Azkal terbelalak. Saking kagetnya makanan di dalam mulutnya menyembur keluar. Ia buru-buru meneguk air putih.
“Apa? Abang mondok?” tanyanya masih terkejut. Ia sama sekali tak percaya dengan penuturan Abah barusan.
“Iya, Abah rencananya mau memondokkan kamu secepatnya. Mungkin seminggu ke depan. Jadi kamu siap-siap saja, ya, Kal,” turur Abah Husain santai. Ia duduk di sofa tak jauh dari meja makan. Matanya yang berbingkai kacamata sibuk menelusuri huruf-huruf arab tanpa harokat di kitab kuningnya.
“Bagus tuh. Biar nggak koreaan mulu,” celetuk Niswah sambil bangkit membawa piringnya. Ia baru selesai makan malam.
Azkal melotot pada adiknya. Niswah malah menjulurkan lidahnya.
“Tapi kan tanggung, Bah. Abang sudah mau kelas dua belas. Tinggal menunggu satu tahun lagi, terus, ya, sudah selesai.” Nasinya di atas piring masih tersisa setengah. Gara-gara penuturan Abah, ia jadi tidak bernapsu makan lagi.
“Gampang soal itu mah. Di sana juga ada Madrasah Aliyah. Nanti kamu langsung naik kelas dua belas.”
Azkal mendengus berat. Ah, susah sekali bicara dengan Abah. Ayahnya itu kalau sudah memutuskan kehendak tidak bisa dibantah. Tapi Azkal tidak mau menyerah begitu saja. Ia bangkit mendekati sang Ayah, berusaha melobi semaksimal mungkin.
“Abah, please! Jangan sekarang dong. Abang janji deh lulus SMA langsung mondok. Siap grak,” ujarnya sambil melakukan hormat layaknya pemimpin upacara yang hormat kepada pembina upacaranya.