“Biarpun jalan itu panjang, kita akan merintisnya perlahan-lahan”
Pagi itu seperti biasa, harus ke kampus. Setiba di kampus seperti biasa juga hari Jumat, bakti Jumat bersih. Saya terlambat, terlambat datang ke kampus yang sudah terlanjur alpa di absen pagi kampus, saya yang terlambat karena kumpul artikel karyawan Jawa Pos yang naik haji melalui darat. Tapi masih sempat ikut bersih-bersih. Semuanya berjalan seperti biasa.
Setelah bersih-bersih, saya dan teman-teman duduk tak jelas sambil ngomongin banyal hal. Mulai dari impian hingga khayalan ketika sudah lulus kuliah. Semuanya memiliki impian untuk lanjut kuliah dari Diploma III jadi Strata I dari DIII Gizi ke S1 Gizi hingga lanjut juga Pendidikan Pascasarjana. Herlin yang ingin lanjut universitas ternama, Magfirsyah yang ingin lanjut ke profesi perawat atau masih tetap untuk lanjut dengan profesi gizi di Unibraw Malang, Resky dan Mila yang rencananya lanjut kuliah di Unhas Makkasar dan saya kalau diizinkan Allah saya pengen lanjut di Undip, jiah.
Sambil menunggu apa dosen jadi masuk atau tidak. Setelah menunggu sambil bercerita banyak hal itu. Ternyata dosennya hari itu belum jadi masuk. Herlin, Mila, Wati dan Resky mendengar dosen belum jadi masuk, akhirnya punya ide untuk jalan-jalan. Setelah berdebat singkat akhirnya ide untuk jalan ke tempat yang menarik ditemukan.
Wati, Herlin, Resky, Mila, Citra, Anti, Masita, Magfirsyah dan saya, kita ini yang jalan-jalan. Herlin dan Wati bergoncengan, Citra dan Masita, Mila dan Anti, Magfirsyah dan Resky, saya sendirian. Kita pakai motor. Motornya macam-macam.
Sebelum jalan-jalan dilakoni, ternyata banyak hambatan yang melambatkan juga. Tapi akhirnya setelah semuanya sudah terkumpul kembali di muka kampus, perjalanan siap dilakukan.Saya tak tahu kita mau ke mana, yang saya pikirkan adalah pokoknya kita ke pantai, itu pikir saya. Dan ternyata kita ke Foramadiahi, saya tak tahu ini dimana dan tempat apa ini.Semuanya berjalan dengan lancar. Dalam pertengahan perjalanan menuju Formadiahi juga masih tetap lancar-lancar saja, semua dilakukan dengan santai. Sempat-sempat kita dengan penuh kecepatan ‘ngebut’.
Setelah perjalanan melewati Gambesi, kita berhenti sejenak ke sebuah toko. Di toko ini, semuanya beli macam-macam, beli makanan untuk dimakan saat sampai di tempat tujuan. Semuanya membeli snack dan minuman kecuali Masita dan Citra yang setia menunggu di motor dan tidak membeli apa-apa.Setelah membeli sebentar di Toko itu, kita melanjutkan perjalanan ke Foramadiahi. Jalan yang kita ikuti adalah lewat kampus UMMU (Universitas Muhammadiyah Maluku Utara), jujur jalannya sangat buruk, rusak.
Inilah petualangannya dimulai, jalan yang buruk ini harus dilalui penuh dengan kegilaan, penuh dengan keringat, penuh dengan tawa, penuh tantangan. Motor pun minta ampun. Mulai dari motornya Magfirsyah yang berhasil melewati jalan yang rusak ini, selanjutnya saya mencoba dan ternyata, susah.
Mila, Herlin dan Citra “Ampong motor rusak sudah! (Ampun motornya akan rusak),”
“Motor saya lebih parah lagi,” pikir saya.
Dari arah belakang terdengar “Ngoni ini nie paling payah dah ngoni yang mau pigi to! (Kalian ini payah, kan kalian yang mau pergi),” suara Magfirsyah terdengar.
Si Masita, Mila dan Resky juga malah asyik merekam!
Gila! Ada yang panik, ada yang tertawa, ada pula yang asyik merekam. Sudah saya duga teman-temanku ini gila. Gila akan tantangan. Bukan karena suka tantangan tapi karena jarang untuk melakoni tantangan dan jarang pula jalan-jalan.Yang paling gila adalah saat seperti itu malah rekaman yang paling diinginkan, ini mahasiswa yang gila, hehehe.
“Waduh tha p motor tara jadi naek dah nie (Waduh sepeda motor saya tak bisa naik)! Jang barekam k! (Jangan merekamlah),” ungkap saya,
“Ini dokumentasi,” jawab Masita, Mila dan yang lainnya bersamaan,
Motornya Mila berhasil lewati jalan rusak ini, Motor saya juga akhirnya bisa, dan selanjutnya motornya Herlin dan Citra yang lewati jalan yang lebih gampang!
“Dari tadi tarada kong ikut situ (dari tadi juga lewat situ)” semuanya menjawab saat Magfirsyah membawa motor Citra lewati jalan rusak ini. Akhirnya jalan rusak ini bisa juga dilewati walau dengan keringat, dan pastinya penuh tawa dan tak lupa juga penuh dokumentasi! Sudah saya duga Mahasiswa Gizi itu gila! Gila tantangan! Semuanya tak lupa bersuara “deso” sambil tertawa!
Melewati jalan rusak itu, perjalan kembali dilalui. Ternyata setelah jalan rusak yang dilewati tadi yang penuh keringat dan tawa itu. Sekarang kita malah dihadapkan dengan jalan tanjakan yang tinggi, jalan yang akhirnya saya mulai tahu kalau kita mau ke Makam Sultan Babullah, Keramat “Jere”. Sultan Babullah adalah Sultan Ternate yang paling pertama.
“Jiah tha kira me tong m pigi di atas tu ada pantai atau air k (saya pikir kita ke pantai atau tempat yang ada airnya)” tuturku.
Jalan tanjakan yang tinggi ini kembali dilalui dengan tawa. Akhirnya lewati juga tanjakan ini.
Herlin “Ampong tha su gas full me amper tra mampu (Ampun saya sudah tekan penuh gas sepeda motor tapi tak mampu juga)”,
Mila dan Citra juga menjawab “io, ampong”,