiiiii, aku lagi baik jadi roger that!

Mayor Dipta ♡ 

Hahaha pengennya juga gitu 

Sukses lancar! Setelah sidang Mas udah siapin hadiah buat Sya

Me

Makasih sayaaaang ❤️‍🔥

Looking forward to it ✨️

Mayor Dipta ♡

❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥

Huasya segera menutup ponselnya dan menyimpannya di tas di kursi samping panggung auditorium. Tak lama pembukaan dimulai dan Huasya sudah bersiap di sisi panggung sambil menyapa tim horenya di bangku penonton yang kini sudah dipenuhi adik tingkatnya. Nama Huasya Kartika pun dipanggil oleh pemimpin sidang yang tak lain ketua program studinya. Ia disilakan menempati mimbar pidato untuk menyampaikan hasil penelitiannya. Huasya diberi waktu 25 menit untuk menyampaikan presentasinya sebelum sesi tanya jawab dengan para penguji. 

Huasya yang telah berlatih dan paham penelitiannya luar dan dalam dengan lancar menyampaikan setiap bagian laporannya. Di akhir ia juga memberikan saran dan rekomendasi yang bisa secara praktis digunakan dan diaplikasikan setiap pemangku kebijakan. Huasya berpesan, negara Indonesia dengan demokrasi Pancasila dengan karakteristik unik, berbeda dari demokrasi lainnya yang ada di seluruh penjuru dunia harus terus dipertahankan. Membuat kebijakan demi kepentingan seluruh bangsa senantiasa dipertahankan tanpa menafikan kritik dan saran berbagai pihak terutama rakyat. Memang tidak mudah untuk membuat kebijakan yang sempurna, karena seyogianya tak ada yang sempurna. Namun mementingkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia harus selalu menjadi pijakan dan rambu-rambu proses pembentukan kebijakan.

“Demikian hasil penelitian yang saya lakukan, terima kasih banyak atas segala perhatian yang diberikan. Saya kembalikan kepada pimpinan sidang.” 

Tepuk tangan meriah pun menggema di seluruh penjuru auditorium. Pimpinan sidang mempersilakan para penguji untuk memulai sesi tanya jawab. Semua pertanyaan penguji dapat Huasya jawab. Huasya pandai mempertahankan hasil penelitiannya dan teguh terhadap apa yang ia tulis. Konsistensi dan kejelasannya dalam menjawab membuat para penguji juga merasa santai. Ketenangan dan penguasaan panggung Huasya memesonakan setiap mata yang melihatnya. 

Para penonton yang rata-rata adalah adik tingkat Huasya dan teman seangkatannya itu banyak berbisik. 

“Kok jatohnya kaya ngobrol sama penguji gini, ya!” 

“Keren banget Kak Huasya, tenang banget jawabnya!” 

“Pengen dong selancar ini pas nanti gue sidang!” 

“Udah cantik, pinter pake banget pula!”

“Nggak heran Kak Huasya tuh, emang gila banget lah pinternya!” 

Masih banyak lagi komentar lainnya yang terdengar oleh Mona hingga ia menitikkan air mata haru. 

Tibalah saatnya penguji memberikan pernyataan penutup. 

“Huasya ini memang cerdas sekali. Saya bangga bisa menjadi penguji anda. Pertahankan, ya!” 

Huasya menatap para penguji tak percaya, matanya bahkan sudah berkaca-kaca, yang seharusnya bangga adalah dia, bukan sebaliknya. Para profesor ini sungguh membuatnya tak bisa berkata-kata. Kini sampai pada giliran Profesor Nina sebagai pembimbingnya. 

“Saya nggak ada komentar. Saya tahu persis proses Huasya meneliti. Setiap datang ke parlemen, dia selalu bersiap dan berlatih. Hasilnya juga jelas. Benang merah penelitian terus terjaga. Lanjutkan ya, ke S3. Harus! Kami tunggu untuk jadi sejawat kami, sebagai dosen.”

Profesor Nina yang mengatakannya penuh perasaan bangga dan haru tak ayal menyentuh hati setiap manusia di auditorium ini. 

Saat pimpinan sidang mengambil alih lagi fokus sidang, ia menyapa orang tua Huasya. 

“Mana Mamanya Huasya?” 

Disapa tiba-tiba, Mona berdiri tegak sambil tersenyum tulus mengangguk dari kejauhan kepada seluruh dosen. 

“Selagi para penguji mendiskusikan nilai tesis dan presentasi Huasya, saya ingin menyapa Mama Huasya. Bangga ya, Bu? Anaknya sudah lulus S2 dengan prestasi yang luar biasa.” 

Mona mengangguk pasti dan menjawab “iya” sambil mengusap pipinya yang dijatuhi air mata haru. 

“Huasya mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi karena tulisannya sudah banyak yang dimuat di jurnal internasional terakreditasi Scopus. Dua bukunya juga sudah diterbitkan, satu di penerbitan perpustakaan kampus kami dan satunya lagi di penerbit mayor nasional. Huasya juga juara di dua kompetisi ilmiah internasional dan bahkan mendapatkan sertifikat sebagai penampil terbaik di KTT Al-Amman.” 

Mona terus berderai haru. Tak kuasa menahan rasa syukurnya atas karunia Tuhan kepada dirinya. Melihat interaksiamanya dengan kaprodinya, Huasya sungguh bahagia. Sungguh, pencapaian terbesar baginya di 26 tahun hidupnya ini bukanlah deretan prestasinya itu, melainkan saat mamanya menangis haru dan tersenyum bahagia karena dirinya. Senyum bahagia Mona adalah bukti keberhasilan Huasya. Dengan segenap hati ia tekadkan dalam hati, akan ia jaga senyum bahagia itu. 

“... Dengan ini dinyatakan Huasya Kartika dengan Nomor Pokok Mahasiswa 4103323, lulus dengan IPK 4.00 dan berpredikat summa cum laude!”

Huasya melemah hingga harus menopang dirinya pada mimbar. Ia tak sanggup menahan haru. Tuhan benar-benar telah membantunya. Energi baik, ketenangan, dan kecerdasan ini hanyalah bagian dari kasih saya Tuhan atas dirinya. 

Alhamdulillah.

*****

Usai dengan sesi bersalaman dan menerima banyak ucapan selamat, Huasya segera menuju keluar gedung auditorium dan melihat sebuah karangan bunga ucapan selamat telah terpampang nyata di hadapan Huasya. Cukup besar hingga menutup celah antara tiang gedung yang satu dengan tiang gedung lainnya. Di depannya juga terdapat sebuah kotak kado setinggi 30 cm dengan diameter yang sama. Huasya bergegas jongkok dan membukanya. Terdapat puluhan tangkai bunga mawar dan tulip berwarna merah menyala dan merah jambu dengan sepucuk surat yang juga mewangi di atasnya. 

Selamat atas kelulusan kamu, Sya! 

Mas bangga banget! Pasti dapet banyak pujian dari para dosen kan? Maaf Mas gak bisa dateng. Semoga bunga ini mewakili hati Mas ya. Oh ya, Mas udah pesankan restoran deket situ, nanti alamatnya Mas share loc. Berkah, sukses, dan bahagia dengan gelar baru kamu ya, sayang! 

Aku mencintaimu. 

-Dipta Bramantya

Huasya menutup mulutnya kala selesai membaca suratnya. Ia kemudian menghirup surat yang ternyata kertasnya wangi bunga mawar, osmanthus, peach, dan cedarwood, ini wangi parfum yang Huasya gemari dan sering digunakannya saat bertemu Dipta. Sungguh Huasya tak menyangka si dingin Dipta telah mencair untuknya, Om Mayor galak telah melunak untuknya, dan Dipta Bramantya yang cuek bebek telah berubah semakin peka terhadapnya. 

Dipta yang sedang sibuk mengawal Hadi Prasetyo, Sekjen republik ini, di tengah padatnya jadwal transisi pemangku kekuasaan pemerintahan, tak menyurutkan niatnya untuk memberi kejutan bagi Huasya. Saat semua orang melihat karangan bunga yang untungnya tak diberi nama Dipta, hanya dilabeli “Dari Kekasihmu”, seketika menarik perhatian banyak orang. Mereka ramai-ramai menebak siapa pengirim karangan bunga super besar itu. Beberapa di antaranya yang gemar bergosip bisa menebak bahwa pasti itu karangan bunga kiriman Dipta. 

Sebelum semua orang mengerumuninya, Huasya segera berfoto, ia sendiri, lalu dengan orang tuanya, dengan adiknya, dengan sahabatnya, terakhir ia videokan karangan bunga itu sebelum meminta tolong pada satpam kampus untuk memindahkannya ke area parkir samping. Kemudian orang-orang yang memberinya selamat ia beri bunga-bunga yang terdapat dalam karangan bunganya yang ia peretel setangkai demi setangkai. Tentunya Huasya izin terlebih dulu pada Dipta bahwa ia akan membagikan bunga di karangan itu kepada orang-orang yang menyelamatinya, dan Dipta yang memang telah menyerahkannya pada Huasya tak keberatan, apa pun yang ingin Huasya lakukan pada karangan itu, ia silakan, dengan catatan asal tidak dirusak. Alhasil ia meminta bantuan tim horenya dan beberapa petugas kebersihan untuk membagikannya. Tak hanya itu, Mona yang sudah menyiapkan kue-kue bingkisan juga membagikannya pada para petugas yang membantu Huasya. 

“Daripada langsung dibuang, mending dibagiin, kan! Dibawa pulang juga gak bisa,” gumam Huasya. 

Usai membagikannya, Huasya izin permisi ke toilet pada Mona dan Rendra yang hendak menuju mobil. Ia tak nyaman tangannya lengket usai mencabut bunga-bunga itu. Sedangkan adik dan para sahabatnya sudah sejak beberapa saat lalu kembali ke mobil dan bersemangat makan di tempat yang sudah di-booking Dipta. Huasya berjalan dengan perlahan dan anggun berkat rok batik sepannya, namun langkah kakinya terhenti saat netranya menangkap sosok pria dengan topi dan jaket hitam mengadangnya dari depan secara tiba-tiba hingga ia hampir terjatuh. 

Sial! Kenapa tiba-tiba sepi?! Huasya mengedarkan pandangannya. 

Merasa ada yang tak beres, Huasya menekan tombol volume ponselnya sebanyak tiga kali untuk menelepon kontak darurat yang sudah ia atur pada ponselnya. Sayangnya, belum sempat telepon terjawab, belum sempat Huasya berteriak karena membeku saking terkejutnya, tiba-tiba Huasya dibekap dari belakang dengan sapu tangan yang sudah jelas diberikan obat bius. 

Dua orang, batin Huasya. 

Tak kuasa melawan dengan penglihatan yang mulai kabur, Huasya hanya sempat melemparkan ponselnya agak jauh dan melepas stiletto tanpa ragu berharap bisa menjadi petunjuk penculikannya. 

Debar jantungnya semakin tak karuan hingga akhirnya ia lelah karena kehabisan napas sehingga berhenti meronta, tak lama Huasya pun hilang kesadaran lalu dibawa entah ke mana oleh dua pria tak dikenal itu. Ia hanya meninggalkan sepasang sepatu hak tingginya dan ponsel yang untungnya masih menyala meski layarnya telah retak. 

“Halo, Sya?” 

“Halo? Sayang?!” 

*****

Mona dan Rendra sudah menunggu sekitar 10 menit dan merasakan keanehan karena Huasya yang pamit hanya untuk mencuci tangan tak kunjung kembali. Mona meminta Rendra untuk turun menemaninya menyusul Huasya. Mona sudah tak enak hati sehingga minta diantar suaminya. 

Firasat seorang ibu memang sangat tajam. Saat mereka sampai di area parkir belakang sekitar 10 meter sebelum ke toilet, mereka melihat seorang wanita petugas kebersihan yang sedang menenteng sepatu dan ponsel yang sangat dikenali Mona. Sontak ia berlari menghampiri wanita paruh baya itu. 

“Ibu! Permisi, ini sepatu dan HP anak saya. Dia ada di mana, ya?” tanya Mona bergetar. 

Wanita itu menyerahkannya pada Mona yang sudah berdiri sempoyongan sehingg ditopang Rendra. Perasaannya tak karuan. Ia yakin Huasya sedang dalam bahaya. Mana mungkin anaknya yang rapi dan selalu peduli dengan barang-barangnya tiba-tiba begitu saja meninggalkannya di tengah jalan seperti ini. 

“Tadi saya nemu di sebelah situ,” tunjuk wanita itu ke area yang tak terlalu jauh. “Saya dengar orang teriak-teriak dari HP itu. Katanya pacarnya Mbak yang punya HP. Dia minta saya serahin ini ke orang tuanya. Katanya ada di sini juga. Syukurlah ibu dan bapak ke sini. Anaknya yang tadi bagi-bagi bunga kan, ya?” 

Mona sudah tak kuasa untuk berbicara. Lidahnya kelu untuk menyimpulkan sendiri di mana anaknya. 

“Jadi pacar anak saya bilang apa, Bu?” Rendra mengambil alih komunikasi. 

“Minta Ibu sama Bapak telepon dia.” 

“Terima kasih banyak, Bu,” ujar Rendra lirih. 

“Sama-sama, Pak. Semoga Mbaknya gak apa-apa.” 

Meski tak mengerti apa yang sedang terjadi, namun melihat reaksi Mona yang kolaps, wanita itu bisa mengetahui satu hal yang pasti, sedang terjadi sesuatu yang tak baik pada anak sepasang suami-istri ini. 

Rendra segera menggendong Mona kembali ke mobil. Ia juga menelepon Vika bahwa Huasya hilang. Mendengar Huasya hilang semua orang di mobil mereka terkejut dan panik bukam main. Namun Rendra berpesan agar Vika dan Kila segera kembali bersama Gea pulang ke Dayo atau menunggu di rumah saudaranya yang ada di Pakuan. Rendra hanya titip pada teman-teman Huasya untuk mengantarkan Vika dan Kila ke tempat yang aman dan meminta doa pada mereka agar Huasya aman. Rendra hanya menekankan untuk tidak membeberkan masalah ini pada siapa pun. Ia hanya mengatakannya pada mereka agar mereka tidak mencari-cari Huasya dan segera pulang.

Sementara itu, Mona yang sudah benar-benar pingsan juga membuat Rendra semakin tak berdaya. Dengan tangan yang bergetar hebat tak karuan, Rendra membuka ponsel Mona dan menelepon Dipta. Baru dering pertama telepon tersambung, Dipta langsung menjawabnya.

“Dipta,” Rendra tercekat. “Anak saya di mana?” 

“Om, kuat menyetir?” Dipta bertanya dengan nada cemas yang kentara. 

Dipta memang sudah lebih bisa mengontrol diri saat ini ketimbang 15 menit yang lalu saat ia bicara dengan wanita asing pada nomor Huasya. Ia berteriak frustasi saat Huasya tak menjawabnya dan saat dijawab justru orang lain yang mengangkatnya. Namun ia segera mengendalikan diri agar fokus pada penyelesaian masalah saat ini. Tujuannya hanya satu, menemukan Huasya dalam keadaan selamat dan aman. Maka ia tidak boleh gegabah dan terburu-buru. Jika ia panik maka Rendra dan Mona juga akan lebih panik lagi. 

Lihat selengkapnya