Huasya sudah siap melakukan pindahan, ia sudah mengemas seluruh pakaiannya ke dalam dua koper besar. Barang lainnya seperti alat masak dan alat elektronik yang lain, telah ia kirim dengan kargo kemarin. Tak banyak sebenarnya hanya satu dus besar yang ia kargokan. Namun tetap saja, hari ini ia harus berjibaku dengan dua koper berat ini dan membawanya ke stasiun untuk bersama-sama naik kereta dengannya.
Apa aku relain aja, ya? Tapi sayang baju-bajunya! Huasya menangis dalam hati.
Seketika ia menyesali kenapa tidak sekalian kemarin ia kargokan saja baju-bajunya ini. Sampai tetiba Huasya terpikir Dipta. Andai saja kekasihnya itu pewagai biasa atau CEO seperti di drama yang bisa mengatur jadwalnya sendiri. Mungkin hari ini ia bisa mengantarnya pindahan.
Asal Mas baik-baik aja, aman dan selamat, cukup buatku, Mas, batin Huasya sembari menyentuh kalungnya.
Rasa kesepian yang seketika menyergap ini membuat Huasya bergidik ngeri.
Biasanya juga sendiri, Huasya menguatkan diri.
Ia menurunkan satu per satu koper dari lantai dua. Dengan susah payah ia menurunkannya lalu rehat sejenak di ruang tamu untuk menarik napas. Tubuh tak bisa bohong, jarang dilatih akhirnya ototnya loyo seperti ini.
Sambil terus misuh, Huasya menggeret kopernya dengan seluruh kekuatan di dalam tubuhnya.
“Dengan kekuatan bulan!!!” Huasya berseru.
Sepertinya seruan itu mampu membangunkan seluruh penghuni kosan, karena kini tiba-tiba gerbang di hadapannya terbuka dan menampakkan sosok yang sepertinya terkejut akibat teriakannya.
Huasya melepaskan genggaman pada kedua kopernya, berjalan cepat menghampiri sosok pria yang baru saja membuka gerbang pagar kosannya. Ia berjinjit lalu mengalungkan tangan di leher pria itu.
“Mas …” bisik Huasya. “Mas udah pulang,” imbuhnya bergetar.
Dipta membalas pelukannya erat, satu tangannya mengusap kepala Huasya dan tangan yang lain menopang pinggang Huasya yang tak lagi seimbang karena berjinjit hingga bergetar. Isakan terdengar sangat pelan di telinga Dipta.
Huasya menangis.
Lama Huasya menangis dan kali ini ia sudah benar-benar tak lagi memedulikan jika ada paparazi dadakan yang tiba-tiba mengekspos hubungan mereka secara gamblang. Terlalu lama Huasya memeluk, akhirnya lelaki itu merintih.
“Mas, kenapa? Ada yang sakit? Ada luka baru?” Huasya mengurai pelukannya.
Matanya yang telah memerah memindai dengan teliti tampilan Dipta.
Dipta menggeleng, “Ini luka yang lama kok. Mas kangen Sya!”
“Mas Dipta beneran gak apa-apa?” Huasya mengerutkan keningnya.
Dipta menganggukan kepalanya cepat.
“Mas anter sampai rumah, ya,” ujar Dipta lembut.
“Mas yakin? Mas kelihatan pucet banget,” Huasya cemas setengah mati.
“Gak apa-apa,” Dipta mengelus rambut Huasya.
Dipta menggeret kedua koper Huasya dan segera memasukkannya ke dalam bagasi mobilnya. Huasya masih belum yakin untuk membiarkan Dipta mengantarnya hingga Dayo. Wajah Dipta benar-benar pucat. Matanya terlihat sangat lelah dengan kantung hitam yang terlalu jelas bahkan jika dilihat dari kejauhan. Usai memasukkan koper, Dipta membukakan pintu penumpang dan mempersilakan Huasya untuk naik.
“Kalau Mas cape, kita gantian nyetirnya.”
Dipta tersenyum, “Iya, Sya …”
“Bawanya pelan-pelan aja, ya!”
“Iya, Sayang …”
*****
Mereka mencapai Dayo dengan selamat sentosa memakai kecepatan rata-rata sesuai minimal kecepatan yang dianjurkan di jalan tol, ocehan Huasya pun menemani perjalanan mereka. Dipta hanya membiarkan Huasya bicara tanpa henti menceritakan rasa bosannya selama di hotel. Hal ini Huasya lakukan agar Dipta teralihkan pikirannya dari urusan pekerjaannya. Huasya bisa melihat dengan jelas ceruk di antara kedua alis Dipta semakin dalam tiap Huasya berhenti bicara.
Huasya juga merasa tenang karena Dipta tidak sepucat saat berangkat berkat coklat dan susu yang ia jejalkan pada Dipta dan untungnya selalu ada di dalam tasnya. Sepertinya Huasya berhasil mengembalikan rona asli wajah Dipta.
Setibanya di depan rumah Huasya, Dipta segera menurunkan koper Huasya. Seperti biasa, Dipta yang mengibaskan tangannya untuk menyesuaikan pakaiannya agar terasa lebih nyaman, tak luput dari perhatian Huasya. Setelah itu ia menggulung kemejanya, dan mengangkat koper pertama untuk diletakkan di samping mobil yang posisinya saat ini terparkir di depan pagar rumah Huasya. Namun gerakannya terinterupsi berkat pernyataan Huasya yang begitu menohok.
“Mas kelihatan menua dalam seminggu, kelihatan jelas kaya om-om.”
Dipta melotot tak percaya dengan ucapan Huasya yang seharusnya memujinya tetapi justru malah mengkritiknya. Sebelum berangkat ia kesulitan memilih pakaian dan warna coklat akhirnya ia pilih setelah mempertimbangkan penampilan dirinya agar terlihat baik di depan Huasya. Namun bisa-bisanya Huasya berkata begitu setelah banyak upaya Dipta lakukan hanya untuk memilih sebuah kemeja.
“Sya ngatain Mas?” Dipta mengerutkan alisnya.
Huasya masih berdiri di hadapannya dengan wajah yang sangat amat datar sampai Dipta tak bisa menebak apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Huasya. Dipta segera menurunkan koper lainnya kemudian berniat menggeret keduanya masuk ke dalam rumah. Namun Huasya tak bergeser barang satu senti pun.
“Huasya …”
Huasya enggan bergeser.
“Minggir dulu sebentar, Sayang,” ucap Dipta pelan.