Makan Siang

Fadhli Amir
Chapter #3

Bab Tiga

Ibu selalu bangun jam empat pagi untuk menyiapkan kue-kue jualannya. Selama satu jam sebelum sholat subuh, ia akan menyelesaikan isian pastel dan membungkusnya dengan adonan. Begitu pula dengan adonan donat kentang yang selalu laris. Kedua adonan itu sudah ia siapkan sebelum jam lima pagi, agar selepas shalat subuh tinggal digoreng. Ia sudah mondar-mandir di dapur saat beberapa orang masih nyenyak tertidur.

Pukul 05.15 gemuruh minyak panas di penggorengan mulai beradu dengan kokok ayam yang sahut-sahutan seolah saling membangunkan. Sementara Ibu sibuk menggoreng pastel dan donat, Fadil pasti terbangun dan menuju kamar mandi yang searah dengan dapur. Fadil selalu bangun setidaknya lima menit lebih telat dari Bapak. Sialnya, Bapak seringkali menghabiskan waktu lebih dari lima menit di dalam kamar mandi. Sembari antre di depan pintu kamar mandi, Fad akan menoleh ke dapur – menikmati aroma adonan kue dan minyak goreng. Fadil sangat menyukai gorengan. Mencium aromanya pagi-pagi membuatnya sedikit melupakan kekesalannya menunggu Bapak yang masih betah di dalam kamar mandi. 

Kadang, kalau sudah tidak tahan lagi, ia akan menyerukan kalimat yang klise: “Bapak buang air atau lahiran?” Begitu Bapak keluar dari kamar mandi, Fadil akan bertingkah seperti seseorang di dalam rumah sakit bersalin dan mengeluarkan kalimat klise keduanya: “Anaknya laki-laki atau perempuan?”

Adegan kecil itu sudah berulang kali terjadi – nyaris setiap pagi. Dari dalam dapur, Ibu bahkan bisa menirukan dialog-dialognya. Untuk beberapa saat, Ibu masih saja tertawa dengan sandiwara pagi di kamar mandi antara suami dan anaknya itu. Kalau saja Fidella masih ada di rumah ini, situasi akan berbeda. Ia akan berada di samping Ibu membantu memisahkan beberapa pesanan pelanggan setianya dari tumpukan kue-kue yang akan dijual di pasar. Sehari sebelumnya, para pelanggan setia biasanya sudah memesan pastel atau donat atau keduanya untuk diantarkan sebelum kue-kue tersebut dijual di pasar pagi. Fidella akan memasukkan pesanan ke dalam kantong-kantong plastik dan mengantarkannya ke rumah pelanggan. Saat ia kembali ke rumah, Fadil sudah duduk manis di meja makan menyantap pastel kesukaannya. 

Fidella pun mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah. Selesai mandi dan berpakaian, Fidella mencomot satu donat dan berangkat ke sekolah bersama adiknya. Sekolah mereka searah dan berdekatan, jadi mereka hanya perlu berjalan kaki. Sementara itu, Ibu akan berangkat ke pasar diantar Bapak yang juga sudah siap menuju kebun. Seperti itulah manajemen waktu mereka di pagi hari.

Keadaan sedikit berbeda sekarang. Dua puluh dua tahun berlalu, Fidella memutuskan untuk tinggal di kota meninggalkan Bapak yang masih senang menghabiskan waktu di kebun dan Fadil yang tidak tahu apa-apa soal dapur dan kehidupan agraris. Fidella menjadi seorang guru kesenian di salah satu sekolah swasta di Makassar, sementara Fadil menjadi bujang berusia 30 tahun menghabiskan waktunya di dalam rumah menulis berlembar-lembar puisi dan cerita yang belum mendapatkan kontrak dari penerbit. 

***

Hanya butuh waktu beberapa jam dan semua jualannya ludes. Kata para pelanggannya, ia memiliki tangan malaikat. Menikmati kue jualannya seperti diseret ke dimensi berbeda – dimensi yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. 

Agak sulit menciptakan analogi pakem untuk pengalaman yang dirasakan. Masing-masing orang memiliki cerita berbeda. Pak Ali, salah satu pelanggan setianya yang bahkan rela menunggu di pasar lebih dini memiliki analogi yang berbeda. Lelaki berusia 56 tahun namun selalu berpakaian rapi setiap kali keluar rumah itu pernah sekali mengatakan ini kepada Ibu: “Kue bikinanmu ini mengajarkan setiap orang yang menyantapnya untuk memahami arti bersyukur. Karena setiap gigitan sangat berharga dan pasti akan membekas di kepala.”

Pukul 09.00, Ibu merapikan lapaknya. Ia menyusun kotak-kotak plastik berukuran besar yang sudah kosong sambil menunggu tukang ojek langganannya datang. Untuk urusan pulang ke rumah, ia selalu menggunakan jasa tukang ojek. Jam segini, Bapak sudah berada di kebun kesayangannya menjalani kehidupan yang lain. Ia tidak akan menyempatkan waktu untuk kembali ke pasar menjemputnya. Bahkan di area kebun ada rumah kecil tempat ia beristirahat. Intinya, kebun menjadi rumah kedua bagi bapak dua anak itu.

Lima menit berselang, Pak Akin tiba dengan minyak wangi aroma melati yang selalu menempel di badannya. Tanpa menoleh sekali pun, Ibu mengenalinya cukup dengan sekali mengendus. 

“Kau selalu wangi, Kin. Janda mana lagi yang mau digaet? Goda Ibu dengan tawa kecilnya yang semakin membuat leher Pak Akin meninggi. Setiap kali ditegur soal badannya yang wangi, Pak Akin selalu senang dan pasti mengeluarkan sisir dari saku kemejanya. Ia lalu menyisir rambutnya yang meski sudah beruban dan tidak lebat lagi namun masih begitu dibanggakannya. 

Pak Akin, tukang ojek paling nyentrik di kampung. Ia pantang kehilangan semangat mudanya. Meski usianya terus bertambah, ia selalu membayangkan dirinya hidup sebagai lelaki berusia dua puluh tahun. Ia memerhatikan tren fashion masa kini. Ia mengikuti perkembangan teknologi. Tidak ingin ketinggalan, ponsel pintar selalu berada di sakunya. Ia bahkan rela mengurangi jatah makannya untuk menabung demi membeli barang-barang terbaru. Beruntung, ia memiliki postur tubuh yang ideal. Tinggi badannya kira-kira 175 sentimeter dengan berat badan yang terjaga. Perutnya pun tidak buncit sama sekali, sangat berbeda dengan lelaki lanjut usia pada umumnya. Tubuhnya masih sehat bugar, energik, dan terlihat seolah ia tidak ingin mati.

Selama puluhan tahun, Pak Akin selalu menjadi tukang ojek langganan Ibu. Ia selalu sigap dan tepat waktu. Tak pernah sekali pun Ibu menunggu lama kalau dijemput Pak Akin. Bahkan, ia lebih sering datang lebih awal hingga Ibu lah yang membuatnya menunggu. Dengan kemeja oversize bermotif kembang berwarna hijau tua dan celana chinos cokelat dan sepatu semi formal, ia masih mengutak-atik rambut klimisnya sambil bercermin di kaca spion motornya. Pak Akin akan berhenti berdandan ketika Ibu selesai berbenah dan mengajaknya berangkat.

“Titip barang-barangku, Kin. Saya mau belanja dulu.” 

Selagi Pak Akin menjaga barang-barang dan lapak yang sudah dibereskan, Ibu berbelanja bahan-bahan kebutuhan dapur. Saat sedang pilih-pilih ikan, ia mendengar obrolan ibu-ibu di dekatnya. 

“Anaknya Bu Marni itu katanya mau nikah bulan depan.” kata seorang ibu membuka ruang gosip. “Yang mana, yang laki-laki atau yang perempuan?” orang di sebelahnya pun mulai tertarik. “Yang perempuan, Bu Mila. Yang laki-laki katanya tahun depan. Dia sih sudah siap. Kerjanya saja di perusahaan tambang. Cuma katanya, calon istrinya itu masih kuliah, tahun depan baru wisuda.”

Ibu kerap kali mendengar obrolan seperti itu di pasar. Yang bisa ia lakukan hanya diam. Kedua anaknya belum ada tanda-tanda ingin menikah. Fidella bahkan sudah membulatkan tekadnya untuk tidak menikah. Sementara Fadil masih menjadi beban materi dan batin untuk keluarga. 

“Ayo, Kin!”

Lihat selengkapnya