Semua terasa sunyi. Tidak ada hujan. Tidak ada petir. Hanya keheningan yang pekat — seperti seluruh dunia menahan napas.
Rana membuka matanya perlahan.
Ia tak lagi berada di depan makam, melainkan di sebuah halaman luas dengan tanah berpasir dan pagar kayu tua. Di depannya berdiri sebuah pesantren kecil — beratap ijuk, dinding bambu, dan lampu minyak menggantung di tiap tiangnya. Suara anak-anak mengaji terdengar lembut dari dalam.
“Di mana aku…?” bisiknya pelan.
Angin berhembus membawa aroma kayu bakar dan dupa. Di kejauhan, Gunung Kencana berdiri gagah, tanpa kabut, seolah baru saja lahir dari bumi.
Langkah kakinya goyah saat ia mendekat ke surau itu. Dari celah dinding, ia melihat seorang lelaki tua berjubah putih sedang duduk bersila di depan para santri. Suaranya dalam, penuh wibawa, dan setiap kata terasa menggema jauh ke dalam dada.
“Ilmu bukan untuk berkuasa,” kata lelaki itu.
“Ilmu adalah lentera. Siapa yang menyalakannya untuk diri sendiri akan buta oleh cahayanya.”
Rana tertegun. Wajah itu... seperti wajah yang ia lihat dalam kilasan semalam.
“...Syeh Sirna Jaya.”
Tiba-tiba, dari arah belakang, seseorang menepuk bahunya. Rana menoleh — seorang santri muda berdiri di sana, membawa kendi air.
“Antum siapa? Murid baru ya?” tanyanya ramah.
Rana tercekat. “Aku... Rana. Aku... dari luar.”
“Luar?” Santri itu tertawa kecil. “Semua orang di sini datang dari luar, Rana. Tapi yang penting, niatnya dari dalam.”
Rana mencoba tersenyum, meski hatinya kalut. Ia mengikuti santri itu masuk ke dalam surau.