Makan Siang

Fadhli Amir
Chapter #5

Bab Lima

Hari ini hari pertama libur sekolah. Beberapa tahun sebelumnya, Fidella selalu pulang kampung untuk sekadar menghabiskan waktu dengan tidak bekerja. Namun, sejak Ibu menjebaknya dalam pertemuan dengan seorang laki-laki yang dijodohkan dengannya, ia menolak pulang sama sekali. Sudah tiga tahun ia menghabiskan liburan di Makassar saja. Ia sengaja menutup studio tarinya selama masa liburan. Fidella bukan orang yang suka bepergian atau belanja habis-habisan. Makanya, tabungannya cukup banyak. 

Selama dua minggu ke depan, ia sudah menyiapkan daftar film dan serial televisi yang akan ia tonton dan beberapa buku yang akan ia baca. Untuk seorang yang tidak suka menulis, Fidella lebih rajin membaca buku daripada adiknya. Ia sempat tertawa ketika Fad menelepon dan bercerita kalau ingin menjadi penulis lagi. Ia sudah hafal tabiat adiknya. Tidak pernah mengerjakan satu hal dengan sungguh-sungguh. 

Di dalam kamar kosnya, ia membuka catatan kecil berisi daftar film yang ia tempel di meja kerjanya. Fidella menyalakan laptop dan meletakkan gelas berwana oranye yang berisi teh panas lalu membiarkan asapnya mengepul. Ia menyeruputnya sekali lalu membiarkan teh itu kehilangan suhu panasnya tanpa diminum lagi. 

Pukul 08.13, seperempat durasi film sudah ia tonton dan ponselnya berdering. Ia menekan tombol jeda lalu menjawab panggilan dengan penuh semangat.

“Halo, Di.”

“Halo, Del. Apa kabar?”

Indi, temannya semasa kuliah di Jogja. Satu-satunya teman kuliah yang masih menjalin komunikasi dengannya. Alasan terkuat adalah Indi orang Makassar yang juga merantau ke Jogja puluhan tahun lalu, meski pada akhirnya ia memilih dan berhasil menjadi pegawai negeri dan ditempatkan di Bengkulu.

“Aku baru landing nih. Ketemuan, yuk!”

****

Fidella dan Indi janjian makan siang bersama. Fidella cukup gembira. Sudah sepuluh tahun mereka tidak berjumpa. Pertemuan terakhir terjadi di akad nikah dan resepsi pernikahan Indi. Acara itu pula menjadi resepsi pernikahan terakhir yang didatangi Fidella. Sejak Indi pindah ke Bengkulu bersama suaminya, rentetan undangan pernikahan atas nama Fidella Ananditha hanya jadi tumpukan yang mengisi satu sekat di rak bukunya. Tak selembar pun ia buang. Katanya, tumpukan undangan pernikahan itu akan menjadi pengingat jika suatu saat nanti pendiriannya runtuh.

Jam setengah satu, siang sedikit kelabu. Fidella sudah menunggu di sebuah kafe di jalan Bontolempangan. Kalau terlalu penat di dalam kamar kos, kafe ini menjadi tujuan utamanya. Menu-menunya tidak begitu istimewa, bahkan sedikit lebih mahal dibandingkan tempat lain. Namun pengunjungnya tidak begitu ramai, apalagi siang hari. Tempatnya cukup besar dan lengang. Di setiap sisinya dihiasi dengan oranmen-ornamen bergaya klasik. Beberpa dinding dan sekat dibuat dari modifikasi kontainer. Bahkan di lantai dua, ada satu ruang VIP yang terbuat dari kontainer besar dan masih utuh. 

Fidella duduk di pojok lantai dasar, ruang terbuka yang berhadapan langsung dengan taman. Berkali-kali ia memerhatikan jam di pergelangan tangan mungilnya, lalu bergantian memeriksa ponsel. Ia tampak begitu gusar dan tidak betah. Fidella sesungguhnya gemar duduk sendirian sambil membaca artikel tentang seni pertunjukan di kafe ini. Sayangnya, saat ini ia harus duduk sembari menunggu. Tidak ada orang yang suka menunggu.

Sejam kemudian, Indi belum juga datang. Pesan atau kabar apa pun tidak ada sama sekali. Fidella juga tidak ingin menelepon duluan. Beberapa detik ketika ia sudah memutuskan untuk pulang saja, ponselnya berdering. Bukannya Indi, malah Fadil yang tiba-tiba menghubunginya siang bolong begini.

Lihat selengkapnya