Hadi Prasetyo dan rombongan telah sampai di Singapura di sebuah hotel jauh di pedalaman hutan buatan Singapura. Sejak di bandara hingga ke hotel bernama Meg Lion ini, Hadi beserta rombongan juga dikawal oleh otoritas setempat. Sesampainya di hotel, Hadi segera turun setelah diberikan kode aman oleh Dipta. Seperti biasanya, layaknya di hotel berbintang 5 lainnya, Hadi dan rombongan disambut dan disuguhkan welcome drink. Namun saat seorang petugas hotel memberikan sedotan agar Hadi meminum welcome drink itu, Dipta dengan gesit menyergahnya.
“Tidak minum dulu, Pak,” bisik Dipta.
Hadi kemudian mengangguk paham. Ia hanya menyapa satu per satu petugas hotel seperti biasanya. Ia menyalami mereka lalu bergegas mengikuti petunjuk Dipta untuk segera menuju kamar. Hadi dan Dipta tak butuh waktu lama untuk sampai di lantai delapan dan segera masuk ke kamar untuk menunggu waktu pertemuan.
Saat menunggu, Dipta mendapat laporan dari tim yang berjaga di luar bahwa UC mengirimkan pesan untuk meminta pertemuan dengan tim Hadi. Usai Memastikan ruangan aman dan tidak tersadap apa pun, Dipta segera pamit keluar.
“Tim protokoler mereka minta bertemu dengan ajudan Bapak Hadi untuk bahas teknis pertemuan.” Seorang anggota tim melaporkannya pada Dipta.
Ia pun langsung mengambil keputusan untuk segera menemui tim protokoler UC di lantai bawah. Dipta hanya sendiri sambil menenteng sebuah map menuju ke tempat yang disebutkan. Sesampainya di depan ruangan yang disebut penyampai informasi tadi, Dipta segera mengetuknya. Saat pintu terbuka ia menunjukkan ID card-nya sebagai ajudan Hadi Prasetyo.
“Major Dipta,” sebut Dipta.
“Spencer,” ucap pria tim protokoler UC.
Mereka segera mengambil tempat duduk di sofa kamar itu. Dipta menegakkan duduknya lalu menaruh map yang ia bawa di sampingnya.
Pria yang bernama Spencer itu memperlihatkan gambaran posisi duduk UC dan Indonesia saat pertemuan nanti malam. Dipta melihatnya sekilas dan ia sudah bisa memahaminya tanpa harus membaca isi kertas itu secara keseluruhan. Pada intinya UC hanya ingin mencari aman dengan hanya memperbolehkan Hadi ditemani oleh satu pengawal, dan atas nama keadilan UC juga akan melakukan hal yang sama ketika masuk ke ruang perundingan. Sementara dua perwakilan Singapura akan berada di ruangan sebrang tempat pertemuan mereka untuk mengamati situasi.
“We asked for two copies of the negotiation manuscript containing Indonesia’s request,” ucap Spencer dengan sopan.
Dipta menyanggupinya dan akan membawakan dua salinan untuk pertemuan nanti malam.
“We also asked Mr. Hadi Prasetyo to hold a press conference with UC regarding the contents of our agreement right after the meeting.”
UC dan pencitraan busuknya!
Meski dalam benaknya Dipta mengerang, namun ia tetap menyetujui permintaan UC untuk melakukan konferensi pers usai perundingan nanti.
“Alright Mr. Spencer. As long as the negotiation go smoothly,” Dipta menanggapi dengan tegas. “However, before we conclude this meeting, let’s discuss about the manuscript of the agreement. Hence, we won’t take much time for tonight event.”
Dipta memang diperintahkan untuk terlebih dahulu memeriksa apa yang akan menjadi tuntutan UC terhadap Indonesia pada perundingan malam ini. Jika mudah maka Indonesia tidak perlu mengubah rencana apa pun untuk skenario pengamanan malam ini, namun jika tuntutannya sukar dinegosiasikan, maka Dipta dan tim harus mengambil rencana cadangan yang telah mereka persiapkan.
Dipta menyodorkan map yang ia bawa di atas meja lalu mendorongnya mendekat pad Spencer. Begitu pun dengan Spencer yang mengambil sebuah map dari laci dan menyerahkannya pada Dipta.
Benar saja ternyata sesuai dugaan, UC menuntut terlalu banyak hal pada Indonesia. Isi tuntutannya terdapat tiga poin penting.
Dipta mengembuskan napas kasar dan menyunggingkan kedua alisnya hingga mirip dua bilah pedang yang siap dihunuskan.
“Number two impossible. Number three we’ll let you have what you should have,” Dipta langsung menolaknya.
Tentu saja Indonesia keberatan menyerahkan Hafiz pada mereka. Hafiz adalah warga negara Indonesia, yang jika dinyatakan salah pun oleh pengadilan, maka haruslah pengadilan di Indonesia. Saat Hafiz harus menebus kesalahannya dengan menerima hukuman pun, maka haruslah hukum negaranya, negara Indonesia. Jadi sudah tentu tuntutan nomor dua mutlak ditolak Indonesia.
Tuntutan ketiga juga Dipta tak bisa setujui sepenuhnya. Indonesia akan menyerahkan data asli penelitian hanya pada lapisan permukaan saja. Sementara inti penelitiannya, tentu Indonesia tak akan mau menyerahkannya begitu saja.
Enak aja! Satu waktu kalian berkhianat soal perjanjian ini, kita nggak akan punya bukti untuk laporkan ke Pengadilan Internasional, dong!
Spencer hanya mengangguk. Ia hanya katakan bahwa ia pasti sampaikan perubahan ini kepada Amose. Usai membaca saksama tuntutan Indonesia terhadap UC ia juga segera menggarisbawahi beberapa poin.
“Aren’t your demands too much, Major?” Spencer bertanya sinis.
Dipta hanya menyeringai. Dari posisi Indonesia yang lebih kuat dari UC, maka seharusnya empat poin tuntutan itu tak berlebihan.
“Considering our position, those aren’t exaggeration, Sir,” Dipta balas tak kalah sengit.
Empat poin yang tak berlebihan itu adalah :
Data yang dicuri dan dibocorkan Hafiz sudah benar-benar dimusnahkan berdasarkan pengecekan tim investigasi semalam sehingga Indonesia tidak perlu menuntut mereka untuk mengembalikannya. Maka saat ini posisi Indonesia telah diuntungkan dan lebih kuat dibanding UC. Mau tak mau, mereka hanya punya dua pilihan, satu menyerah dan menyetujui keseluruhan tuntutan Indonesia tanpa syarat, sedangkan yang kedua adalah pilihan terburuk yaitu mengangkat senjata. Dan Indonesia telah siap menghadapinya apa pun langkah UC.
Pukul 18.00 Waktu Singapura
Hadi akhirnya berhadapan dengan Amose, pria yang sudah di akhir 60-an itu sedang menjabat tangan Hadi dengan kuatnya. Jabatan tangan kuat itu dibalas tak kalah kuat oleh Hadi. Mereka senyum terpaksa di hadapan perwakilan Singapura yang mengantar mereka ke ruang pertemuan. Posisi Dipta tentu selalu berada dua langkah di depan Hadi.