MAKOM KERAMAT SYEH SIRNA JAYA

Rana Kurniawan
Chapter #9

Gerbang di Perut Gunung

Sejak malam latihan ruhani itu, Rana sering mendengar suara yang sama dalam mimpinya — suara yang bukan manusia, bukan malaikat, tapi seperti gema bumi yang berbicara langsung ke jiwanya.

“Datanglah ke tempat asal cahaya itu lahir. Gunung Kencana menunggu penebusan.”

Setiap kali ia terbangun, batu Wasiat berdenyut halus, menghangat di dadanya.

Sukma kini jarang bicara, tubuhnya lemah, namun senyumnya selalu sama: tenang, seolah sudah tahu ke mana semua ini akan berakhir.

Suatu pagi, Abah Muhadi memanggil Rana dan Ustadz Hudri ke serambi.

Di depannya terhampar peta lama yang digambar di atas kulit pohon.

“Ini,” ujar Abah, “bukan peta biasa. Ini warisan dari guruku, Syeh Sirna Jaya. Di balik Gunung Kencana ada celah batu yang disebut Pintu Wasiat. Hanya pewaris sejati yang bisa membukanya.”

Rana menatap peta itu lama. Di tengahnya, ada tanda berbentuk segitiga — sama seperti batu di dadanya.

“Dan kalau aku membukanya, apa yang akan terjadi, Bah?”

Abah memandangnya dalam-dalam. “Kau akan melihat akhir dari semua ilmu… dan awal dari ujian yang sesungguhnya.”

Menjelang senja, mereka bertiga mendaki Gunung Kencana.

Udara semakin tipis, kabut turun cepat seperti tirai. Di antara pepohonan pinus, sesekali terdengar bisikan halus — suara ayat yang terputus, seperti lantunan zikir yang tak selesai.

Sukma ikut meski tubuhnya lemah.

“Kalau aku tidak ikut,” katanya pelan, “hatiku akan tertinggal di sini.”

Abah tak menolak. Ia tahu, setiap takdir punya jalan yang tak bisa dihindari.

Setelah perjalanan panjang, mereka tiba di sebuah tebing batu yang menjulang.

Di tengahnya ada celah sempit berbentuk segitiga, persis seperti batu Wasiat.

Begitu Rana mendekat, batu di dadanya bergetar keras dan mengeluarkan cahaya hijau lembayung, menyinari dinding batu itu.

Perlahan, celah itu terbuka — bukan ke dalam gua, tapi ke ruang lain yang penuh cahaya.

Udara di sekitar mereka berubah hangat, dan tanah bergetar seperti jantung yang berdetak.

“Masya Allah…” bisik Hudri, matanya berkaca-kaca. “Ini bukan gua… ini maqom yang sebenarnya.”

Lihat selengkapnya