Tidak ada waktu yang paling dinantikan setiap hari di keluarga ini kecuali jam makan siang di hari Minggu. Sebab saat itulah keluarga ini benar-benar terlihat dan terasa utuh. Momen itu adalah momen terbaik dalam sejarah keluarga ini dan suatu saat menjadi alasan mengapa butuh kesabaran untuk kembali mengulanginya. Meski dengan rentang waktu yang panjang, dan sebuah skenario yang tidak menyenangkan.
Saat itu, usia Fadil baru 8 tahun. Baru saja naik kelas 3 SD. Fidella, kakak perempuannya, berusia 12 tahun. Baru saja naik kelas 6 SD. Bapak masih bekerja sebagai pegawai negeri sipil Dinas Kehutanan. Karena ditempatkan di bagian lapangan, waktunya lebih banyak di hutan dan di rumah ketimbang di kantor. Sedangkan Ibu, adalah pemeran utama dalam adegan ini. Seorang pedagang kue di pasar. Urusan masak, beliau jagonya. Siang itu, semua berkumpul di meja makan.
Di atas meja sudah Ibu siapkan menu makan siang yang ia tutupi dengan tudung saji. Selama proses memasak, tidak seorang pun yang berhak berada di dapur selain Ibu. Tidak satu pun diperbolehkan mengintip, apalagi mengajukan pertanyaan: “Bu, masak apa hari ini?” Dan saat itu, hanya Ibu yang boleh mengajukan pertanyaan, “Apa yang Ibu masak hari ini?”
Mereka semua mulai mengandalkan hidung masing-masing. Tidak ada petunjuk apa pun tentang apa yang ada di balik tudung saji itu, kecuali aromanya. Ibu sengaja memilih tudung saji yang sedikti berongga, agar aroma masakan bisa keluar. Entah kenapa masakan Ibu selalu punya aroma yang kuat.
Terlihat Bapak sudah mengeluarkan jurus andalannya. Ia mendongak sembari menutup mata. Hidungnya mengendus kuat seolah ingin menghirup semua bau di sekitarnya. Fidella tenang saja. Fadil memerhatikan hidung Bapak memang kembang kempis. Fadil terus memindahkan pandangannya dari Bapak ke Ibu, lalu ke Fidella. Begitulah seterusnya. Ia halnya mampu menjadi penonton di dalam permainan ini. Ia tidak punya petunjuk apa pun. Meski aromanya kuat, tetap saja sulit menebak. Terlalu banyak yang dihirupnya dan ia masih tidak punya petunjuk apa-apa.
Bapak membuka matanya. Ia perlahan menegakkan kepala dan bersiap untuk memberikan jawaban. “Telur dadar, Bu. Bapak mencium aroma telur dan Bapak yakin itu digoreng dadar, bukan diceplok.” Saat itu, Fadil bingung. Bagaimana bisa Bapak membedakan aroma telur ceplok dan telur dadar? Fidella malah ketawa. Ibu tersenyum saja.
“Perkedel jagung.” Fidella tiba-tiba menjawab. “Ini memang aroma telur, tapi cuma buat adonan. Bukan hidangan yang sebenarnya,” lanjut Fidella menjelaskan dan semakin membuat Fadil merasa salut dengan analisa kakaknya. Fadil merasa berbeda sendiri sebab tidak dibekali hidung super seperti Bapak dan Fidella.
Aturan dasar dalam permainan ini sebenarnya sederhana. Masing-masing dari mereka diharuskan menebak satu menu saja, tepat dan akurat. Satu menu saja yang benar, permainan ini bisa dimenangkan. Namun, sedikit saja kesalahan, mereka dinyatakan kalah. Seperti ketika Bapak dan Fidella sama-sama menyebutkan telur. Mereka harus dengan tepat menyebutkan telur itu diolah seperti apa. Ibu melatih indera penciuman dan ketelitian keluarganya dalam satu waktu. Pemenangnya tentu saja akan mendapatkan hadiah. Bagi yang menjawab dengan tepat akan dipenuhi permintaannya oleh Ibu. Apa pun itu. Mereka pun setiap hari Minggu datang dengan permintaan masing-masing. Sejauh ini, kata Fidella, belum pernah ada yang mampu menebak dengan benar. Tentu saja, permainan ini sangat mustahil dimenangkan oleh siapa pun kecuali Ibu.