Mona sibuk di dapur sejak tadi sore. Ia memasak bubur untuk pasien spesialnya di rumah.
Tadi sore Dipta hampir pingsan lalu diantar Rendra dan Huasya ke UGD rumah sakit. Dokter mengatakan Dipta hanya kelelahan dan lukanya terinfeksi karena tidak rajin dibubuhi obat. Dokter pun segera menyuntikkan antibiotik dan penurun demam untuk Dipta. Untungnya hanya dalam waktu 30 menit, demamnya turun dan dokter memperbolehkannya pulang. Huasya sempat memaksa untuk merawat inap Dipta di rumah sakit. Tetapi dokter menyarankan Dipta dirawat saja di rumah karena kamar inap penuh dan sakitnya tidak parah sampai harus diinapkan di sana. Alhasil, Huasya dan Rendra membawa Dipta kembali pulang ke rumah mereka.
Huasya berdiri di dekat meja makan memperhatikan Mona yang sedang sibuk membumbui bubur ayam spesialnya.
“Kamu nih, sama calon suami bisa-bisanya mukul, Sya!” Mona menggerutu. “Kalau ada apa-apa sama menantu Mama kamu mau gimana?”
Apa?! Bukannya tadi siang Mama masih nentang keputusan aku lamar Mas Dipta?
“Siapa sih, sebenernya yang anak Mama? Aku atau Mas Dipta?”
“Nah, kan! Gitu lagi bahasnya,” sentak Mona.
“Maaa … yang tadi nggak ngebolehin aku lamar Mas Dipta tuh, kan Mama. Sekarang Mama malah belain Mas Dipta banget. Aku sakit aja kalau di Pakuan sendirian Mama nggak seperhatian ini. Giliran Mas Dipta segala dibikinin bubur ayam,” protes Huasya dalam sekali tarikan napas.
Mona menyeringai lalu berkata, “Kan, Mama cuma mau ngetes Dipta. Eh, ternyata lolos ujian Mama. Jadi kamu, nggak boleh nyia-nyiain Dipta. Harus belajar jadi calon istri yang baik.”
Huasya menghentakkan kakinya sebal. Suka tak suka kini ia menambah saingan pencari perhatian mamanya. Saat disodorkan nampan bermuatan semangkuk bubur ayam isian lengkap, sepisin apel, segelas air mineral, dan sebungkus obat resep dokter, Huasya hanya menerimanya dengan penuh kesabaran.
“Gih, bawa buat Dipta.”
Huasya pun hanya bisa menuruti perintah nyonyanya dan segera menuju ke kamar tamu di dekat ruang tamu.
Huasya mengetuk pintunya sejenak, lalu membukanya lebar-lebar. Dipta yang tadinya sedang tidur kemudian segera bangkit dan bersandar ke kepala ranjang.
Dengan hati-hati Huasya menaruh nampannya di atas nakas.
“Dimakan, Mas.”
Dipta bergeming dan menatap datar Huasya, sementara yang ditatap mengedikkan bahunya tak acuh.
“Sya …” Dipta tiba-tiba memelas. “Tangan Mas sakit, mau disuapin.”
Huasya membelalakan matanya dan ternganga tak percaya.
“Mas gak salah?” Huasya terheran.
“Nggak, Mas emang pengen disuapin sama Sya. Ya, boleh, ya?”
Huasya menipiskan bibirnya menahan tawa sekuat tenaga.
“Mas, udah deh. Nggak cocok, Mas,” Huasya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Meski enggan nyatanya Huasya tetap duduk di tepi ranjang, menyisipkan rambutnya ke belakang telinga, lalu meraih mangkuk buburnya. Semua tak luput dari pandangan Dipta yang kini tersenyum melihat cincin di jari manis Huasya.
“Tapi Sya suka kan, kalau Mas manja gini?”
Suara serak Dipta tiba-tiba membuat Huasya merinding. Ia sedikit menjauhkan tubuhnya sembari memicingkan matanya dengan tajam.
“Gak usah aneh-aneh! GAK BOLEH ANEH-ANEH!”
Huasya kemudian menyuapi Dipta dalam diam. Sebenarnya Huasya tak nyaman terus menerus ditatap Dipta dengan lekat. Mungkin wajahnya terlihat merona karena malu hingga menarik perhatian Dipta. Usai menandaskan bubur, Dipta memakan apelnya, sendiri, garis bawahi sendiri tanpa disuapi Huasya. Sementara Huasya membuka satu per satu obat yang diresepkan dokter. Saat Huasya menyerahkannya pada Dipta lalu membantunya minum, tiba-tiba suara seseorang terbatuk-batuk kecil dari arah belakangnya terdengar begitu jelas.
“Ngapain kalian di situ?!” Huasya melotot ke arah kedua adiknya.
“Cieee~!” seru Vika dan Kila bersamaan.
“Kalian!” Huasya menggeram.
Wajah Huasya sudah semerah tomat yang baru dipetik Mona dari halaman. Ia gegas berdiri dan membawa nampan kosongnya tanpa memedulikan Dipta yang tersenyum puas, lalu segera keluar mengejar kedua adiknya yang sudah lari tunggang langgang dan menutup pintu kamar tamu dengan cukup keras.
Gemes kamu, Sya, batin penonton setia kesalahtingkahan Huasya.
*****
Tiga bulan telah berlalu sejak lamaran Huasya dan Dipta. Namun bukannya sibuk dengan persiapan pernikahan usai pertemuan kedua keluarga inti, mereka justru disibukkan dengan urusan pekerjaan.
Seluruh Indonesia telah dihebohkan oleh berita gugatan Pemerintah Indonesia terhadap Universal Consortium di Pengadilan Internasional. Selama dua bulan terakhir, setiap saluran berita nasional pasti tak luput dari membahas isu tersebut. Bahkan banyak surat kabar dan saluran berita mancanegara yang juga ikut memberitakan langkah berani Indonesia melaporkan UC ke Pengadilan Internasional, untuk tuduhan mengirimkan percobaan artificial earthquake ke wilayah Indonesia dan mencuri data pertahanan Indonesia. Tentu Pemerintah Indonesia yang dimaksud sudah termasuk nama Dipta Bramantya yang juga bekerja keras ikut di dalamnya.
Dalam kasus yang luar biasa menghebohkan sejagad raya ini, terdapat saksi kunci dari pihak Indonesia yang tak lain adalah Hafiz. Meski perannya yang sempat diragukan oleh masyarakat Indonesia, namun berkat kesaksian Hafiz, Chief of UC yaitu Amose bisa segera ditahan, membuat masyarakat mulai memercayai Hafiz sebagai saksi kunci. Masyarakat Indonesia juga tak meniadakan gelombang tuntutan hukuman untuk Hafiz sehingga aspek pro dan kontra tetap dapat terjaga dengan seimbang.
Berita kedua yang tak kalah menghebohkan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, yaitu berita perubahan kebijakan kepemilikan pulau di Indonesia. Negara kembali mengambil alih seluruh pulau yang dijual kepada pihak asing. Pihak asing hanya diizinkan memiliki hak guna dan sewa pada jangka waktu tertentu terhadap tanah khususnya pulau-pulau yang ada di Indonesia. Mereka tak bisa lagi mengakuisisi berdasarkan undang-undang yang baru. Meski protes terus dilayangkan melalui berbagai konferensi atau pertemuan bilateral Indonesia dengan negara lain, namun Indonesia tetap teguh dengan regulasi kebijakan itu.
Kabinet juga telah berganti, tak ayal ini menyita waktu Dipta yang mulai memindah kuasakan posisi ajudan Hadi Prasetyo yang kini naik dan terpilih menjadi Presiden RI periode yang baru. Proses alih jabatan ini cukup menghabiskan banyak waktu Dipta sehingga ia harus lihai mencuri waktu di tengah kesibukannya untuk menemui Huasya dan mempersiapkan pernikahannya.
Sementara Dipta sibuk dengan proses perpindahan kekuasaan dari presiden sebelumnya ke presiden yang baru saja dilantik, sang kekasih, Huasya Kartika juga sangat produktif sebagai dosen muda di Universitas Negeri Dayo. Huasya berhasil diterima di UND setelah melalui berbagai seleksi dua bulan yang lalu. Selama sebulan seleksi, Huasya tak bisa bertemu dengan Dipta. Untungnya Dipta hanya merajuk sebentar karena di bulan selanjutnya, Huasya yang sudah diterima di UND bisa meluangkan waktu akhir pekannya untuk bertemu dengan Dipta dan mempersiapkan urusan dokumen pernikahannya.
Terkadang, Huasya yang datang ke Pakuan, dan kadang kala Dipta yang menghampiri Huasya ke Dayo. Layaknya pasangan calon suami-istri pada umumnya mereka membahas persiapan pernikahan, memesan tempat, memilih catering, hingga mempersiapkan dokumen N4 syarat nikah kantor dengan sangat cepat. Efisiensi dan efektivitas sangat Huasya kedepankan. Jika mamanya bisa membantu, maka akan ia percayakan kepada mamanya, dan jika Prisil- mama Dipta bersedia menangani, maka akan ia serahkan pada Prisil. Alhasil, Mona dan Prisil yang lebih bersemangat menyiapkan pernikahan Huasya dan Dipta.
Pada pekan ini giliran Huasya yang datang ke Pakuan. Ia kebetulan memiliki jadwal talkshow di sebuah bank milik negara. Ia diundang untuk memberikan materi kepada para pegawai bank yang bersiap daftar beasiswa yang digelar bank mereka.
Para kader muda di bank akan diberi materi bagaimana cara menulis proposal dan hasil penelitian mereka sehingga bisa memenuhi standar yang dibuat bank sebagai penyedia beasiswa. Ini menjadi kegiatan yang sering dilakukan Huasya di akhir pekan seusai kesibukannya di kampus. Ia telah beberapa kali diundang ke berbagai tempat. Lumayan, katanya. Menambah saldo di rekeningnya. Lagipula ia sangat menyukai kegiatan berbagi pengetahuan sehingga tak merasa keberatan melakukannya.
Selepas memberikan materi, melalui sesi tanya jawab, dan menerima sertifikat sebagai pembicara, Huasya yang baru saja keluar dari auditorium tiba-tiba dihampiri seseorang. Seseorang yang sangat mengejutkan Huasya sedang tersenyum padanya.
Gawat! Mas Dipta gak boleh tahu soal ini.
“Hai, Sya! Long time no see,” sapanya dengan riang gembira.
“Hai, Van,” Huasya tersenyum paksa.
Jika ada yang bertanya apa yang paling diwaspadai Dipta maka jawabannya bukanlah bahaya di medan perang, melainkan seorang Evan, teman lama Huasya. Tempo hari Dipta bahkan memprotes terang-terangan foto yang diunggah Huasya. Foto sidang tesisnya yang terlambat ia unggah, yang menjadi satu-satunya momen kelulusannya karena Huasya tak sempat mengikuti wisuda yang jadwalnya berbarengan dengan jadwal tes micro teaching masuk UND.
Dipta memperkarakan Evan yang berdiri dan berpose di samping Huasya. Dipta mengatakan dengan jelas agar Huasya menghapus foto tersebut. Demi ketenangan jiwa Huasya, maka ia putuskan untuk menghapusnya. Dipta berdalih bahwa ia saja tak bisa berfoto dengan Huasya hari itu, maka lelaki yang sempat menyukai Huasya pun tak boleh berfoto dengan posisi berdampingan dengan Huasya. Untunglah Dipta tak tahu jika Sakti juga sempat menyukainya, jika tidak, urusannya bisa panjang.
“Keren banget, Sya. Tadi aku ngikutin kelas kamu dari belakang,” ujarnya semringah.
“Iya, makasih! Sorry, Van. Gak bisa lama-lama. Aku permisi duluan.”
Sebelum Evan menahannya, Huasya langsung mengeluarkan jurus langkah seribunya. Ia sama sekali tak penasaran mengapa lelaki itu bisa ada di sini. Huasya hanya menebak mungkin ia bekerja di sini.
Dipta yang sudah menunggunya di depan tak akan ia biarkan bertemu dengan Evan!
*****
Bulan purnama yang lain telah berlalu. Huasya dan Dipta masih menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Huasya yang sibuk mengajar dan Dipta yang kini sibuk dengan tugasnya bolak-balik antara Yonif 007 dan Istana.
Sabtu ini Huasya kembali mengunjungi Pakuan khusus untuk bertemu dengan Dipta. Katanya ingin mendiskusikan sesuatu yang sangat penting, namun karena malam nanti Dipta harus kembali bertugas, Huasya lah yang akhirnya pergi ke Pakuan.