MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #36

Bab 36 : Oleh-Oleh dari Jerman

Empat bulan menikah membuat perubahan yang sangat signifikan pada kehidupan Huasya dan Dipta. Jika mengingat awal pertemuan mereka saat Huasya masih tak terbayang bisa bertemu Dipta, maka sungguh takdir dan kuasa Tuhan selalu dipenuhi misteri. 

Perjalanan panjang kisah kasihnya dengan genre yang terkadang lebih mirip film blockbuster tak ayal membuat Huasya tersenyum saat mengingatnya. Foto-foto prosesi pedang pora yang sejak remaja ia impikan kini terpampang nyata di album pernikahannya. Ia yang mengenakan kebaya Jawa kontemporer dan Dipta dengan pakaian dinas upacaranya begitu terlihat serasi. Bak raja dan ratu sejagad. Tak biasanya Huasya sedramatis ini mengingat memori yang baru empat bulan berlalu. Sampai seseorang memeluknya dari samping sambil menyodorkan segelas coklat panas di hadapan Huasya. 

“Mas …” panggil Huasya manja. 

“Hmm?” 

“Kamu gak masalah dikatain kurang beruntung nikah sama aku?” tanya Huasya pilu. 

“Sssttt! Ngomong apa kamu?” bantah Dipta cepat. “Sya abis lihat komentar di medsos, ya? Ada foto sama video baru tentang kita?” 

Huasya menggeleng. Ia membicarakan hal ini setelah menonton video editan fan base-nya Dipta. Tak ada yang salah dengan unggahan yang dikirim empat bulan lalu saat pernikahan mereka. Itu hanya sebuah video yang memberikan ucapan selamat kepada Dipta dan Huasya atas pernikahannya. Video pendek yang ditonton sebanyak tiga juga kali dan dikomentari lebih dari sepuluh ribu akun. Hanya saja, banyak di antara mereka yang ternyata menyayangkan pernikahan Huasya dan Dipta dengan alasan Dipta sedang di puncak kariernya. Beberapa di antaranya bahkan ada yang berkata bahwa Huasya terlalu jauh dari ekspektasi mereka. 

Huasya tidak sekolah di luar negeri, lah. 

Huasya tak secantik mantannya Dipta, lah. 

Huasya yang bukan dari kalangan besar dan terpandang, lah. 

Semua Huasya baca hingga ia merasa bersalah pada Dipta. Parahnya, berita pernikahan Huasya dan Dipta menghebohkan seluruh jagad maya Indonesia sehingga jutaan pasang mata tertuju pada mereka. Tidak nyaman? Tentu saja! Viral tak selamanya menyenangkan. 

“Jangan dibaca lagi, Sayang … itu dia kenapa Mas lebih seneng deactivate akun kaya sekarang.” 

Dipta bersandar ke sofa lalu menepuk bahunya meminta Huasya untuk bersandar di bahunya yang eksklusif hanya untuk Huasya. 

“Bagi Mas, Sya lebih dari cukup. Sya yang dikira gak sekolah di luar negeri tapi kamu berkomunitas sampai Toronto, tulisan kamu dimuat di banyak jurnal internasional, dan bahkan sekarang diterima di Monash University kampus Pakuan buat S3.” 

Huasya terisak, Dipta memang tak melihat wajah Huasya yang sudah terbenam di bahunya, tetapi tetap bisa merasakan getarannya dan isakannya. Dipta segera menggamit tangan Huasya, mengepaskan jari-jari mungil Huasya dengan jari jemarinya.

“Sya adalah wanita paling cantik di hidup Mas, dan akan terus begitu sampai kita tua nanti. Sya bukan dari keluarga tokoh terkenal tetapi Sya berasal dari keluarga baik dan terhormat karena bisa mendidik Sya dan adik-adik perempuan Sya menjadi wanita yang bermartabat. Dan Mas, selalu bersyukur dan bangga karena itu.” 

Beberapa waktu ini Huasya memang sedang dalam mood yang kurang baik karena ia lagi-lagi dikirim ke konferensi ilmiah internasional sembari membawa mahasiswanya. Mendengar dirinya akan dikirim ke Jerman selama delapan hari, membuat Huasya sedih karena ini pertama kalinya Huasya jauh dari Dipta setelah menikah. Huasya menjadi manja dan sering merajuk pada Dipta, tanpa Huasya ketahui bahwa Dipta juga begitu sedih harus terpisah sementara dari Huasya. 

“Mas pantesan kerjanya kepake Bapak Hadi,” ucap Huasya tiba-tiba sembari bangkit. 

Dengan tangan yang berpangku di bahu Dipta Huasya menatap lekat suaminya itu. 

Mendengar perkataan Huasya yang seperti pujian namun juga bukan pujian seketika membuat Dipta menaikkan sebelah alisnya. 

“Mas jadi pinter ngerayu gini, padahal dulu dingin akut sama aku.” 

“Kan dulu mah beda. Sekarang udah jadi suami kamu, Mas harus pinter ngambil hati istri Mas, dong!” 

Huasya mengulum senyumnya lalu beranjak dan segera berjongkok di depan kopernya yang siap ditutup. Huasya memasukkan satu buku album pernikahannya ke dalam koper lalu menutupnya dibantu oleh Dipta. Ia berdalih takut rindu, maka album besar yang berat itu pun harus ia boyong ke Jerman.

“Oh, ya! Mas belum tahu ya, aku setim sama Sakti ke Jerman ini. Dia jadi penulis kedua di artikelku yang bakal dipresentasikan di conference.” 

“Apa?!”

Huasya menyeringai, ia hanya berharap pancingannya ini bisa membuat suaminya menyusul ke Jerman secepatnya.

*****

Berlin, Jerman

Hari ketiga Huasya mengikuti proses konferensi dan kepalanya sudah berasap akibat terlalu keras berpikir. Huasya memang bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris, hanya saja jika itu dilakukan di sebuah konferensi ternyata membuatnya pusing tujuh keliling. 

Bahasa ilmiah sama bahasa sehari-hari bahasa Inggris kenapa harus jauh berbeda, sih?!

Huasya bersyukur hari ini ia lebih cepat selesai dan bisa segera kembali ke kamar. Ia bersama Sakti dan empat mahasiswanya segera kembali ke kamar. 

Setibanya di lantai delapan tempat mereka menginap, Huasya dan Sakti terus berbincang seperti biasa sambil beejalan keluar dari elevator hingga tak menyadari ada seseorang yang telah berdiri dengan gagahnya dengan kemeja putih dan berjaket kulit hitam dilengkapi kacamata hitamnya. Huasya disentuh oleh salah satu mahasiswanya yang segera menunjuk ke arah pria menakutkan itu. 

Huasya bergegas menoleh ke arah yang dituju, dan matanya mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa benar yang dilihatnya bukan sebuah halusinasi. 

“Maaaas!” Huasya berseru lalu berlari. 

Huasya menghampiri Dipta yang melepas kacamatanya lalu melebarkan kedua tangannya bersiap menyambut sang istri yang sudah pasti memeluknya tanpa memedulikan keseimbangannya berdiri. Benar saja, Huasya berjinjit dan segera memeluk suaminya. 

“Wangi suamiku,” bisiknya sambil terkekeh. 

Surprise!” seru Dipta pelan. 

“Rencanaku berhasil,” ujar Huasya. 

“Mas tahu, kok. Sya sengaja last minute ngasih tahu perginya bareng Sakti,” Dipta mengecup kepala Huasya. 

“Halo, Mayor Dipta,” salah satu mahasiswa Huasya menyapa. 

Huasya hampir melupakan ada mahasiswanya di sini. Ia segera melepas pelukannya dan beralih menggandeng lengan sang suami. 

“Halo, saya Dipta, suami Huasya,” Dipta memperkenalkan diri dengan bangga. 

“Apa kabar, Pak?” Sakti menyalaminya. 

“Baik,” jawab Dipta singkat. 

“Cuti, Pak?” Sakti bertanya lagi. 

“Khusus buat istri, kebetulan belum honeymoon yang proper, udah kangen banget sama istri,” Dipta tersenyum pada Huasya. 

Ya, tentu saja! Semua akan Dipta lakukan untuk kebahagiaan Huasya. Selama ia bisa, maka ia akam lakukan apa pun yang Huasya inginkan. Seperti saat Huasya mengatakan Sakti setim dengannya, Dipta paham saat itu juga ia harus segera memesan tiket dan mengambil cuti untuk menyusul sang istri hingga ke benua Eropa. 

*****

Lihat selengkapnya