“Seorang sahabat adalah yang dapat mendengarkan lagu di dalam hatimu
dan akan menyanyikan kembali tatkala kau lupa akan bait-baitnya”
Beberapa tahun yang lalu. Di awal-awal kuliah. Saya dan beberapa teman, anak-anak Santana naik Gunung Gamalama. Malam itu kita kumpulnya di rumah Anok. Malam itu kita persiapkan apa yang perlu dibawa. Ada yang membawa mie hingga sagu, ada yang menyiapkan beberapa pakaian hingga jaket, ada juga sarung tangan, air-air menghiasi botol-botol dan juga ada air yang rela disimpan dalam termus untuk dibawa pemiliknya. Malam itu rasanya persiapan cukup, hanya cukup tidak lebih.
Malam itu kita siap-siap untuk melakukan penjelajahan dua hari satu malam di Gunung Gamalama. Gunung Gamalama adalah gunung Ternate, cukup banyak cerita tentang gunung ini mulai dari cerita mitos yang penuh mistis hingga mitos yang mungkin ada benarnya, ataupun seperti biasa cerita mitos tetap saja mitos.
Malam itu kita kurang lebih 21 orang. Banyak bukan? Ganjil lagi! Seperti biasa kalau sudah kumpul seperti ini walau wajib anak muda kayak anak-anak Sabia ini apa bisa tidur? Waktu sudah menjelajah hingga jam 3 pagi, waktu mungkin takkan bisa tidur, anak-anak Sabia yang mau naik gunung juga apa bisa tidur? Walau begitu syukurlah ada sebagian teman-teman Santana yang sudah tidur.
Jarum jam yang selalu setia berputar dan waktu yang setia menjadi penunjuk bagi manusia. Kali ini jarum jam sudah mendekati kurang lebih setengah enam dan waktu sudah hampir pagi. Kita mulai beberapa anak-anak ke mobil untuk berangkat ke Moya. Moya adalah jalur jalan yang kita tempuh ke gunung Gamalama.
Semua sampai di Moya. Semuanya siap melakukan perjalanan ke gunung Gamalama. Sebelumnya sebelum naik ke gunung Gamalama seperti sudah umum alangkah baiknya kita lapor dulu ke petuah yang ada di Moya.