Sejak kejadian di gua, pesantren menjadi sunyi.
Santri-santri berzikir siang malam, sementara kabut tak pernah pergi dari lereng Gunung Kencana.
Rana jarang bicara. Ia lebih banyak duduk di bawah pohon nangka besar di belakang surau, menatap langit dan batu yang kini berwarna lembayung di tangannya.
Sukma sering datang menemaninya.
Kadang hanya duduk diam, kadang membacakan potongan ayat yang diingatnya dari Ustadz Hudri.
Namun setiap kali Rana menatap matanya, ia merasa Sukma tahu lebih banyak daripada yang ia katakan.
Suatu malam, Abah Muhadi memanggil Rana ke serambi utama.
Angin malam membawa aroma dupa dan bunga kenanga. Di depan Abah, terdapat wadah tanah liat berisi air jernih dan selembar kain putih mengambang di dalamnya.
“Rana,” kata Abah pelan, “waktumu sudah tiba. Batu Wasiat itu bukan sekadar pusaka, tapi pintu. Kau harus masuk ke dalamnya — menempuh riyadhoh ruhani.”
Rana menatapnya ragu. “Masuk… ke dalam batu, Bah?”
Abah tersenyum tipis. “Bukan ke batu. Ke dalam dirimu sendiri.”
Rana menutup mata. Abah membaca doa pelan, dan Sukma berdiri di belakang mereka, menunduk dalam diam.
Suara angin berhenti. Dunia menjadi hening.
Rana merasa tubuhnya ringan — melayang, seperti dibawa arus sungai yang lembut tapi kuat.