Makan Siang

Fadhli Amir
Chapter #6

Bab Enam

Pukul 11.30, Fadil benar-benar menunggu di depan lorong. Ia menanti satu kendaraan umum berhenti, dan Fidella turun membawa tas ranselnya. Ia masih berharap Fidella mau pulang. Fadil sudah berjanji sama Bapak akan membawa kakaknya itu pulang.

Pukul 12.00, Fadil mulai gelisah. Ia ingin sekali menelepon Fidella dan menanyakan apakah dia sudah di jalan atau justru tidak mau pulang. Namun niat itu urung. Fadil tidak ingin terlihat terlalu mengharapkan kedatangan Fidella, meski dalam hati kecilnya justru itu yang ia impikan.

Pukul 12.15, Fadil mulai putus asa. Sepertinya upayanya sia-sia. Ia tertunduk lesu berjalan menuju rumah. Beberapa langkah ia lewati, bunyi kendaraan umum berhenti di depan lorong. Fadil menoleh. Betapa bahagianya ia melihat sosok yang turun dari kendaraan umum itu adalah Fidella.

***

Akhirnya, momen dua puluh dua tahun silam terulang lagi. Fad dan Fidella berjalan bersama. Semakin dekat dengan rumah, mereka berlari kecil dengan penuh rasa riang seperti saat mereka masih kecil. Bapak yang menyaksikan mereka dari halaman rumah menahan air mata. Ia terharu melihat kedua anaknya kembali bersatu. Fad berhasil membawa Fidella pulang. Ia membuktikan omongannya. Untuk pertama kali, Fad benar-benar menjadi seorang lelaki.

Melihat sosok Bapak, Fidela berhenti. Sudah 3 tahun mereka tidak pernah bertatap muka. Bapak yang mencoba tegar membiarkan sang anak melihat senyumannya. Fidella tak kuasa menahan tangis. Ia mencium tangan Bapak dan memeluknya begitu erat. Bapak tidak pernah menangis di depan anak-anaknya. Rambutnya yang nyaris sepenuhnya memutih, kerutan di kulitnya, gigi yang rontok, hela napas berat dan melemah adalah bukti ia telah melewati banyak hal untuk membesarkan Fadil dan Fidella. Matanya hanya berair karena ia kerap kali kelilipan serangga. Atau setidaknya pernah benar-benar menangis ketika Kakek dan Nenek meninggal. Itu pun hanya untuk beberapa menit saja. Selebihnya ia pribadi yang tegar. 

“Maaf, Pak. Untuk semuanya.” Bapak mengusap kepala Fidella dengan lembut. Maaf mengalir dari jemari melalui helai rambut anaknya. Air mata jatuh membasahi dada Bapak, meresap hingga ke detak jantungnya. Tidak ada orang tua yang tega melihat anaknya larut dalam rasa bersalah. Fidella tahu itu. 

“Kau, sudah makan, Del? Kita makan siang bersama, ya! Seperti dulu.” Fidella mengangkat kepalanya, matanya dibiarkan sembab. Ia mengangguk. Fadil mencoba lebih perkasa, namun air matanya jatuh juga. Mereka bertiga masuk ke rumah.

Fidella menyeka air matanya. Ia menghirup napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Fadil memerhatikan jam dinding di ruang tamu. “Masih ada lima menit. Dari sini sih sudah tercium aromanya. Kita duduk di sini dulu!” Fidella menolak. “Bukannya saya harus ketemu Ibu dulu? Besok saja main tebak-tebakannya.”

Bapak dan Fadil tertawa. Fadil menepuk bahu kakaknya. “Del, Del. Ibu belum berubah loh. Sebaiknya siapkan hidungmu. Kalau tebakanmu benar, jangankan minta maaf, minta direstui jadi perawan sampe mati pun Ibu pasti setuju.” 

Menjelang jam makan siang, mereka duduk di beranda depan rumah. Fidella dan Bapak duduk berdampingan di atas kursi yang langsung menghadap pegunungan. Fadil selonjoran di salah satu anak tangga. Tidak ada tegur sapa. Tidak ada sepatah kata. Mereka terdiam membiarkan lima menit berlalu begitu saja. Mereka melupakan masalah apa pun yang sedang dihadapi. Tradisi tetap tradisi. Tidak akan pernah berubah di keluarga ini. Semua memerhatikan jam dinding dengan seksama. Tepat pukul 12.30, jam berbunyi. Fad bangkit dengan semangat membara. “Akhirnya. Ayo, Del. Kali ini saya berharap sama kamu. Berharap sama Bapak sama saja siap untuk kecewa.”

Fidella merasakan keringat melumuri telapak tangannya. Rasa cemas pun menyerang dadanya. Bukan karena ia harus ikut serta dalam acara tebak-tebakan makanan lagi setelah sekian lama dan Fadil menaruh harapan besar kepadanya. Ia hanya tidak mampu menatap wajah ibunya seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, walau mungkin hanya untuk waktu tidak lebih dari setengah jam saja. 

Langkah Fidella terhenti di ruang tamu. Melihat anaknya terlihat sangat gugup, Bapak menepuk pundak Fidella sekali lagi. “Kamu yang paling paham di antara kita semua, Del. Kamu sangat paham kalau di keluarga kita tidak mengenal pertengkaran, masalah, dan kesedihan di jam makan siang. Kamu yang selalu bilang sama Bapak, sama Fadil.”

Fadil tidak punya lelucon gelap lagi dalam situasi seperti ini. Maka ia pun hanya mengarahkan lengannya menuju dapur sambil mempersilakan kakaknya jalan duluan, “Ladies first.”

Fidella menguatkan diri. Ia melangkah perlahan. Rasa gugupnya belum juga hilang. Ia tidak pernah jatuh cinta. Maka perasaan ini amat baru baginya. Terakhir kali merasakan hal seperti ini hanya ketika ia interview kerja. Bahkan ketika meninggalkan rumah ini 3 tahun lalu tidak pernah segugup ini.

Waktu terasa lambat. Seperti berada di dalam dunia speedster dimana segala hal di sekitar berjalan begitu lambat bahkan berhenti. Sejujurnya, Bapak menahan cemas. Fadil malah gemas. Ia tidak bisa berkompromi lagi dengan perutnya.

“Halaaah. Lama. Kayak slowmotion saja. Kebanyakan nonton film sih.” Fadil langsung menerobos masuk ke dapur. Semua terdiam melihat tingkah Fadil yang benar-benar mengacaukan suasana. Tiba di dapur, Fadil malah berhenti. Ia terdiam. Seperti ada sesuatu yang menghalanginya. Ia tidak berbicara sama sekali. 

“Malah kamu yang jadi drama begini, Fad.” Fidella menegur adiknya. Tidak ada balasan apa-apa dari Fadil. Ia benar-benar membeku di dalam sana. Fidella dan Bapak pun menghampirinya. Jadilah mereka bertiga terdiam bersama-sama menghadap meja makan yang kosong dan dapur yang tidak ada Ibu di dalamnya. Ketiganya melihat sekitar.

“Ibu…! Fidella pulang, Bu!” Fidella berkeliling memanggil Ibu. Dapur cukup berantakan. Fidella mematikan kompor yang masih menyala dan di atasnya ada panci berisi sayuran yang sudah mengering. Sepertinya sayur ini sudah dimasak terlalu lama sampai airnya menguap. Beberapa siung bawang merah dan bawang putih tergeletak di lantai. Tempe dan tahu pun mengalami nasib yang sama. Beberapa di antaranya sudah dipotong-potong, sisanya belum tersentuh sama sekali.

Fadil dan Bapak mengelilingi seisi rumah sambil berseru memanggil. “Bu….Ibu….Ibu….!” Tidak ada balasan apa-apa. Sementara itu, Fidella masih berada di dapur memerhatikan segala hal di sekitarnya. Ia merasakan ada hal yang aneh. Untuk pertama kalinya, Ibu tidak menyelesaikan pekerjaannya. Sayur yang ditinggalkan begitu saja, kompor yang masih menyala, alat-alat dapur yang tergeletak di mana-mana. Untuk pertama kalinya pula, tidak ada menu makan siang di rumah ini. Terlebih lagi hari ini hari Minggu. Hari yang wajib bagi keluarga ini untuk makan siang bersama. Ibu melanggar aturan yang ia buat sendiri. Ibu menghilang bersama masakannya.

Setelah mencari ke seluruh sudut rumah hingga ke halaman belakang, mereka kembali berkumpul di dapur. Fidella masih termenung di sana. Fadil menemukan kakaknya itu menahan gejolak yang cukup kuat. Dugaannya, ia sedang menyalahkan diri sendiri. Sebab tak ingin turut cemas, ia mencoba menenangkan suasana. “Mungkin Ibu ke warung. Ada bumbu yang ketinggalan barangkali.” Fidella meraih panci berisi sayuran yang sudah mengering lalu meletakkannya di atas meja makan. “Beli bumbunya di warung Belanda? Sampai sayurnya kering begini. Tadi kompor saja masih menyala.” Fadil menciut. “Memangnya di Belanda ada warung?” Ia masih berusaha mengeluarkan lelucon murahnya. Fidella malah kesal. “Saat-saat seperti ini kamu masih bercanda? Pantas hidupmu begitu-begitu saja.”

Seketika Fadil berang. Emosinya benar-benar memuncak. “Asal kamu tahu ya, Del. Saya sudah capek-capek jemput kamu. Saya bahkan tidak bilang apa-apa ke Ibu. Karena saya tahu, Ibu pasti melarang. Ibu itu maunya kamu pulang sendiri. Dengan keinginan kamu sendiri. Tapi itu percuma. Kamu itu sudah menjadi orang yang keras kepala dari kecil. Butuh hal-hal persuasif. Saya cuma mau kamu pulang, sekali saja untuk ketemu Ibu. Itu saja. Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan karier saya. Paham?”

Ketegangan antara Fadil dan Fidella sedikit teralihkan ketika Bapak membuka suara. “Bapak yang ngomong ke Ibu kalau kamu jemput Fidella pulang, Fad.” Fadil dan Fidella mengarahkan pandangannya tepat ke mata Bapak bersamaan. Tampak kekecewaan di wajah Fadil. “Bagaiman sih, Pak? Kan Bapak sendiri yang bilang akan menjaga rahasia.” Bapak menunduk. Ia menyesal telah melakukan kesalahan fatal.

 “Ibu kalian itu jantungnya lemah. Sudah tua. Tidak akan siap menghadapi sesuatu secara tiba-tiba. Kalau Ibu kalian tahu Fidella akan pulang, setidaknya dia bisa menyiapkan perasaannya. Dan, Bapak pikir ini kan hari Minggu, hari raya keluarga kita. Bapak sudah membayangkan Fidella datang pas jam makan siang begini. Dan Ibu kalian………”

Fidella menyela dengan sigap. “Cukup, pak!” Bukan salah Bapak. Mungkin memang Ibu yang tidak mau ketemu saya.” Tidak ada yang mampu membantah pernyataan Fidella lagi. Fadil dan Bapak sama-sama tahu kalau yang dikatakan Fidella memang benar. 

“Harusnya ide kamu itu digunakan untuk nulis saja, Fad. Nulis cerita yang bagus, biar kamu jadi penulis terkenal. Bukan punya ide seperti ini. Semuanya jadi kacau. Kamu sudah capek-capek menjemput, membujuk. Saya juga sudah terlanjur berharap Ibu mau memaafakan saya. Sekarang malah Ibu yang pergi.”

Fadil membenarkan posisi kursi yang berantakan. Ia lalu duduk sambil menyandarkan punggungnya. “Saya mau jadi anak yang berguna. Sekali saja.” Nada bicaranya pun melemah. Tidak bersemangat seperti biasanya. Ini kali pertama Fadil mengungkapkan perasaannya. Suhu tubuh Fidella melandai. Fadil meraih kursi yang tergeletak, membenarkan posisinya lalu duduk. 

“Kalau saya punya pekerjaan bagus, tabungan yang cukup, sudah dari setahun yang lalu saya menikah. Saya tahu itu tidak akan mengubah pandangan hidupmu tentang hidup berumah tangga, Del. Tapi, setidaknya Ibu sama Bapak tidak punya tanggung jawab lagi membiayai hidup saya setiap hari.” 

“Bukan seperti itu, Fad. Jodoh dan rejeki itu…….” 

“Harus diusahakan, Pak.” Fadil dengan sigap menyela. “Jodoh dan rezeki itu takdir yang harus diusahakan. Termasuk keutuhan keluarga ini. Saya tidak mau keluarga ini bernasib sama dengan kehidupan saya. Sama-sama buruk.”

Fidella merasa baru saja menyudutkan adiknya. Sebab tidak ingin semakin mengacaukan keadaan, Fidella memutuskan untuk pergi saja. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan dapur, Bapak membuatnya berhenti. “Bukan cuma Ibu yang kangen sama kamu, Del. Bapak juga. Kamu boleh saja mengabaikan rasa kangen Bapak. Tapi, setidaknya, untuk kali ini saja, mari kita hargai usaha Fadil.”

Lihat selengkapnya