MAKOM KERAMAT SYEH SIRNA JAYA

Rana Kurniawan
Chapter #4

Batu Wasiat

Malam turun dengan cepat di kaki Gunung Kencana.

Awan hitam menggantung di langit, menutup bulan separuh. Suara jangkrik lenyap, berganti senyap yang ganjil — seperti seluruh alam sedang menahan napas.

Rana duduk di serambi pesantren, menatap Batu Wasiat yang samar terlihat di kejauhan.

Dalam pikirannya, suara semalam terus bergaung:

“Yang sirna belum rela pergi."

Ia tahu apa yang akan dilakukannya malam ini bisa berbahaya. Tapi rasa ingin tahunya sudah mengalahkan rasa takut.

Topan dan Sukma sudah ia bujuk untuk tetap di kamar. “Kalau ada apa-apa, jangan keluar,” katanya tadi.

Namun Sukma, dengan mata yang dalam dan khawatir, sempat menatapnya lama. “Jangan tinggalkan aku dalam gelap, Ran.”

Rana hanya menjawab pelan, “Aku harus tahu siapa yang benar-benar sirna.”

Hujan rintik mulai turun. Rana menyelinap keluar membawa senter dan sekop kecil. Langkahnya berat melewati jalan becek menuju area makam.

Ketika ia tiba di cungkup Batu Wasiat, udara di sekitarnya terasa berbeda — dingin, tapi seolah berdenyut.

Ia jongkok di depan batu yang kemarin disentuhnya. Cahaya senternya bergetar di tangan.

Ukiran di batu itu kini tampak lebih jelas — seperti baru ditulis. Huruf-huruf Arab gundul itu tampak menyala samar hijau muda.

Rana meraba permukaannya.Sekejap kemudian, tanah di bawahnya bergetar pelan, lalu terdengar suara… bukan dari luar, tapi dari dalam kepalanya sendiri:

“Waktu belum berhenti. Tapi doa telah putus.”

Lihat selengkapnya