Ku baca sebuah berita yang kebetulan masuk dalam emailku, bertulis: Senang karena Anak Tergolong Gizi Buruk. Isi beritanya tertuang ironi keluarga miskin dengan anak mengalami Gizi Buruk di Nusa Tenggara Timur. Mereka senang karena status anaknya mengalami gizi buruk. Dengan status tersebut, mereka bisa dapat bantuan. Ibu Ketrisa memangku anaknya Marlina dengan fisik tampak kurus dan terlihat sedikit lemas. Saat itu Marlina sedang demam dan batuk pilek. Dalam kunjungan petugas Puskesmas ke rumahnya. Sontak ada pertanyaan yang bikin petugas kesehatan tertegun dari pernyataan ibu Ketrisa, “Senang. Karena ikut gizi buruk to?”. Aku termenung.
Sudah 10 tahun berlalu. Saat ini aku telah menjadi petugas gizi. Beberapa kali berpindah tugas. Berpindah Kabupaten tempat tugas. Biar lebih dekat dengan keluarga. Melakukan rutinitas sebagai petugas gizi, pelaksanaan posyandu, laporan bulanan, pemberian Tablet Fe, pengentrian ePPGBM, hingga kegiatan Pemberian Makanan Tambahan. Rasanya lumayan, pedih, eh capek.
Di posyandu, silih berganti aku mengukur antropometri balita. Dulu ketika di Dinas Kesehatan mungkin cenderung lebih santai, aku lebih banyak mengentri laporan dan sekali-kali turun ke lapangan dari Puskesmas ke Puskesmas. Ketika aku pindah Puskesmas, lumayan terasa banyak pekerjaan di Puskesmas. Bahkan hingga kini dengan program PMT Pangan Lokal, aku silih berganti mengantar PMT dari sasaran ke sasaran.