Di kehidupan lain, Fidella selalu terbangun dengan perasaan biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa di dalam kehidupannya. Semua yang ia impikan sudah terwujud. Ia berhasil lulus kuliah di Institut Seni Jogja, mempelajari dan mendalami seni tari hingga saat ini. Ia pun bekerja sebagai guru kesenian di salah satu sekolah swasta di Makassar, sekaligus mendirikan studio tari kecil-kecilan. Hidupnya tidak begitu mewah. Ia bahkan belum memiliki rumah sendiri. Tapi cita-citanya memang sesederhana itu.
Tidak ada perasaan menyesal ketika membuka mata, atau harus buru-buru ke kamar mandi karena takut didahului. Ia pun bisa santai di dalam kamar mandi tanpa harus khawatir ada yang menunggu giliran dan menggedor-gedor pintu – mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan klise setiap pagi. Soal sarapan, ia bisa makan bubur ayam atau nasi kuning di kedai dekat sekolah. Saat berangkat sekolah pun, ia tidak perlu mengomel karena Fadil yang begitu lambat bergerak dan Ibu yang selalu meneriakinya kalau Fad ditinggalkan.
Sesungguhnya Fidella merindukan adiknya. Mungkin Fadil adalah adik yang tidak berguna juga tidak memberi dampak apa-apa untuknya. Tapi setidaknya, hanya Fadil orang yang memberinya dukungan moral untuk memberanikan diri kuliah di institut kesenian demi meraih cita-citanya menjadi seorang penari. Fidella selalu berbisik pada dirinya, Tidak ada uang sepeser pun yang digelontorkan Fadil untuknya. Hanya saja, ketika Bapak dan Ibu menentang keinginannya, Fadil datang dengan santai dan menepuk pundaknya. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum. Tapi, sorot matanya berteriak dengan lantang: “Maju, Fidella! Kau harus memperjuangkan impianmu.”
Hal itu pula yang membuatnya bertahan menjadi seorang guru kesenian. Meski ini sudah ketiga kalinya ia pindah sekolah. Sekolah pertama tempatnya bekerja terpaksa ia tinggalkan karena hal yang kelihatannya sepele. Ia tidak tahan dengan kepala sekolah yang selalu bersikap genit kepadanya. Memiliki paras cantik dan awet muda, ditambah ia masih lajang, Fidella selalu menjadi pusat perhatian di sekolah. Karena merasa tidak nyaman, ia memutuskan untuk resign.
Sekolah kedua lebih parah. Bukan guru atau kepala sekolah yang membuatnya tidak nyaman, tapi justru siswanya sendiri. Fidella selalu menjadi pusat perhatian para siswa, khususnya anak kelas 3 yang sedang berada di puncak masa puberitas. Ada yang berani memutuskan pacarnya demi mendekati Fidella. Suatu saat Fidella didatangi oleh beberapa siswi yang tidak rela diputuskan pacarnya karena memilih mendekati Fidella. “Ibu jangan dandan cantik dong tiap hari. Cowokku minta putus gara-gara suka sama Ibu.” Itu adalah kalimat wajib yang dilontarkan oleh mereka tiap kali diputuskan pacarnya.
Bahkan, suatu saat, di tengah upacara bendera yang rutin dilaksanakan tiap hari Senin, seorang siswa menyatakan perasaannya kepada Fidella. Ia adalah Julian, seorang siswa kelas 3 yang selalu dipercaya menjadi pemimpin upacara. Saat itu, Julian mengubah suasana khidmat upacara menjadi ajang “Katakan Cinta” yang sangat memalukan. Saat prosesi pengibaran bendera ia mengubah kalimat perintahnya. Bendera dibentangkan oleh pasukan pengibar bendera. “Bendera siap.” Seru pengibar bendera. Inilah saat dimana seorang pemimpin upacara memberikan perintah, “Kepada bendera Merah Putih, hormat, gerak!” Julian yang sudah berbulan-bulan mengumpulkan keberaniannya mengukir sejarah baru di pelaksanaan upacara, sekaligus menjadi momen yang paling memalukan baginya dan Fidella.
“Kepada yang tersayang Ibu Fidella, Julian sayang sama Ibu.” Ia lalu berlutut dan semua orang kebingungan. Pengibar bendera gemetaran, kelompok penyanyi seketika buta nada. Para guru dan peserta upacara lain menatap Fidella bersamaan. Hanya kepala sekolah yang bertindak sebagai pembina upacara yang bergerak menuju Julian dan memukul kepala Julian dengan kopiahnya. Upacara bubar. Julian di-skors selama seminggu, Fidella langsung mengundurkan diri.
Lalu sekarang ia pindah ke sekolah baru lagi. Fidella berharap mendapatkan lingkungan sekolah yang normal-normal saja. Namun, memiliki paras cantik justru menjadi kesialan tersendiri baginya. Di luar sana, semua wanita mendambakan tubuh yang sempurna, wajah yang cantik dan tidak termakan usia. Mereka rela membeli alat kosmetik paling mahal, ikut kelas yoga, nge-gym di tempat mahal, hanya untuk mendapatkan bentuk fisik yang bagus. Fidella tidak perlu melakukan itu. Ia mendapatkan semuanya dari lahir, secara alami. Sayangnya, kelebihan itu kini menjadi momok yang cukup merepotkan.
Sekolah ketiga yang kini ia tempati mengajar merupakan gabungan dari sekolah-sekolah sebelumnya. Di sekolah ini, ia harus berhadapan dengan guru, kepala sekolah, dan murid-murid laki-laki yang selalu bertingkah aneh mencari perhatiannya setiap hari. Dimulai dari satpam sekolah yang akan memberikan senyuman terbaiknya setiap kali Fidella datang. Begitu memasuki gerbang. Guru-guru dan anak-anak memerhatikannya seperti melihat model di sebuah peragaan busana. Bahkan Hanif, murid kelas XI yang sangat culun dan kutu buku harus berpura-pura membaca buku lalu curi-curi pandang setiap kali Fidella melintas di hadapannya.
Tiba di ruang guru, Fidella tidak perlu repot membawa bekal, atau beli kue di depan sekolah buat sarapan. Pasti ada saja guru-guru genit yang menawarinya makanan. Pak Mahfud termasuk yang paling sering menyodorkan kotak berisi donat kepadanya. Lalu ada Pak Syamsudin yang menyodorkan sebotol air mineral setelahnya. “Biar tenggorokannya tidak kering habis makan donat, Bu.” Kata Pak Syam menyindir Pak Mahfud. Keduanya kerap kali bersaing mendapatkan perhatian Fidella dan melupakan perhatian istri-istrinya yang setiap pagi menyiapkan bekal sarapan.
“Terima kasih Pak Mahfud, Pak Syam. Saya sudah sarapan. Istri Bapak kan menyiapkan sarapan bukan untuk saya,” kata Fidella menolak sembari menyindir keduanya. Pak Mahfud dan Pak Syam pasti kecewa dan merasa malu disindir di dalam ruangan yang ada guru-guru lainnya. Namun, keesokan harinya mereka berdua akan melakukan hal yang sama lagi. Atau melakukan apa saja demi mendapatkan perhatian Fidella.
Saat jam pelajaran dimulai, Fidella bisa bebas dari dua guru genit itu. Namun di saat yang sama ia akan masuk ke kandang buaya selanjutnya. Kali ini buayanya masih junior, masih magang, dan masih mencari jati diri hendak menjadi buaya dengan gaya seperti apa. Fidella sudah terbiasa mendapatkan perhatian lebih dari murid laki-laki di kelasnya. Kursi yang dibersihkan, meja yang dirapikan, dan vas yang berisi bunga asli – bukan bunga plastik, selalu berada di posisi masing-masing sesaat sebelum Fidella masuk kelas. Ya, seperti di sekolah sebelumnya, ia menjadi common enemy bagi siswi-siswi yang merasa eksistensi dan popularitasnya menurun drastis sejak Fidella pindah ke sekolah ini.
Fidella sudah jenuh harus pindah sekolah terus. Semakin sulit menemukan lowongan pekerjaan di masa sekarang ini. Ia berupaya menikmati saja kesehariannya. Meski, setiap harinya ia harus mengajarkan pelajaran yang bukan keahliannya. Hari ini, di kelas ia lagi-lagi harus memberikan materi seni rupa. Baru saja ia masuk kelas dan siswa siswinya memberikan salam, seorang siswa menyentil kesabarannya. “Hari ini gambar pemandangan lagi, Bu?” kata Abdul, siswa kelas XI IPS yang diikuti gelak tawa teman-temannya. Belum sempat memberikan jawaban, siswa satunya lagi angkat suara. “Stok gambar pemandangan saya sudah habis, Bu. Bagaimana kalau hari ini gambar Ibu saja?” Seru Faiz, siswa yang sangat terobsesi menjadi Rangga di film “Ada Apa Dengan Cinta”.
"Memangnya kamu bisa gambar muka Ibu, Iz? Gambar pohon pisang saja kayak gambar rumput kamu.” Kata Fidella meredam Faiz. Kini Faiz yang menjadi bahan tertawaan teman-temannya.
***
Meski dipuja oleh para siswa dan dibenci oleh para siswi, ada juga siswa-siswa yang bersikap biasa saja kepadanya. Ada juga siswi-siwi yang justru menyukainya karena tahu ia seorang penari handal. Beberapa siswi di sekolahnya berlatih tari setiap tiga kali seminggu di studio tarinya.
Kebanyakan dari mereka tertarik ikut les tari karena ingin jadi modern dancer agar semakin dilirik laki-laki. Tapi, Fidella membuat sebuah peraturan yang terpaksa dipatuhi murid-muridnya. Sebelum diajarkan meteri tari modern, mereka harus menguasai tari tradisional terlebih dahulu, setidaknya tari Pa’duppa atau tari penyambutan dalam budaya Bugis – Makassar.
Sore ini, di studio sederhananya, Fidella dengan sabar mengajarkan murid-muridnya tari Pa’duppa. Melihat murid-muridnya yang semakin gemulai menari, ia tiba-tiba teringat akan masa kecilnya di kampung dulu. Saat itu Minggu pagi, ia masih kelas 5 SD. Sejak dini, Fidella memang sudah menampakkan minat dan bakatnya di dunia tari. Ibu mengizinkannya belajar di sanggar seni. Kala itu, anak-anak sanggar termasuk Fidella terpilih menjadi penari untuk menyambut kedatangan Bupati. Ada sebuah pesta panen yang dihadiri oleh pejabat-pejabat penting. Berada di barisan paling depan, Fidella mencuri perhatian orang-orang.
Ia masih ingat betapa ibunya bangga ketika dipuji oleh ibu-ibu lain. “Wah, Della berbakat sekali, ya, Bu Matar.” Ia masih menyimpan senyum merekah di bibir Ibu saat itu. Namun, ia juga tidak bisa melupakan momen ketika senyuman itu perlahan memudar di wajah Ibu. Saat itu, Fidella sudah kelas 3 SMA dan sebentar lagi akan lulus. Ia masih menjadi seorang penari ketika sekali lagi kampungnya kedatangan pejabat penting. Pujian masih keluar dari mulut tetangga, “Wah dari kecil sampai sekarang, Fidella semakin cantik. Narinya semakin bagus, ya, Bu Matar.” Ibu tidak lagi bangga seperti dulu. Ibu malah mengeluarkan kalimat yang akan selalu diingatnya.
“Buat apa pintar menari kalau tidak bisa masak, Bu Azizah. Iris bawang tidak bisa, masak sayur tidak bisa, apalagi bikin kue. Bagaimana bisa dapat suami yang baik?”