Joshua
'Tidak ada yang menikmati pelajaran Fisika. Ayolah, masa iya ada yang suka?'
Iya atau tidak sudah tidak dipikirkan samasekali oleh Joshua Remiano. Matanya yang tajam sudah terpaku kepada foto gitar Gibson ES 165 yang tertampang di salah satu halaman iklan majalah Rolling Stone. Gitar listrik pertama yang mencuri perhatiannya, menyita waktunya malam-malam hanya untuk membayangkan bagaimana rasanya menaruh gitar tersebut di pangkuannya sambil memetik senar-senarnya yang halus.
Joshua samasekali tidak menggubris teman baiknya di sebelah, Maximus- atau Max, yang sudah beberapa menit terakhir berkicau tentang gitar impiannya sendiri.
“Gila, Josh, it’s crazy,” Max berceloteh sambil mengenggam keras majalah Rolling Stone yang ada di tangannya, “Ibanez Artist AR-300! From 1981! Kacau ini mah!”
Suasana di kelas itu memang sedang tidak jelas. Pelajaran Fisika memang sedang berlangsung, namun setelah Bu Fatma menjelaskan sedikit bagian dari ilmu Titik Berat, beliau langsung memberikan selembar latihan soal untuk dikerjakan- dan bebas anak-anak mau mengumpulkannya atau tidak.
Anak-anak di kelas itu langsung terbagi menjadi berbagai “gerakan”. Ada gerakan yang langsung mengerjakannya dengan santai, ada gerakan yang pura-pura mengerjakan padahal sedang bengong melamun, dan ada juga gerakan macam Joshua dan Max yang dengan terang-terangan membuka majalah musik di kelas. Tidak peduli. Benar-benar tidak peduli.
Seorang gadis yang duduk di depan mereka- yang adalah sahabat mereka juga, berbalik badan sambil tersenyum lebar. Namanya Miso. Ya, ia sudah cukup di ejek-ejek dari masa SD nya, ketika semua anak di kelasnya mulai memahami bahwa ‘miso’ adalah nama sebuah sup dari Jepang yang kamu dapatkan ketika membeli makanan set dan bukan ala carte. Karena namanya juga, ia berkali-kali dikira orang Jepang, atau punya darah Korea.
Salah besar. Miso adalah campuran indah dari orang tua Tionghoa Medan dan Tegal.
“Guys, udah cek viewers video kemaren?” Miso diam-diam mengeluarkan handphone nya dan menyodorkannya kepada Max dan Joshua, “Udah tiga ribu. Gila nggak?”
Mendengar kata tiga ribu, Max dan Joshua serentak mengangkat kepala mereka dan menaruh segala perhatian mereka kepada iPhone milik Miso yang menunjukkan sebuah page dari YouTube.
Joshua & Friends : Maroon 5’s Payphone (Guitar Instrumental)
“Josh, kayaknya lu boleh mulai seriusin YouTube elo deh,” Miso tersenyum lebar, “Channel ini baru dua minggu dibikin dan kita baru upload dua video, liat udah kayak apa. Subscribers lu udah seribu lima ratus, viewers video yang baru lu upload semalam udah tiga ribu yang nonton! It’s like you’re a prodigy, man.”
Joshua masih tidak berkutik, hanya berfokus memandang layar yang menunjukkan halaman YouTube Channel nya. Joshua & Friends. Sebuah akun yang ia buat karena ingin sekedar meluapkan hobi nya bermain gitar, dibantu oleh Max dan Miso yang juga maniak bermain gitar, beserta kedua teman mereka yang lainnya, Renata yang sesekali mengisi vokal, dan yang terakhir Jordan, yang bertugas me-mixing sound dari hasil rekaman mereka.
Max, Miso, Renata, dan Jordan sepakat bahwa mereka hanya iseng dan ingin membantu Joshua, akhirnya jadilah nama akun itu: Joshua & Friends, yang memang artinya, Joshua dan teman-temannya.
Max mendengus, “Prodigy apanya? Lu gak liat komen-komen di video nya Josh, semuanya didominasi oleh cewek-cewek yang cuma nulis ‘aduh, yang main gitar ganteng banget!’ atau ‘aduh, mau juga dong dipeluk kayak gitarnya!’, ditambah dengan, ‘koko, senyum lah, kenapa sih datar banget mukanya?’”
Miso langsung cengegesan kecil sambil menahan agar suaranya tidak terdengar terlalu keras, dan Joshua otomatis nyengir sambil meninju kecil lengan Max, “Emang iya?”
Joshua memang sangat enak dilihat. Posturnya memang tidak terlalu tinggi seperti cowok-cowok pada umumnya, tapi pundaknya bidang, rambutnya yang kecoklatan selalu pendek dan rapih, alisnya tebal, kedua matanya tajam, dan ada tahi lalat dibawah mata kanannya yang dengan anehnya membuatnya kelihatan semakin menarik.
“Padahal gue lebih senang kalau ada yang komen untuk nanya-nanyain gitar gue, effect, atau pedal gue… bahkan skill gue…” Joshua mengembalikan handphone Miso, “Kenapa yang nonton beginian malah cewek-cewek yang gak paham ya?”
“Ya karena elo ganteng…” Max melengos, kemudian buru-buru menambahi, “But no homo, man,”
Miso mengangguk, “Mungkin sesekali, lo boleh bikin mini workshop sambil bahas pertanyaan mereka seputar gitar. Eh, lu lagi liat apaan?”
Miso menarik majalah yang ada di tangan Joshua. Kedua matanya langsung membesar, “Oh, Josh…. ini…”
“Gibson ES 165.” Joshua menahan senyumnya, “Gue akan beli ini segera, gak tahu kapan, tapi pasti gue dapetin.”
Miso dan Max saling bertatapan sedetik.
“Bokap lu… gimana?” Max bertanya dengan nada lebih rendah, “Gitar lo yang terakhir kan di-“
“Dia gak perlu tahu gue beli gitar lagi,” Joshua dengan cepat memotong sambil melipat kembali majalah musiknya sambil menunduk. Sebuah bahasa tubuh ringan yang menandakan kalau ia tidak ingin membahas ini semua lebih dalam.
Miso dan Max, menjadi sahabat baik yang sudah sangat mengenal Joshua, memutuskan untuk mengangguk dan melepaskan topik tersebut.
Joshua memandang sekeliling kelas. Suasana sebenarnya tidak terlalu sepi, beberapa anak sedang saling mengobrol namun sepertinya Bu Fatma sedang tidak ingin menegur atau memarahi siapapun. Ia ingin bermalas-masalan. Tidak apa-apa, Bu, kami juga.