Kurang lebih lima kilometer dari rumah, ada sebuah kampung kecil di dataran tinggi yang berdiri di kaki gunung. Hanya ada dua puluh kepala keluarga yang hidup di perkampungan tersebut. Di salah satu area yang dikelilingi hutan belantara, ada sebuah rumah Dinas Kehutanan yang dulunya dibangun untuk pegawai lapangan yang bertugas di sekitar area tersebut. Beberapa area di gunung itu termasuk kawasan hutan lindung. Sebelum pensiun, Bapak bertugas di area tersebut. Namun karena ia punya rumah sendiri, rumah dinas itu tidak pernah dihuni. Ia membangunkan lahan tidur yang cukup luas di sekitaran area rumah dinas tersebut yang kini menjadi kebun kecil tempatnya menenangkan diri, atau mungkin lebih tepatnya melarikan diri. Itulah rumah kedua Bapak.
Ia berpisah jauh dari pemukiman warga. Sebenarnya hutan tersebut adalah perkebunan raksasa yang mayoritas ditumbuhi pohon kemiri. Sebab kemiri adalah jenis tanaman yang tumbuh lebat dan tidak perlu diberikan perhatian khusus seperti komoditas lain, jadilah perkebunan kemiri yang saling berdempetan itu tumbuh seperti tumbuhan liar dan menjadikan area tersebut hutan belantara.
Pagi ini, langit cerah. Beberapa tanaman di kebun ini pun siap dipanen. Kacang panjang, cabai rawit, tomat, terong ungu kesukaan Fadil, dan beberapa pohon pisang yang siap ditebang. Hari yang sangat baik untuk memanen. Hari yang dinantikan bagi semua orang yang gemar berkebun. Sayangnya Bapak justru murung. Di beranda rumah keduanya, ia meneguk air putih yang ia bawa sebagai bekal. Sosok perempuan tua yang terlihat sepantaran dengan Bapak muncul. “Sebaiknya saya bicara sama Matar, Firman.” Bapak terkejut dan sontak mengajak perempuan itu masuk. Bapak melihat sekitar memastikan tidak ada seorang pun yang melihatnya. Ia lalu menutup pintu rapat dan mengajak perempuan itu duduk di kursi rotan.
“Saya sudah bilang jangan keluar! Kalau ada orang yang lihat bagaimana? Bisa kacau, Murni,” kata Bapak dengan nada yang tegas dan volume yang dikecilkan. “Sudah tiga bulan saya di sini, saya butuh udara segar juga,” sahut Murni dengan nada sedikit memelas. Bapak mencoba tenang.
“Saya mengerti. Tapi kamu bisa bertahan tiga bulan tinggal di sini karena ikut aturan saya. Orang-orang sekitar sini sudah tahu kalau saya dari kampung sebelah. Mereka tahu keluargaku. Kita bisa dituduh yang tidak-tidak kalau sampai ketahuan.” Bapak menggenggam tangan Murni. Ia menatap bola matanya dalam, cukup dalam.
“Bukannya di sini rumah warga jauh?” kata Murni.
“Iya, tapi kan tetap saja, kanan kiri kita itu kebanyakan kebun warga juga. Apalagi si Akin itu sering ngantar penumpang lewat jalan depan. Kalau dia tahu, selesai sudah,” jawab Bapak.
Murni tertunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia melepaskan diri dari genggaman tangan Bapak.
“Maafkan saya, Firman! Hanya tempat ini yang saya ingat. Harusnya saya tidak pernah datang lagi. Kita sudah tua. Seharusnya tidak berada di dalam masalah seperti ini lagi.”