Sekitar pukul dua siang rombongam dari Bandung itu sampai di tempat tujuan, pondok pesantren Kebon Bambu. Dua mobil Avanza berwarna hitam dan putih memarkir –berjejer dengan beberapa mobil lainnya di lapangan luar pondok.
Ketiga belas orang itu berdiri mematung, menatap pemandangan di sekeliling mereka. Jika dilihat dari mulai jalan masuk ke pondok pesantren, pondokan tersebut masuk ke sebuah gang cukup besar, lurus sedikit dengan pemandangan sekeliling berupa pepohonan jati yang meranggas akibat musim kemarau.
Kemudian masuk lagi ke gang sebelah kanan. Dari awal masuk sana akan terlihat sebuah gapura berukuran cukup tinggi bertuliskan arab Ma’had Kebon Bambu. Adapun di sekeliling jalan menuju gapura, terdapat dua buah lapangan di sisi kanan dan kirinya.
Abah memberi komando, meminta Mas Ridwan menggelar tikar di bawah pohon rindang dekat lapangan. Sementara dirinya, Bunda, Mas Ahmad dan Azkal bergegas ke rumah dewan pengasuh pondok untuk melakukan sowan.
Sebuah prosedur ketika mau mondok masih sama seperti dulu, yakni si calon santri harus sowan atau berkunjung terlebih dahulu, lalu mendaftar di kantor pusat, berkeliling ke setiap jengkal pondok dan terakhir mengunjungi kamar yang telah di tentukan.
Usai berbasa-basi sedikit dengan Kyai Anwar, selaku pengasuh pondok, Abah mulai memperkenalkan Azkal, menjelaskan tujuan kedatangannya serta meminta bimbingan anaknya yang mau mondok di sini.
Kyai Anwar atau biasa dipanggil Aang bertanya dengan suara lembut, “Nak Azkal kelas berapa sekolahnya?”
Azkal sedikit mendongak. “Mau kelas dua belas, Ang.”
“Oh, mau kelas dua belas. Lantas benar nih Nak Azkal mau mondok di sini? Padahal kan tinggal setahun lagi sekolahnya.”
“Mau, Ang, insya Allah,” jawab Azkal tersenyum kaku, walau sebenarnya keputusannya masih setengah-setengah.
“Bagus kalau begitu. Tapi ke sini mau mondok sambil sekolah atau sekolah sambil mondok?”
Azkal diam. Sangsi dan bingung mau menjawab apa. Sepemahamannya, perasaan dua kalimat tersebut sama saja, hanya dibalik.
Bunda paham melihat ekspresi anaknya. Ia cepat-cepat yang menjawab sambil berusaha memberi kode, “Mondok sambil sekolah, ya, Azkal. Bukan sekolah sambil mondok. Benar, kan? Hehe....”
“I... iya, Bunda benar. Mondok sambil sekolah, Ang,” jawab Azkal gugup.
Ang Anwar mengangguk-angguk. “Ya, benar, bagus. Kalau tujuannya sekolah sambil mondok, silahkan di pondok lain saja. Masih banyak kok pondokan pesantren di sini. Karena kalau sekolah sambil mondok, berarti tujuan utamanya mau sekolah, bukan mondok. Dan nanti sama saja dong sama ngekos. Numpang tidur dan makan. Hehe... semoga benar dan sungguh-sungguh, ya. Siap, Nak Azkal mondok di sini?”
“Siap, Ang.”