Makan Siang

Fadhli Amir
Chapter #7

Bab Tujuh

Hari ini adalah hari yang paling dinantikan Ibu. Setelah penantian selama tiga tahun, Fidella akan pulang. Ibu sudah melupakan semuanya. Ia sudah ikhlas dengan keadaan keluarganya. Fidella berhak memutuskan untuk tidak menikah. Sementara untuk Fadil, Ibu semakin pasrah. Ia tahu ini bukan lagi waktu yang tepat untuk memanjakan anak bungsunya itu. Namun Ibu selalu memaklumi, akan terus memaklumi. Upaya anaknya selama bertahun-tahun untuk hidup mapan belum juga berhasil. Jika tidak ada satu pun di antara kedua anaknya yang menikah, Ibu sudah rela silsilah keluarganya harus berakhir di sini. Jika itu benar-benar terjadi, setidaknya skenario terbaik untuk menyambut hal itu adalah dengan berkumpul kembali. 

Ibu mempersiapkan menu makan siang yang istimewa kali ini. Sebuah hadiah istimewa untuk Fidella. Terakhir kali Fidella berada di rumah ini tiga tahun lalu di jam makan siang. Meski ia memilih pergi sebelum mencicipi masakan Ibu. Padahal tebakannya tiga tahun lalu tepat sekali. Tumis buncis dan toge dengan potongan tahu dan tempe. Ibu memasak menu yang sama persis tiga tahun lalu. Ibu berharap, Fidella masih mengenali aroma masakannya. Sebagai hadiah, ia akan memasak udang goreng tepung kesukaan Fidella. Ibu menyiapkan semua bahan-bahannya. 

Ibu membongkar belanjaannya tapi tidak menemukan udang di dalam keranjangnya. Ia memeriksa sekali lagi setiap kantongan yang ia bawa pulang. Ibu mencoba mengingat belanjaannya. Ia ingat betul tadi beli udang. Apa jatuh dan tercecer?. Ibu terus mengingat sambil memeriksa sekali lagi barang-barang belanjaannya. “Nah, di motor Akin.” Ibu buru-buru meraih ponselnya hendak menelepon Pak Akin. Baru mencari kontaknya, Pak Akin tiba-tiba datang. 

“Assalamulaikum!” kata Pak Akin. “Waalaikumsalam” jawab Ibu sambil membuka pintu. “Nah, pasti bawa udang yang ketinggalan, kan. Mana udangnya? Saya ……” 

“Murni.” Pak Akin memotong dengan cepat. Ibu tiba-tiba membeku. Kenapa kau sebut nama itu lagi, Kin? Sini udangnya!” kata Ibu dengan sangat kesal. “Murni di kebunnya Firman.”

Ibu seperti tidak bisa bergerak mendengar kabar itu dari Pak Akin. Detak jantungnya semakin cepat, tapi tulang-tulangnya serasa dipatahkan. “Duduk dulu!” Pak Akin membantu Ibu duduk. “Maaf saya bawa kabar ini tiba-tiba. Tapi, saya sudah tidak tahan lagi. Sudah tiga hari saya simpan, hati saya tidak tenang,” kata Pak Akin.

Ibu berusaha mencerna baik-baik kabar ini. Ia berusaha memikirkan hal yang baik. Namun kebenciannya terhadap Murni memborbardir perasaannya saat ini. Bahkan perasaan bahagia di dadanya ketika tahu Fidella akan pulang kini menjelma amarah. “Antar saya ke sana!” kata Ibu. “Sekarang? tanya Pak Akin. Ibu memerhatikan jam dinding. Pukul 10.15. “Satu jam lagi. Saya tidak mau ketemu Firman di sana. Saya cuma mau ketemu Murni,” lanjut Ibu. 

Pak Akin mulai cemas sendiri. Ia sepertinya menyesal memberitahu Ibu dalam situasi seperti ini. “Kita pasti papasan sama Firman di jalan,” sanggah Pak Akin. “Kita ambil jalan lain. Lewat samping kantor camat,” kata Ibu. “Itu mutarnya jauh.” Ibu menatap Pak Akin tajam. “I…..Iya.” Melihat wajah Ibu yang seketika menyeramkan, Pak Akin tidak bisa menolak. “Saya pulang dulu. Sejam lagi saya jemput.” Ibu mengangguk. 

Lihat selengkapnya