Mona dan Rendra masih menunggu hingga sore ini di ruang tamu Kantor Sekjen RI. Beberapa jam lalu mereka tahu Dipta sudah berangkat untuk menyelamatkan Huasya. Kemudian tak lama seorang tentara wanita bernama Andini yang tak lain anggota tim investigasi kasus Hafiz datang memberi kabar bahwa lokasi pasti Huasya sudah ditemukan. Mereka diminta Andini untuk bersabar menunggu kabar selanjutnya. Sementara itu, Radit sesekali mengecek kondisi Mona dan Rendra, menyajikan makanan untuk mereka dan memastikan Mona tidak kolaps lagi seperti saat ia baru tiba di sini.
“Pa, ini udah sore dan belum ada kabar lagi,” Mona masih berderai air mata.
“Sabar, Ma … Papa yakin Huasya baik-baik aja,” Rendra lebih terdengar meyakinkan dirinya sendiri.
“Tapi Pa, gimana kalau ternyata Sya-”
“Nggak boleh berpikir negatif. Kita harus optimis. Tim penyelamat orang-orang kompeten Papa yakin semua akan berjalan lancar.”
Rendra memotong ucapan Mona karena sudah sejam terakhir Mona terus mendesaknya untuk bertanya pada Radit atau Andini. Namun jika terus bertanya, bukankah justru akan mengganggu kerja mereka? Maka Rendra harus bisa menenangkan Mona di sini. Satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah berdoa sembari menunggu. Pesimis sama sekali tak akan membantu apa pun.
*****
Huasya merasakan deru napas Dipta di bahunya meski terhalang penutup wajah. Dipta melingkupi tubuh Huasya erat sampai ledakan berhenti. Sudah beberapa saat asap mulai lesap, tetapi Dipta masih dengan eratnya merengkuh Huasya di lantai hingga ia merasa sesak.
“Mas,” lirih Huasya. “Aku susah napas,” ujar Huasya.
Sadar Huasya tertimpa tubuhnya yang merunduk hingga terlalu erat bahkan menopangkan wajahnya di bahu Huasya, Dipta segera menarik diri dan menatap Huasya cemas hingga menitikkan air mata. Huasya bisa menyadari itu walau hanya sekilas karena fokus matanya kini terpaku pada dua mata indah Dipta. Ia gegas berdiri lalu menopang Huasya segera.
“Berbaris! Kembali ke posisi siaga! Tembak mati di tempat siapa pun yang mengadang jalan!” perintah Dipta.
Huasya merinding mendengar ucapan Dipta, tetapi ia lebih bergetar hebat setelah menyadari kebaya merahnya sungguhan memerah karena darah. Ia meraba seluruh lengannya yang tidak terasa sakit apalagi berdarah. Lalu dari mana datangnya darah yang mengalir cukup deras ini?
Huasya mengangkat kepalanya dan melihat lengan Dipta. Bajunya telah robek dan menampilkan kulit yang juga menganga. Huasya menoleh ke bawah dan melihat sebongkah tembok beton memiliki bercak darah. Dipta menjadi perisainya dan mengadang beton itu sebelum menimpa Huasya. Huasya bergetar hebat. Ia merasa bersalah. Akibat melindunginya yang tak bergerak cepat, Dipta akhirnya terluka. Ia menangis dalam hening. Air matanya terus membanjiri pipinya hingga melunturkan seluruh riasan wajahnya.
“Kamu harus tetap di belakang Mas berpegangan,” ujar Dipta memastikan.
Dipta kemudian mengecek satu per satu anggota timnya, memastikan mereka dalam keadaan baik. Meski baik yang dimaksud adalah tidak mengalami cedera berat.
Huasya terus berurai air mata sambil mengangguk menatap lengan Dipta yang terluka. Ia tak bisa menahan tangisnya. Dipta meraih tangan Huasya dan mengelusnya cepat.
“Mas gak apa-apa. Kita akan keluar sekarang!”
Mereka berjalan melalui koridor tempat mereka masuk, sampai akhirnya berhasil keluar dari gedung dengan formasi siaga. Tim Alfa memastikan keadaan telah aman karena untungnya sebelum merunduk Dipta sempat menembak orang yang melempar peledaknya. Tim Beta dan Teta juga mengabarkan bahwa mereka sudah mengamankan sisa penjahat yang siaga di posisi penembak jitu di sebrang gedung.
Keadaan sudah di bawah kendali hingga mereka bisa menyusuri jalan setapak untuk kembali ke pesisir dengan aman. Mereka bisa sedikit bernapas lega hingga tiba-tiba Huasya yang memang berjalan dengan lemah akibat tubuhnya terus gemetar tiba-tiba merintih kesakitan.
“Sayang, kamu kenapa?” Dipta berbalik. Ia mengecek Huasya dari atas hingga bawah. Ia menyisipkan anak rambut Huasya yang sudah berantakan tak karuan. Dipta juga mengusap pelan punggung tangan Huasya yang terkena tetesan darahnya.
“Aku nyenggol tanaman itu,” Huasya menunjuk serumpun gulma berbunga putih. “Agak sakit tapi gak apa-apa, aku masih bisa jalan,” Huasya menenangkan.
“Mas gendong, ya?” Dipta langsung berjongkok. Ia bersiap menggendong Huasya di punggungnya.
“Nggak!” tolak Huasya tegas. “Lengan Mas udah luka kena beton tadi. Aku gak mau nambah luka Mas. Berdiri sekarang!” seru Huasya.
Meski Dipta sangsi dengan pengakuan Huasya, namun melihat sorot mata Huaya yang teguh dan sedikit menakutkan itu, maka Dipta hanya bisa mengikuti permintaan Huasya dan akan periksakan nanti kepada paramedis.
Di perjalanan Dipta terus menggandeng Huasya yang sesekali masih merintih kesakitan. Sambil berjalan ia juga terus memantau alat komunikasi sampai ketika Andini dari Kantor Sekjen masuk ke sambungan komunikasi.
“Andini masuk, mohon dengarkan kondisi terkini di Ruang Monitor Intelijen Kantor Sekjen. Chief UC yang baru, Amose, sedang komunikasi dengan Pak Hadi. Ia minta negosiasi dengan Indonesia. Tangan kanan mereka yang dikirim ke Pulau Kumbang sudah tertangkap dan sepakat dengan negosiator kita untuk dipulangkan ke negaranya. Meskipun masih dalam tahap pembicaraan, tapi Bapak sudah perintahkan para jendral untuk melakukan gencatan senjata jika ada komplotan mereka yang nekad. Tidak ada yang boleh menembak mati siapa pun. Mungkin kalau menembak kaki atau tangannya yang kotor itu, masih diperbolehkan.”
Dipta dan seluruh tim tahu bahwa Andini sedang bercanda, mereka terkekeh mendengar penuturannya.
“Jaga diri kalian sampai kembali. Sebentar lagi Bapak akan meneruskan informasi ke Istana. Mohon segera kembali, Andini izin pamit.”
Mereka terus berjalan hingga mencapai pasir pantai dan keluar dari rimbunnya belukar dan pepohonan di sana. Namun sesampainya di pesisir, tim gabungan masih siaga dan saling menodongkan senjata dengan kelompok UC.
Dipta kemudian menembakkan peluru ke udara, sontak Huasya terkejut dan menutup kedua telinganya dengan tangan.
“Everyone, stop!”
Seluruh pasang mata tertuju pada Dipta tanpa berniat menurunkan senjata mereka karena pentolan kelompok UC alias tangan kanan Amose sudah diborgol oleh negosiator. Seperti yang diprediksikan Andini, pasti akan ada anggota kelompok mereka yang nekad untuk angkat senjata meski pemimpin mereka sudah sepakat bekerja sama dan mau ikut dengan sukarela agar bisa dipulangkan ke negaranya.
“Dengarkan saya!” teriak Dipta. “Turunkan senjata kalian semua dalam hitungan tiga!” perintahnya.
“Siapa kamu memerintah kami?!”
“Amose tak akan memedulikan kalian. Mau mati di tanah asing atau di tanah air kalian, silakan kalian pilih! Bijaklah seperti pemimpin kalian!”
Mereka saling pandang satu sama lain.
“Mas,” bisik Huasya.
Dipta sedikit menolehkan kepalanya ke sebelah kanan di mana Huasya berada.
“Hafiz bilang dia sudah membebaskan keluarga para pembunuh bayaran yang kerja untuk UC,” ujar Huasya dengan napas terengah.
Dipta menurunkan senjatanya dan beralih menatap Hafiz sementara yang ditatap mengangguk membenarkan. Kepergian Hafiz dari Indonesia selain untuk memusnahkan data yang dibocorkannya, juga untuk menyelamatkan para sandera yang ada di tangan UC.
“Mereka ngeyel kaya gini, pasti karena takut keluarganya terancam. Hafiz bisa jamin hal itu.”
“Kalau sampai Hafiz bohong, gue sendiri yang akan menghabisi lo!” Dipta menunjuk Hafiz.
Kemudian Dipta kembali menghadap beberapa pembunuh bayaran profesional itu.
“Keluarga kalian dia jamin aman!” Dipta menunjuk Hafiz. “Sekarang turunkan senjata dan kami akan kirim kalian pulang ke negara kalian, berkumpul dengan keluarga lagi.”
Mereka sempat ragu dan saling pandang cukup lama. Namun akhirnya sepakat menurunkan senjata.