Huasya dan orang tuanya diantar Dipta ke hotel yang hanya berjarak 3 menit dengan mobil dari Kantor Sekjen RI. Sesampainya di hotel, Dipta kembali turun ke lobi untuk mengambil pesanan pecel bebeknya. Sementara Mona dan Rendra kini disibukkan dengan teleponnya bersama Vika dan Kila yang saat ini menginap di rumah Gea. Untunglah ada Gea yang menjaga kedua adik Huasya saat orang tuanya fokus pada Huasya. Mereka juga lebih aman menginap di sana daripada di rumah mereka hanya berduaan, Mona dan Rendra tentu tak akan bisa tenang.
Tak butuh waktu lama, Dipta sudah kembali lagi ke kamar hotel Huasya dan orang tuanya. Mereka dipesankan kamar hotel tipe family dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu kamar mandi.
Dipta segera membuka bungkusan makanannya. Ia juga menyiapkan sendok dan makanannya untuk tiga orang.
“Mas nggak makan?” Huasya menaikkan sedikit nada bicaranya. “Mas mau pergi lagi? Makan dulu sebentar gak apa-apa, kan? Ini udah tengah malem, Mas pasti belum makan juga dari tadi siang, kan?”
Dipta selesai menyiapkan tiga porsi nasi dan pecel bebek di meja tamu.
“Mas bisa makan roti nanti sambil lembur. Yang penting kamu makan dulu sekarang.”
Huasya mencebikkan bibirnya. Ia sungguh tak paham mengapa Dipta sampai tak bisa makan malam walau sebentar.
“Janji harus makan juga nanti sambil kerja,” putus Huasya kukuh.
Dipta tersenyum, mengangguk, lalu mengusap bahu Huasya erat.
“Ada beberapa anggota saya di sini yang terus berjaga. Jadi Sya, Om, dan Tante gak perlu khawatir. Saya pamit dulu.”
Saat beranjak, Huasya menyergah Dipta. Ia meminta waktu dua hingga tiga menit untuk bicara berdua. Mereka pun menuju balkon untuk bicara.
Huasya memberanikan diri untuk bertanya soal Hafiz.
“Mas, Hafiz gak akan dihukum mati, kan?” tanya Huasya pelan.
Huasya meremas kedua tangannya mencoba meregulasi degup jantung kegelisahannya. Bukan mengapa, tetapi ia sudah terlanjur janji pada Hafiz bahwa ia akan membantunya membela Hafiz di depan tim investigasi. Ia telah terlanjur berjanji dan meyakinkan Hafiz bahwa pasti Indonesia akan memberinya keringanan karena ia masih memiliki akal sehat untuk memusnahkan data yang ia bawa ke UC. Terutama, Huasya takut Hafiz terobsesi dengannya hingga nanti saat ia diberi hukuman maksimal, Hafiz akan menagih janjinya dan berbuat nekad terhadapnya.
“Biar hukum yang nanti bicara, Sya.”
“Tapi, Mas-“
“Sya,” potong Dipta cepat. “Dia bersalah, dia pantas dihukum. Dan kamu harus percaya, Mas bisa dan akan melindungi kamu. Dia gak akan berani nyentuh kamu bahkan untuk sehelai rambut pun.”
Huasya menatap Dipta lekat, tak disangka pria itu bisa membaca pikiran Huasya yang tengah kalut dilanda cemas.
Dipta membuka jaketnya lalu menyampirkannya pada Huasya. Ia menyejajarkan wajahnya dengan wajah Huasya dan mengunci tatapannya pada manik mata indah milik kekasihnya.
“Mas tahu apa yang kamu khawatirkan. Mas juga takut sesuatu di luar kendali kita akan terjadi lagi. Sama seperti saat kamu terkena racun tadi sore, Sya.”
Dipta memegang erat lengan Huasya.
“Aku gak apa-apa, Mas …” Huasya berujar pelan. “Aku sekarang baik-baik aja, beneran. Aku janji minum obatnya tepat waktu.”
Huasya mengusap lengan Dipta lembut, “Aku juga takut Mas kenapa-kenapa. Bisa janji ke aku, besok Mas harus periksa lagi lukanya? Hmm?”
Dipta mengangguk kuat.
Interaksi Huasya dan Dipta tak lepas dari pandangan kedua orang tuanya. Jujur saja, awalnya mereka ingin menyalahkan Dipta atas penculikan ini. Namun saat Andini menjelaskan duduk masalahnya, keduanya sepakat untuk tak menyalahkan Huasya atau pun Dipta dalam masalah ini.
Lagipula, siapa yang mau seorang penjahat kabur? Siapa pula yang bisa mengendalikan orang jahat? Jika semua orang adalah orang baik di dunia ini, maka poros kerja dunia jadi tak berjalan sebagaimana mestinya, bukan? Hal yang bisa dilakukan manusia dari waktu ke waktu, bukanlah pada bagaimana manusia mengendalikan manusia lainnya, tetapi mengendalikan diri sendiri agar tidak merugikan manusia lainnya. Jika tidak bisa memberi manfaat, setidaknya jangan melakukan kesalahan. Bagi Mona dan Rendra, Huasya tidak melakukan kesalahan, begitu pun dengan Dipta. Mereka hanya menghadapi masalah yang ada dan bergerak sesuai alurnya.
*****
Pagi yang cerah menyambut Huasya yang baru beranjak dari kasur setelah hampir pukul 11 siang. Ia benar-benar seperti dibius usai minum obat pagi tadi.
Meski hari begitu cerah, namun Huasya masih was-was tak mau mendekat ke jendela. Dokter yang tadi pagi memeriksanya juga sudah mewanti-wanti jika belum siap betul dan masih merasa lemas, maka jangan memaksakan diri untuk berada di bawah atau terkena sinar matahari langsung.
Dokter memang telah mengatakan bahwa kondisi Huasya jauh lebih baik daripada semalam, namun Huasya tidak terlihat senang ketika mendengarnya. Hanya satu hal yang kini ada dalam pikirannya.
Ke mana lagi perginya Dipta? Apakah ia kembali ke mode cuek dan menghilangnya usai semalam janji akan kembali ke hotel sembari mengantar dokter untuk memeriksanya?
Huasya memeriksa ponselnya, hampir tengah hari dan Dipta masih tak berinisiatif menghubunginya. Gadis itu memutuskan menelepon Dipta lebih dulu. Sepertinya kebiasaan lama akan sulit hilang. Maka biarlah ia menjadi seorang kekasih yang manja dan mengganggu Dipta saat ia sedang bekerja.
Panggilan pertama tak ada jawaban. Namun Huasya tak menyerah, ia kembali memencet tombol panggilnya. Ia bertekad untuk mendapat jawaban hari ini, tak akan ia biarkan seperti yang lalu, gengsinya menahannya menjadi pacar posesif dan berakhir tak begitu baik.
“Halo, Mas,” panggil Huasya saat telepon tersambung.
“Halo, ini Huasyayang? Siapanya Pak Dipta?”