Malaikat Jatuh

Jesselyn Abdisaputera
Chapter #7

Diantara Terpikat atau Terikat

Remi

“Max is a junkie, Rem,” suara Jordan terdengar mendam di telinga Remi, “And we all know that. Kurang bukti apalagi?”

“Kita belum tahu soal itu,” Remi hanya bisa berkata lirih. Jordan menghela napas panjang. Pembicaraan ini juga tidak mudah untuknya, tapi Jordan merasa ia akan sangat berdosa jika ia tidak memberitahu Remi.

Sebagai salah satu teman terlama Remi dan salah satu sobat yang membantu berdirinya Joshua & Friends waktu SMA dulu, Jordan paham betul sejarah yang terukir antara Remi dan Max. Bagaimana Max dan ayahnya menerima Remi sebagai anggota baru di keluarga mereka, dan betapa besar kasih sayang Remi terhadap sahabatnya itu, dan begitu pula sebaliknya.

Jordan meletakkan satu tangan di pundak Remi, “Gue tahu how much Max means to you. Trust me, gue dan Renata adalah yang paling paham di dunia ini. Itu sebabnya kita kasih tau elo. Lu harus bantu dia, no, kita semua harus bantu dia.”

Sebagai pria yang di cap “anak seni banget”, Max memang memiliki sifat yang unik, kepribadian yang nyentrik, dan mood swings yang cukup parah. Hanya Miso yang tahan berada di sampingnya, dibekali rasa cinta tak terhingga dan pemahaman yang konkrit dalam menghadapi Max. Remi juga tentunya, yang sudah terikat ikrar persahabatan dan hutang budi yang akan dibawanya selamanya.

Tapi mood swings dan keanehan sikap itu mulai menjadi-jadi selama beberapa bulan terakhir. Semua orang menyadarinya. Semua crew Torro and Ibanez mengeluhkan perubahan pada mood Max yang terlalu tak terprediksi. Kemarahan yang muncul tanpa sebab, komentar dan celetukan aneh di waktu yang tidak tepat, candaan yang bersifat sensitif, bahkan waktu-waktu dimana Max bisa hilang tanpa bisa dihubungi.

Pain in the ass, Renata menyebutnya.

Remi sebenarnya menyadari, tapi takut untuk mencari tahu. Meskipun sudah jelas semua tanda-tandanya. Max sering mengkhayal tidak jelas, kedua matanya merah, dan sangat jelas kalau ia kurang tidur. Remi pun sampai tidak ingin bertanya kepada Miso, meskipun seharusnya Miso adalah orang yang paling menyadari perubahan pada Max. Atau dia sudah tahu tapi berusaha menutupi.

Renata bercerita kalau ia pernah melihat Max memasukkan sebuah bungkusan ke dalam sepatunya, seakan-akan itu sesuatu yang perlu disembunyikan. Ketika Renata bertanya itu apa, Max langsung bersikap aneh, tertawa-tawa tidak jelas sambil terus berceletuk, “Cantik banget sih lo, Ren. Kalo gue nggak keburu sama Miso, gue udah gaet elu deh. Lu sama Jordan cuma sahabatan kan? Gak pacaran?”

Renata sempat mengira kalau Max kemungkinan sedang moody atau mungkin mabuk, karena besoknya, Max yang normal sudah kembali. Max menyapa Renata di kantor sambil menggandeng Miso, “Hey, good morning, Ren. Back to work ya…

Jawaban seakan-akan muncul ke permukaan dengan sendirinya, ketika salah satu photo editor dari Paradise Escape melaporkan sesuatu kepada Jordan. Anak editor itu baru saja tiba untuk membantu kru memindahkan aset elektronik Paradise Escape, ketika ia tidak sengaja melihat Max berpukul-pukulan dengan seorang pria tidak dikenal di parkiran mobil kantor tadi pagi. Hari itu masih pagi, jadi parkiran masih kosong dan belum ada yang tiba disana.

Pukul-pukulan mereka cukup intens, tapi yang jelas Max samasekali tidak terluka karena dia mengungguli lawannya. Begitu lawannya jatuh terkapar, Max langsung mengambil sebuah bungkusan yang berada di genggaman pria tersebut. Bungkusan yang sangat mencurigakan.

Si anak photo editor langsung berlari masuk sebelum Max melihatnya dan mengadu kepada Jordan barusan ini. Tiba-tiba terjawab semua pertanyaan yang ada. Max sudah menunjukkan gejala orang yang ketergantungan cukup lama. Justru mereka yang cukup bodoh untuk tidak menyadarinya.

“Taruhannya bukan cuma pertemanan lagi, tapi termasuk apa yang udah lo bangun selama ini, Rem. The Factory baru saja dibuka, apa yang akan terjadi menurut lo, kalo sampai tersebar berita kalau… Maximus- the second person di Torro and Ibanez, salah satu pendiri dari Anak-Anak Senar, terjerat kasus narkoba?”

Remi membenamkan wajahnya dalam kedua telapak tangannya.

Jordan memandanginya aneh sejenak, sebelum bertanya, “Atau sebenarnya lu sudah tahu selama ini, Rem?”

Remi menggeleng buru-buru, hampir terkesan membela diri, “Curiga, ya. Tapi… mungkin ada bagian dari diri gue yang enggan untuk percaya? Jadi nggak gue tindak lanjuti.”

“Oke,” Jordan mengangkat kedua tangannya.

“Jor, kita bicara lagi habis party malam ini ya, gue beneran banyak pikiran,” Remi berpaling kepada hardcase gitar yang baru saja tiba di kantornya hari ini. Gitar baru lagi. Secara finansial Remi memang sudah terbilang cukup bebas, tidak ada kebutuhan dasar atau keinginan sehari-hari yang tidak bisa dibelinya dengan susah payah. Tapi hanya ada satu benda yang masih memicu semangatnya dan membuatnya senyum-senyum seperti anak SMA yang sedang kasmaran.

Lihat selengkapnya