Malaikat Jatuh

Jesselyn Abdisaputera
Chapter #4

The Factory

Remi

Kata orang, ketika satu mimpi terwujud, kamu akan tersenyum bangga dan mengingat semua perasaan dan kenangan kamu ketika sedang membangunnya. Bagaikan ratusan adegan film yang terurut dan dipersingkat menjadi beberapa detik dengan cepat. Pusparagam adrenalin yang pernah mengalir, semua rasa semangat yang pernah terbakar-bakar.

Bangunan di hadapannya berdiri kokoh seperti tubuhnya, dan mimpinya. Jika ia melihat waktu kebelakang, semuanya detilnya sudah nyaris tidak ia ingat, tapi pada saat yang sama meninggalkan sensasi kental di benaknya. Semua masa sulit yang sudah ia lewati, semua rasa sakit yang ia simpan.

Remi berdiri di hadapan bangunan 3 lantai itu. The Factory, ia menamainya. Terinspirasi dari Andy Warhol, seniman yang pernah membuat sebuah studio seni bernama The Factory, yang menjadi rumahnya untuk berkarya, baik itu painting atau film making, di New York. Tidak butuh waktu lama sampai tempat itu menjadi tempat nongkrong para selebriti dan seniman pada zamannya. Dari Jean-Michel Basquiat, Lou Reed, The Velvet Underground, Madonna, sampai Mick Jagger. 

Seperti itulah visi Remi ketika membangun The Factory. Ini akan menjadi pusat dari semua yang telah dibangunnya. Sebuah sentral dan sebuah utopia untuk semua seniman.

Congratulations, bro, you did it, Rem,” 

Remi merasakan sebuah tepukan ringan yang bersahabat di atas pundaknya. Remi menoleh dan menemukan Maximus Tedja, atau Max, sahabatnya selama belasan tahun terakhir. Sahabat dekat yang selalu ada untuknya, yang tidak pernah absen dari hidupnya, dan yang terpenting, selalu percaya kepadanya.

Rasanya sulit mengingat momen apapun dalam hidup, yang tidak ada Max di dalamnya.

Remi membalas rangkulan dari Max sambil kembali memandang ke arah bangunan baru mereka. 

Max sudah bertransformasi gila-gilaan, dari Max yang masih SMA, yang jangkung dan kurus, menjadi seorang pria tinggi besar yang rambutnya gondrong dan harus selalu dikuncir agar membuatnya nyaman, kumis dan jenggot yang ditumbuhkannya agar menyerupai Nujabes, produser Jepang yang menjadi idolanya, dilengkapi dengan tato disekujur tubuhnya, dan tidak lupa sepasang anting silver yang tertancap di kedua telinganya.

Actually, we did it,” Remi meralatnya. Sangat egois kalau seluruh apresiasi hanya dihadiahkan kepadanya. Peran Max dan Miso sangat krusial dalam semua yang telah dicapainya.

Max terkekeh sambil mengeluarkan iPhone nya dan membuka kamera, “Selfie yuk? Depan kantor baru…”

Remi langsung tertawa lebar- dan tawa Remi yang lepas adalah penampakan yang sangat langka bagi siapapun yang tidak terlalu dekat dengannya.

Keduanya langsung berangkulan membelakangi bangunan tersebut. Remi tersenyum lebar, sementara Max menjulurkan lidahnya. Dengan skill fotografi yang pas-pasan, Max berusaha agar bangunan di belakang mereka terlihat dengan jelas tanpa memotong wajah mereka di kamera.

“Hey! Kok gue nggak diajak?!!”

Suara gadis yang sangat familier itu, membuat Remi dan Max langsung berpaling kearahnya. 

Miso berdiri di hadapan mereka berdua sambil memberikan tatapan kesal, “Gila, sakit hati gue. Lagi ngambil bir bentar buat ngerayain, eh malah ditinggal foto.”

Miso pun bukanlah lagi seorang gadis bermata besar yang polos. Rambutnya sudah dalam beberapa tahun terakhir bertahan di gaya undercut, dan ia mencukur habis bagian kiri rambutnya. Lengan kirinya dipenuhi tato, dan ia menyadang status sebagai… pacar Max.

Saat mereka jadian enam tahun yang lalu, Remi cuma menggeleng-gelengkan kepalanya bisa berkata, “Kalian adalah definisi dari falling in love with your best-friend.” Dan itu memang benar dalam kasus Max dan Miso. Butuh waktu lama untuk Max memberanikan diri dan nekat untuk menyatakan cinta kepada Miso, dan tidak butuh waktu lama untuk Miso menyadari bahwa Max adalah pria selalu ada disampingnya dan menunggunya.

Remi tersenyum, “Yuk, sini foto. Taruh dulu aja bir nya,”

Miso dengan ceria langsung berlari dan menempatkan dirinya di antara Remi dan Max, dua sahabat sejatinya dari SMA yang selalu ada di setiap liku kehidupannya. 

Dalam semua momen kehidupan ketiganya, selalu ada satu sama lain. 

Saat ketiganya berangkulan erat dan tersenyum lebar, dan sebelum Max menghitung mundur untuk menjepret, Miso berdoa dalam hati, agar ketiganya bisa begini terus. 

Lihat selengkapnya