Azkal menghela napas berat. Malam ini hamparan langit hitam pekat, sama seperti hatinya. Gelap. Tak ada satu titik cahaya bintang pun yang muncul.
Merasa bosan hanya duduk menyender pada sofa kamar yang mengarah ke luar jendela, Azkal berdiri. Ia ingat belum membereskan berbagai koleksi all about korea-nya. Padahal segala pakaian yang dirasa butuh, sudah di-packing semua ke dalam dua buah koper berukuran sedang. Ya, tinggal menghitung jam saja, durasi waktunya menikmati segala napas kehidupan di rumah mencapai batas ending.
Azkal menghampiri meja belajarnya, lalu menyetel musik lewat handphone yang disambungkan ke speaker kecil. Kali ini lagu yang di putar berjudul Oh My! dari boyband Seventeen.
Naye bameun deep deep
Kyeojyeo itneun TV
Shikkeureobhi nae mamcheoreom
Neoneun daeche eotteohan iyuro
Nae mameul kkeotta kyeotta ne meottaeronji
Selama musik mengalun cukup keras. Azkal membereskan buku-bukunya yang kebanyakan berupa novel. Ya, hobi lainnya selain yang berbau korea ialah membaca dan menulis novel. Sudah banyak sekali koleksi novel yang pernah ia baca, termasuk lima buah novel karyanya sendiri.
Azkal membuka lemari pakaian. Ia menatap sendu. Di sana masih banyak pakaian menggantung yang tidak bisa ia bawa ke pondok nanti. Bukannya tidak boleh dibawa, hanya saja pakaian-pakaian tersebut hanya pantas ia pakai tatkala tampil di atas panggung. Azkal jadi ingat momen keseruannya bersama teman-teman, tiap kali berjibaku dengan nge-dance K-Pop. Sebuah hobi yang selalu ia tersembunyikan dari keluarganya. Apalagi usai kepergok Abah di sebuah kompetisi dance malam itu.
“Abah nggak suka kamu ikut-ikutan kayak mereka. Joget-joget di atas panggung, dilihatin banyak orang.” Abah marah-marah sesampainya di rumah selepas menyeret Azkal keluar dari studio acara.
Sang Ayah kembali memarahi anak sulungnya itu, yang kini terduduk lemas masih berpakaian ala boyband Korea dengan pakaian nyentrik, riasan make up serta aksesoris menghiasi leher dan daun telinganya. “Abah nggak nyangka sama kamu, Azkal. Kok anak seperti kamu, yang Ayahnya punya madrasah, majelis, hobinya joget-joget kayak di TV itu lho, Bun. Lihat saja coba, Bun, penampilannya, rambutnya dicat, wajahnya di make up, pakaiannya aneh. Innalilahi, kamu nggak malu, Azkal?” ceramah Abah panjang lebar sambil melirik penuh tatapan tak suka.
“Berarti selama ini kamu berani berbohong, Azkal? Sering sekali kamu nggak ada di rumah, dua hari, tiga hari dengan dalih tugas eskul lah, tugas kelas lah. Dan ternyata kamu malah berkutat mempersiapkan penampilan itu, joget-joget di atas panggung? Abah nggak habis pikir. Abah kecewa, Azkal. Abah kecewa!” telak Abah membuat kedua mata Azkal terpejam semakin rapat, demi menahan sesak di dada.
Azkal tersenyum kecut. Ia jadi mengingat lagi momen menyedihkan itu. Beberapa pakaian ber-style korea ia ambil dan masukan ke dalam koper.
Selanjutnya tangannya mulai meraba-raba beberapa foto polaroid yang menggantung di dinding. Ialah foto-foto bersama teman-teman segrup cover dance Ikonikers. Ah, ia jadi mengingat lagi salah satu momen paling menyedihkan yang ia sesali. Tatkala ia kedapatan nge-vodka sampai teler di club malam. Seluruh keluarganya kecewa, terlebih Abah. Ia benar-benar murka.
“Nis, kamu jangan salah paham dulu. Abang mau cerita soal waktu malam. Please! Kamu harus dengerin, Nis. Abang nggak–”
“Nggak perlu. Abang nggak perlu jelasin!” potong Niswah cepat. Ia tak mau melihat Kakaknya. Ia kecewa. Karena ia sendiri yang mendatanginya ke club itu, saat salah seorang memintanya menyeret sang Kakak yang teler dan membuat keributan.
Azkal tak mau menyerah. Ia tahan lengan adiknya. “Nggak. Pokoknya kamu harus dengar!” paksa Azkal lagi dengan oktaf nada meninggi.
“Niswah bilang nggak perlu! Abang nggak perlu jelasin!” tegas Niswah beremosi, ia cepat-cepat berlari sambil berusaha menahan air matanya. Ada sedih dan kecewa yang hadir dalam hatinya mengingat semua kejadian waktu malam. Tapi sungguh di sudut hatinya yang lain seperti ada rasa kasihan, berbagai pertanyaan dalam benaknya pun harus ia kubur mentah-mentah, sebab Abah dan Bunda sepakat memintanya untuk diam. Membiarkan kakaknya itu supaya sadar terhadap kelakuannya yang sudah melewati batas.
Sejurus Abah datang selepas mengajar ngaji santri-santrinya. Abah berhenti di samping anak laki-lakinya itu. Cukup lama.
Azkal melihat sikap Abah benar-benar dingin. Di wajahnya tercetak jelas gurat-gurat amarah, kecewa dan kesal bercampur aduk. Azkal paham. Abah duduk di kursi meja makan.
Azkal menggigit bibirnya. Air matanya ingin keluar. Hatinya serasa memberontak, tapi sulit sekali. Rumah sebesar ini terasa membuatnya muak dan menyakitkan.
Azkal mengepalkan kepalan tangannya. Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. Mau tak mau ia harus menjelaskan kepada Bunda dan Abah, apapun risikonya nanti. Bahkan jika nanti pipinya harus menjadi korban tamparan lagi, ia harus menerima, sebab semua ini karena kesalahannya.