Pondok pesantren Kebon Bambu merupakan salah satu pondokan salaf, namun bisa disebut juga sebagai pondok pesantren semi modern. Letaknya berada di kawasan Babakan Cirebon Barat.
Pondok ini masih mempertahankan sisi kesalafan. Salah satu cirinya ialah adanya pengajian kitab kuning. Ya, tak jauh berbeda dengan pondok salafi terkenal di luar sana seperti pondok pesantren Lirboyo, Tegal Rejo, Tambak Beras dan lainnya.
Hanya saja dikatakan semi modern karena jika di lihat dari bangunannya, tampak seperti pesantren-pesantrem modern. Bahkan membudayakan pula berbagai kesenian tradisional Indonesia, seperti tari-tarian Nusantara, kesenian angklung dan lain sebagainya yang berbau budaya Indonesia.
Tentu hal itu bertujuan untuk mempertahankan budaya kita yang semakin terkikis oleh zaman. Namun di dalamnya tetap mempertahankan nilai-nilai keagamaan. Sebab bukankah para wali zaman dahulu juga melakukan hal demikian, berdakwah tanpa mengubah tradisi. Melainkan menyelipkan nilai-nilai Islam dalam tradisi tersebut. Dan kalau bukan generasi kita yang mempertahankan, ya, siapa lagi? Pun kapan lagi?
Pondok pesantren ini dipimpin oleh seorang Kyai muda bernama Kyai H. Anwar Nailul Nabhan atau biasa di panggil Ang Anwar, bersama istrinya Nyai Hj. Nur Laila Qolbi, biasa disebut Yu Laila. Adapun pendiri pondoknya sendri ialah Almaghfurlah Kyai Muhammad Syakur beserta Istrinya Nyai Nafisah. Keduanya sudah sama-sama wafat.
Azkal sudah bertranformasi. Memakai setelan sarung bersalur hitam dan coklat, baju koko berwarna cream serta sebuah peci hitam menutupi rambutnya.
Lelaki bermata hazel itu berdiri mematung, tak jauh dari pintu masuk masjid. Tatapannya berkelakar memperhatikan berbagai pemandangan asing di sekelilingnya; di dalam masjid para santri tengah melaksanakan sholat sunnah qobliyah ashar, di tempat wudhu sebelah timur masjid para santri berjejer mengantri hendak berwudhu dan beberapa santri tampak berjalan setengah berlari menuju masjid dengan muka basah.
Baru saja Azkal melangkah menyentuh teras masjid. Tiba-tiba seluruh santri berdiri. Dari mulai pintu masuk sampai ke arah mimbar, para santri itu membentuk jalan kosong, sambil berdiri tegap dan menundukkan kepala dalam-dalam. Seolah-olah mereka tengah bersiap menyambut kedatangan seorang raja menuju singgasana agungnya.
Azkal terperangah. Apa? Mereka semua menyambut kedatanganku? Nggak percaya. Apa karena aku santri baru terganteng, terkeren dan terperfect ini, ya, Omo!
Azkal tersenyum samar. Dalam hati ia tertawa kecil. Kok bisa, ya? Dengan wajah sumringah, ia berdehem. Lalu melangkah santai, sok percaya diri ke jalanan kosong itu.
Tapi baru juga lima langkah berjalan. Sejurus sebuah tangan menarik kerah belakang bajunya, cukup keras dan cepat, ke arah samping. Seperti menyuruhnya untuk segera menyingkir. Hal itu membuat Azkal terkejut bukan main, hampir terjengkang malah.
Aish... Siapa sih yang berani-beraninya narik aku?
Emosi Azkal nyaris meledak di tempat kalau saja ia tidak melihat sosok lelaki paruh baya berpakaian rapih, dengan sarung dan baju koko putih serta peci hitam menutupi rapat rambutnya, di pintu masuk masjid. Seketika emosinya menurun, justru matanya yang kini terbelalak. Kesadaran Azkal pulih.
Omo! Ternyata para santri itu melakukan sikap tersebut bukan kepadaku? Melainkan kepada Ang Anwar. Haduh... Gila, malu banget. Mukaku mau di taruh di mana ini?
Azkal melihat sekilas. Ang Anwar tampak berjalan pelan, melewati jalanan kosong berkarpet sajadah. Wajah putih nan bersihnya amat memancarkan aura kewibawaan sosok Kyai agung. Walau raut wajah babyface-nya masih terlihat jelas. Saat Ang Anwar lewat aroma minyak wangi khasnya menyusup hidung setiap insan yang tampak terdiam menunduk dalam.
Azkal menggelengkan kepala. Ia takjub. Betapa hormatnya para santri kepada Kyai Anwar. Sungguh sebuah pemandangan yang baru kali ini ia lihat.
Lantas, saat suasana kembali normal. Para santri mulai memperbaiki shaf-nya. Di sekitar Azkal, beberapa pasang mata menatapnya tajam. Azkal menciut. Ia menunduk dan pura-pura memperbaiki shaf-nya, walau hatinya menjerit malu.
Salat ashar telah selesai, para santri berhamburan keluar dari masjid. Azkal berjalan pelan. Kecamuk rasa malunya akan kejadian sebelum salat tadi, masih menghantui pikiran. Apalagi saat orang-orang masih menatapnya penuh selidik.
Dalam kekalutan jiwanya itu, sejurus sebuah rangkulan mengenai pundaknya.
“Hai, kenalin. Saya Adieb,” ucap seorang santri berperawakan tak jauh berbeda dengannya. Namun jika di sejajarkan, Azkal tetap terlihat lebih tinggi.
Santri itu tersenyum ramah sambil mengulurkan tanganya.
Azkal menyambut, ia balas tersenyum ramah, “Oh, ya. Halo, saya Azkal.”
“Oh, namanya Azkal tho. Sorry, ya, Kal. Tadi saya narik kerah baju kamu keras-keras lagi. Soalnya kamu menghalangi jalannya Aang.” Adieb berkata santai, seolah ia sedang berbicara dengan teman dekatnya, padahal baru kenalan.
“Oh, itu tuh kamu.” Azkal manggut-manggut. Ia baru tahu si pelaku itu. Walau agak kesal, ia tak mungkin melampiaskan kekesalannya kepada orang yang sebenarnya telah menyelamatkannya.
“Iya. Kamu santri baru, ya?”
Azkal mengangguk.