MAKOM KERAMAT SYEH SIRNA JAYA

Rana Kurniawan
Chapter #10

Cahaya yang Tersisa

Sudah tiga bulan sejak malam itu.Kabut di Gunung Kencana kini tak lagi setebal dulu, dan angin yang berhembus dari lerengnya membawa wangi kemenyan dari makam yang selalu dijaga.

Di bawah langit pagi yang lembut, Rana berdiri di pelataran Makom Syeh Sirna Jaya.

Batu Wasiat kini tersimpan di balik kaca kecil di ruang doa, dingin dan tampak biasa.

Orang-orang datang berziarah, membaca doa, menyalakan dupa, tak ada yang tahu apa yang pernah terjadi di tempat itu.

Hanya Rana, Ustadz Hudri, dan Abah Muhadi yang menyimpan rahasia itu dalam diam.

Abah kini jarang bicara. Tubuhnya makin ringkih, tapi matanya selalu teduh.

Ia sering duduk di bawah pohon beringin tua, memandangi langit dan berzikir pelan.

“Segala yang besar, Nak Rana,” katanya suatu sore, “akhirnya akan menjadi sunyi. Tapi dari kesunyian itulah rahmat turun. Sukma tidak hilang. Ia hanya pulang lebih dulu.”Rana tersenyum hambar.

Kadang ia masih mendengar suara Sukma, lirih seperti bisikan angin di sela daun:

“Jangan tangisi yang pergi, Ran. Cahaya tak pernah benar-benar padam.”

Suatu hari, Topan datang dari kota. Ia kini bekerja di sebuah lembaga penelitian sejarah.

Ia membawa kabar bahwa banyak peneliti mulai tertarik dengan legenda Syeh Sirna Jaya.

“Katanya, ada prasasti tua di Serang yang menyebut nama itu,” ujar Topan. “Bisa jadi bagian dari catatan penyebaran Islam awal di Banten.”

Rana hanya menatapnya, senyum samar di wajahnya.

Lihat selengkapnya