Malam itu, pesantren sepi. Tak ada santri yang berani keluar setelah kejadian sore tadi.
Hanya lampu minyak di serambi utama yang masih menyala, menyorot kabut tipis yang mengambang di halaman.
Rana tak bisa tidur. Batu di tangannya terasa hangat — tidak membakar, tapi menenangkan, seperti sedang memanggilnya untuk mendekat ke makam.
Ia berdiri di depan pintu, lalu menatap langit.
Bintang-bintang seakan berpindah arah, membentuk garis samar menuju ke puncak bukit di belakang pesantren.
“Rana,” suara itu membuatnya tersentak.
Abah Muhadi berdiri di sana, mengenakan sarung dan jubah putih kusam, tongkat barunya di tangan.
“Kalau kau mau mencari jawaban, jangan tunggu pagi. Ikut Abah sekarang.”
Tanpa bertanya, Rana mengikuti. Sukma sempat hendak ikut, tapi Abah hanya menggeleng.
“Perjalanan ini bukan untuk dua hati yang belum siap melihat masa lalu,” katanya pelan.
Mereka berjalan menembus hutan bambu.
Udara semakin dingin, tapi anehnya tak ada suara serangga, tak ada angin.
Semua diam — seakan waktu berhenti berputar.
Setelah hampir setengah jam, mereka tiba di sebuah gua kecil yang tertutup akar-akar pohon.
Abah menyingkirkan beberapa batu, lalu menyalakan dupa.
“Tempat ini,” katanya lirih, “adalah tempat pertama kali Syeh Sirna Jaya menulis wasiatnya.”
Di dinding gua, terukir kalimat Arab kuno — samar tapi masih terbaca.
Rana mendekat.
“Ilmu akan sirna dari dunia, kecuali ia bersemayam dalam hati yang suci dan kesunyian yang setia.”
Rana menyentuh ukiran itu. Batu Wasiat di tangannya bergetar hebat, memancarkan cahaya hijau.