Fajar datang lambat di Gunung Kencana. Kabut masih enggan pergi, seolah menutupi sesuatu yang tak ingin dilihat manusia. Dari arah surau, suara para santri membaca wirid terdengar bergema — namun pagi itu, ada nada aneh di antara lantunan itu.
Seperti ada suara lain... samar, berat, datang dari arah makam.
Rana terbangun lebih awal. Matanya sembab — ia hampir tak tidur semalaman. Bayangan cahaya hijau semalam masih menari di pikirannya. Ia membuka buku catatan, menuliskan kalimat baru:
“Ada suara di bawah tanah. Abah bilang tanah sedang bicara. Apa maksudnya?”
Topan sudah di luar, menyalakan rokok di pinggir sumur. “Kau nulis lagi soal semalam? Kalau aku jadi kamu, mending lupa aja. Itu semua cuma halusinasi.”
“Kalau cuma halusinasi, kenapa Abah Muhadi juga tahu?” tanya Rana.
Topan tak menjawab. Ia hanya menatap ke arah cungkup makam yang samar terlihat di antara kabut, lalu membuang pandang.
Beberapa jam kemudian, mereka bertiga dipanggil ke serambi pesantren. Ustadz Hudri sudah menunggu, duduk bersila dengan kitab terbuka. Wajahnya serius, berbeda dari biasanya.
“Kalian bertiga semalam pergi ke makam?” tanyanya tanpa basa-basi.
Rana dan Sukma saling pandang, lalu mengangguk pelan.
Ustadz Hudri menghela napas panjang. “Abah Muhadi bercerita. Katanya kalian menyentuh batu di makam kecil itu.”
“Batu itu aneh, Ustadz,” sela Rana. “Ada ukiran yang seolah masih baru—”
“Tidak semua yang kelihatan baru, benar-benar baru,” potong Hudri cepat. “Batu itu dikenal warga sini sebagai Batu Wasiat. Dulu, kata orang tua-tua, siapa pun yang membacanya tanpa izin akan... mendengar suara yang bukan dari dunia ini.”