Makan Siang

Fadhli Amir
Chapter #8

Bab Delapan

Bapak, Fadil, dan Fidella masih duduk bersama di meja makan. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu hingga petang. Mereka sudah sepakat, kalau sudah gelap dan Ibu belum pulang, barulah mereka melakukan pencarian. Untuk saat ini mereka hanya bisa berdiam diri di rumah mengira-ngira kejadian hari ini akan berakhir seperti apa.

“Kau tidak diterima kerja di luar negeri kan, Fad?” tanya Fidella. “Kau melamar kerja ke luar negeri, Fad?” tanya Bapak. Fadil hanya menggeleng. Ia menjawab dua pertanyaan sekaligus hanya dengan menggelengkan kepalanya. “Jujur saya percaya dan terharu saat itu, Fad,” lajut Fidella. “Sekarang, kau kecewa?” tanya Fad. Giliran Fidella yang menggeleng. “Saya bangga. Selama bertahun-tahun hidup sebagai anak manja, baru sekarang kau terlihat sebagai laki-laki.”

“Bapak juga bangga, Fad. Ya, biar kau masih pengangguran, eh maaf, penulis yang belum punya penghasilan, kau sudah melakukan hal yang benar hari ini. Kau sudah berusaha, jodoh dan rezekimu sudah ada yang atur. Bapak sama Ibu sudah tidak peduli lagi sama omongan tetangga. Begitu juga untuk kau, Del. Kau sudah hidup mandiri, Bapak sudah bangga. Bapak bangga.” Bapak terus mengulangi kata-katanya. “Bapak bangga.”

Fadil dan Fidella menangis tersedu-sedu. Mereka menjadi cengeng. Cengeng secengeng-cengengnya. Air mata benar-benar tumpah dari mata mereka. Keduanya memeluk Bapak begitu erat. Air mata pun Bapak pun ikut jatuh. “Maafkan kesalahan Bapak.” Kata Bapak dengan tangis yang belum reda. “Bapak tidak salah apa-apa,” kata Fidella.

Bunyi mesin motor terdengar berhenti di depan rumah. Mereka seketika bangkit dan mengintip dari balik jendela. Betapa senangnya mereka ketika orang yang datang adalah Ibu. Fidella membuka pintu dan langsung memeluk Ibu dengan erat. Pak Akin yang menyaksikan momen itu langsung pulang. Ia memenuhi permintaan sahabatnya untuk tidak ikut campur lagi. Tangis Ibu pecah ketika menatap wajah Fidella. Itulah wajah yang ia rindukan selama tiga tahun belakangan. 

Begitu banyak pertanyaan yang harus dijawab Bapak dan Ibu. Begitu banyak hal yang harus mereka jelaskan. Namun, Ibu sepertinya menunda semuanya. Tidak ada yang tahu kejadian yang berlangsung ketika Ibu dan Murni bertemu. 

Lihat selengkapnya