MAJOR(ILY)

NUN
Chapter #37

Bab 37 : H3D = Hari-Hari Huasya dan Dipta

Nikmat Tuhan mana lagi yang akan kau dustakan? Kalimat tanya ini begitu terngiang di benak Huasya, selama sembilan bulan mengandung ini ia merasakan nikmatnya menjadi seorang ibu. Seperti saat ini, terbangun di tengah malam, di tanggal-tanggal hari perkiraan lahir, tetapi bukan karena terjadi kontraksi melainkan Huasya merasakan pegal di seluruh tubuhnya. 

Gerakan dan posisi tidur Huasya yang sangat terbatas di usia kehamilan yang besar ini membuatnya sering gelisah di waktu malam. Miring ke kanan terlalu lama, bisa kesemutan, pun begitu jadinya jika miring ke kiri terlalu lama. Ingin sekali Huasya tengkurap, namun jika begitu, ia harus tidur di ranjang yang berbeda dengan Dipta. Ya, Dipta membelikan Huasya ranjang khusus ibu hamil yang bisa digunakan Huasya untuk tidur tengkurap karena diberi ceruk di bagian tengah ranjang sehingga perutnya bisa aman dan tak tertindih tubuhnya. Hanya saja, Huasya enggan jika malam begini harus tidur di ranjang itu, meski ranjang itu sebenarnya ada di dalam kamarnya, namun tetap saja, Huasya enggan berpisah dengan suaminya. 

Huasya pun memilih bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang, Dipta yang merasakan gerakan itu pun segera bangun dan mengecek keadaan Huasya. 

“Kenapa, Sayang? Ada yang sakit?” 

“Pegel, Mas. Tapi jangan suruh aku tidur di ranjang sana. Aku gak mau jauh dari Mas,” keluh Huasya manja. 

“Sini,” Dipta bangkit dan bersandar pada ranjang. 

Dipta meminta Huasya untuk bersandar padanya agar Huasya bisa kembali tidur. 

“Kan, yang hamil bukan cuma Sya. Mas juga kan Pakmil, jadi harus ngerasain apa yang Sya rasain juga,” ujar Dipta menatap lekat Huasya. 

“Mas …” Huasya menipiskan bibir. Ia menahan tangisnya. Huasya segera merangsekan tubuhnya pada Dipta dan bersandar pada suaminya. 

Dipta tersenyum dan segera mengambil sebuah buku tentang aljabar yang sengaja Huasya beli untuk dibaca saat ia sulit tidur. Kata Huasya, matematika adalah pelajaran yang paling membuatnya mengantuk saking pusingnya sehingga ia sengaja membeli bukunya untuk membuatnya tidur. Dipta pun membacakannya perlahan mengiringi Huasya yang mulai kembali diserang kantuk. 

“Nyaman,” gumam Huasya. 

Dipta terus membacakan bukunya sambil mengelus perut Huasya. Ia tahu betapa sulitnya mengandung, ia tahu seberapa besar upaya Huasya yang sibuk mengajar, sibuk mempersiapkan proposal penelitian disertasinya, dan sibuk mengurus dirinya sendiri yang sedang hamil. Huasya mencoba menyeimbangkan produktivitas dan waktu istirahatnya. Sebisa mungkin Dipta selalu membantu, sebisa mungkin Dipta selalu ada, dan sebisa mungkin Dipta mencoba menempatkan diri di posisi Huasya, seperti saat ini. 

Dipta tak ingin membiarkan Huasya berjuang sendirian karena sejak ijab dan kabul di meja akad, Huasya adalah belahan jiwanya. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, bahkan untuk mengerjakan proposal penelitiannya pun, Huasya dibantu Dipta untuk mengetik. Huasya cukup mendiktekan apa yang ingin ia tulis. 

Untungnya Dipta yang beberapa bulan lalu naik pangkat menjadi letnan kolonel dan didaulat menjadi Danyonif 395 Para Raider tidak begitu sibuk, hanya ruitn ngantor ke batalyonnya dan sesekali keluar kota untuk pergi dinas. Ia berhasil menjadi suami siaga yang selalu ada untuk istrinya yang kini telah tertidur lelap di pelukannya. 

Terima kasih, Sayang, batin Dipta sembari mengecup pucuk kepala Huasya. 

*****

HPL memang sudah di depan mata dan Huasya masih beraktivitas seperti biasa karena belum merasakan adanya kontraksi di perutnya. Seperti hari-harinya menunggu suami pulang, usai sembahyang asar Huasya akan melantunkan ayat suci di tengah rumah, katanya sembari melatih vokalnya. 

Saat pagar rumah dibuka, dan deru suara mobil Dipta terdengar jelas, Huasya melepas kerudungnya dan segera keluar untuk menyambut suaminya. 

“Assalamualaikum!” 

“Waalaikumsalam,” Huasya menjawab. 

Salam dan mengecup kening Huasya selalu dan wajib dilakukan berdasarkan kesepakatan keduanya dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, bahkan jika mood mereka dalam keadaan buruk, ritual ini harus selalu dilakukan. 

“Pasti abis ngaji lagi, ya?” tanya Dipta saat masuk rumah. 

“Iya, abisnya bosen nunggu Mas,” keluh Huasya. 

Sebenarnya Huasya tak suka mengeluh atau protes terhadap hal-hal seperti ini, namun karena Dipta mengatakan ia menyukai Huasya versi manja, maka dengan senang hati Huasya selalu lakukan selama setahun lebih ini mereka menikah. Meski begitu jika tiba saatnya Dipta harus bertugas dan harus keluar kota, Huasya tak pernah mengeluh dan hanya bertanya kapan Dipta akan pulang. Kode taman safari dan kawan-kawan juga masih terus mereka gunakan. Huasya yang ditinggal tugas akan kembali ke mode independennya, dan saat Dipta pulang akan kembali ke mode manjanya. Kalau ada yang mengira Huasya punya dua kepribadian, maka jawabannya salah! Huasya masih punya banyak kepribadian yang eksklusif tergantung dengan siapa ia berinteraksi. 

“Mas telat pulangnya, ya? Jadi gak bisa denger Sya ngaji,” sesal Dipta. “Padahal Mas seneng dengerin suara kamu.” 

Huasya tersenyum simpul, ia tak pernah bosan dengan pujian sang suami terhadap dirinya. Baginya ini seperti sebuah candu, yang semakin banyak didengar semakin membahagiakan. 

“Nanti aku ngaji lepas magrib berjamaah, ya,” Huasya coba menghibur. “Itu apa, Mas?” 

“Mas beli bandeng presto yang Sya sempet minta waktu itu,” Dipta membongkar bungkusannya. 

“Tapi Sya udah masak, Mas …” Huasya menunjuk tudung saji. 

“Mas kan, udah bilang Sya gak perlu masak, Sayang,” ujar Dipta pelan. 

“Tapi aku gabut, Mas. Daripada diem aku lebih suka ngerjain sesuatu. Tadi Sya udah selesain proposal, jadinya bingung mau ngapain lagi, jadinya masak, deh. Lagian masih banyak bahan makanan di kulkas, sayang kalau dibiarin aja, kan?” Huasya membela diri. 

Dipta mengusap lembut rambut Huasya yang menjuntai hingga pinggang. 

Lihat selengkapnya