Dokter bilang, kondisi kakiku semakin parah karena aku memaksa untuk berjalan serta mengabaikan rasa ngilu yang sudah merupakan peringatan bahwa kakiku semakin parah. Sehingga harus kuterima kabar ini dengan berat hati bahwa kakiku dinyatakan lumpuh permanen.
Aku dan mamah saat itu hanya berbagi tangis didalam ruangan. Berpelukan erat saling menguatkan, tak mengira bahwa ujian yang kami alami akan seberat ini.
###
Dihalaman rumah aku hanya duduk termenung mengosongkan pikiran. Memandang jalanan yang ramai dengan orang-orang berlalu lalang dengan senyum dan tawa. Tanpa beban.
Aku iri…
Pandanganku tertuju pada sepasang kekasih, bergandengan tangan melepas bahagia dihari yang cerah. Saat itu juga satu keputusan terlintas dalam fikiranku. Mengambil handphone dan menghubungi nomor teratas didaftar riwayat panggilan.
“Kita harus ketemu. Aku tunggu didepan taman perumahan dekat rumah”
Dengan bantuan Bi Mina aku duduk disebuah bangku taman dan meminta Bi Mina menyembunyikan kursi rodaku. Selang beberapa lama, orang yang kuhubungi pun datang dan segera duduk disampingku. Tak lupa menyapaku dengan mengelus puncak kepalaku lembut.
Namanya “Reyhan Putro Andrian” kekasihku selama lima tahun terakhir. Sudah memiliki niatan untuk meminangku. Sebelum kelumpuhanku, bahagia rasanya saat ia membicarakan hal itu dengan Mamah, namun hal itu pula yang membuatku mengambil keputusan ini setelah kabar kelumpuhanku. Walau ragu dengan keputusan ini, aku harus segera menyelesaikannya. Aku tak ingin menjadi bebannya dikemudian hari dengan kondisiku yang seperti ini.
“Ada apa?” tanyanya.
Aku menatapnya dalam. Mencari kepastian bahwa keputusan yang kuambil benar.
“Hey, kenapa nangis? Ada apa? Ada masalah?”