Makhluk Ruhis

Indah Puspitasari Suwandi
Chapter #3

M. Zafran Faid

Hari ini tanggal 16 Agustus 2019 dan kita kedatangan keluarga baru. Ah, kalau dingat-ingat sikapnya dahulu, rasanya sangat tidak mungkin orang sepertinya berubah 180 derajat seperti ini. Memang rencana Allah tidak ada yang pernah tahu.

Dia terlihat sangat senang berada disini. Bahkan saat kita mengadakan rapat sampai malam, dia tetap menunjukkan senyumnya. “Gue berasa punya keluarga nih lagi, Zaf.” ucapnya kala itu dengan senyum kotak khasnya.

Ya... Kala itu memang dia terjerumus cukup dalam. Eh tidak, sangat dalam. Setiap orang yang melihatnya pun pasti sudah putus asa melihat tingkah laku ‘bar-bar’-nya. Bahkan Ibu Nita, guru Agama Islam kami hampir pingsan melihat perilaku anak muridnya ini.

Sembari meyelesaikan aktivitasku menggoreng telur, aku akan menceritakannya mulai dari awal sampai akhir. Menceritakan tentangnya. Tentang seorang gadis yang sempat tersesat sesaat tetapi akhirnya sadar jika dia terjerumus maksiat. Tanpa berlama-lama lagi, inilah kisahku.

*****

Namaku Muhammad Zafran Faid, aku dari kelas XI MIPA H. Kala itu aku sedang disibukkan dengan laptop di hadapanku. Ya sekarang memang sedang jam kosong, tapi saat ini aku sedang dikejar-kejar oleh deadline. Aku harus segera merampungkan penyebaran undangan ke sekolah-sekolah dalam rangka Acara Eksternal Rohis yang akan datang. Bisa ditebak sendiri bagaimana marahnya Zayan jika sampai sekarang undangan tak kunjung selesai. Sudahlah jangan dibayangkan, dia kalau marah sudah seperti singa betina yang sedang pramenstruasi, seram pokoknya.

Aku yang sedang asyik-asyiknya mencari kontak sekolah lain, tiba-tiba diinterupsi oleh seseorang yang memanggil namaku dari belakang.

“Zafran!” Saking khusyuknya, aku hanya menjawab panggilan itu dengan dehaman kencang. Tiba-tiba bahuku ditarik untuk menatap mata si pemilik suara.

Nadira Rania. Gadis itu yang berani-beraninya mengganggu waktuku. Dia lagi, dia lagi. Mataku menatap tajam ke arah tangannya yang masih setia bertengger di bahuku. Dia yang sudah hafal betul dengan sikapku, langsung mengangkat kedua tangannya dan menunjukkan senyuman bodohnya.

“Apa?” ucapku sembari melanjutkan aktivitasku. “Hmm... Cuma mau bilang kalau Dira sayang Zafran, hehe...” Dari sudut mata, aku bisa melihat tangannya yang membentuk simbol hati. Sementara orang-orang yang di belakang sudah berteriak sangat heboh. Tentu saja mereka sedang bermain truth or dare, permainan yang selalu kuanggap sebagai ‘Kebodohan yang tidak perlu’.

Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan saat ia kembali bergabung di belakang.

*****

Azan Zuhur berkumandang, bersamaan dengan bel istirahat kedua yang berbunyi. Aku segera merapikan buku-bukuku.

“Eh kesayangannya Dira udah siap salat aja nih.” celetukan itu terdengar saat aku baru saja mengenakan peci hitamku. Aku tidak mau menduga-duga, tapi aku sangat yakin dia mengucapkan kalimat itu untukku.

“Pfftt, HAHAHA... Buset dah Dira mulutnya gak ada adab.” ucap Amel, salah satu kawanannya. “Emang gak salah ya Dira milih calon suami. Udah ganteng, saleh, baik hati. Aduh. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?” Kupingku mulai panas, aku segera berdiri untuk menghindari situasi menyebalkan itu.

“Ih parah banget, masa Dira dicuekin? Salat doang nih yang dipentingin.” Oke kesabaranku sudah tidak dapat ditahan lagi. Wanita ini sudah berbicara sembarangan.

“Lo sendiri, kapan mau pentingin salat? Gue kasihan sama lo, tiap hari bisanya numpuk dosa doang.” ucapku sembari melirik tajam ke arahnya. Ya Allah maafkan Zafran karena sudah berkata kasar pada wanita.

“Aw, seneng deh dikhawatirin sama Zaf-Zaf. Tapi kan aku lagi menstruasi, jadi lagi gak bisa salat dulu.” ucapnya sok imut.

“Lo menstruasi seumur hidup?” sindirku. “Lo kayak gini cuma bikin orang tua lo nangis.” ucapku yang sudah tidak berpikir panjang lagi. Sedetik kemudian aku baru menyadari kebodohan ucapanku.

“Gue gak butuh ceramah lo.” ucapnya sembari berdiri dengan kesal dan menatapku tajam. Dia segera keluar kelas mendahuluiku.

Sepertinya aku harus persiapkan mental untuk dimarahi Bunda hari ini.

*****

Aku masih kepikiran sampai sekarang. Gadis itu sepertinya benar-benar marah saat ini. Aduh gimana ya? “Zafran!” teriakan itu mengagetkanku.

“Mikirin apa sih? Giliran Publikasi sekarang.” ucap Zayan. Aku berusaha membuang pikiran itu jauh-jauh dan kembali fokus pada rapat kali ini.

Aku menjelaskan seluruh progres yang sudah dilakukan, sampai akhirnya fokus kita terpecahkan oleh suara pintu yang terbuka.

“Masa depan Dira—“ Gadis itu berhenti berkata saat melihat seluruh tatapan sudah tertuju padanya. “Eh akhi-akhi dan ukhti-ukhti sedang berkumpul. Assalamu’alaikum semua.” Kami serempak membalas salam itu.

“Aku mau culik Zaf-Zaf dulu ya. Boleh kan?” Aku langsung menutupi mukaku yang menahan malu. Sementara seisi ruangan itu hanya bisa memasang tampang bingung mereka.

“Zaf-Zaf siapa ya?” Akhirnya Zayan yang duluan angkat suara. Dari nada bicaranya, seperti Zayan mulai sedikit kesal. “Itu tuh yang ganteng, yang lagi berdiri di depan.” ucap Dira sembari menunjuk ke arahku. “Lima menit, Zaf. Cepetan.” ucap Zayan dengan tegas.

Lihat selengkapnya