Malaikat Jatuh

Jesselyn Abdisaputera
Chapter #10

Apapun Untuk Teman

Max

“Kenapa dosisnya harus selalu ditambah untuk mendapatkan efek yang sama?” Max mengerang dan berusaha menghela napas perlahan. Ia melirik tangannya yang mulai bergetar-getar seperti tremor. Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuh dan matanya tidak bisa fokus.

Ia memandang sekelilingnya seakan untuk memeriksa kalau ada apapun yang bisa menolongnya, tapi juga untuk memeriksa kalau ada siapapun yang seharusnya tidak melihatnya.

Max berada di ruang kerjanya sendirian. Jam dinding besar di sampingnya menunjukkan pukul satu siang, dan suara jarum yang berdetik tiba-tiba terdengar begitu keras di telinganya.

Jantungnya berdebar dan dirinya kesulitan untuk berpikir jernih. Dengan sedikit usaha, ia mengeluarkan handphone dari sakunya dan menelepon seseorang, “Hey, gue… kayaknya butuh lagi… tolong gue ya, please….

__________

Niki, Miso, dan Renata

“Nanti agenda rapatnya apa aja ya?” Renata bertanya.

“Ide kolaborasi sama Boy William. Katanya mau office-tour. Terus, video Torro and Ibanez yang terbaru mau ajak Tohpati main bareng. Dan… Anak-Anak Senar hangout berikutnya mau diadakan di lounge kita, kita harus tentukan konten pembahasannya, dan bintang tamunya,” Miso menjelaskan.

Niki tersenyum, “Wah, seru banget, udah ada proyek!”

Baru seminggu di The Factory, Niki merasa sudah berada di nirwana yang ia impikan selama ini. Bertemu setiap hari dengan Remi dan semakin dekat. Check. Memiliki komunitas kerja yang sangat kreatif tapi tidak menuntutnya untuk serius dan formal setiap saat. Check. Tidak ada peraturan dresscode ketat yang selama ini membelenggunya. Check. Memiliki teman wanita, atau gank girlfriends yang samasekali tidak ada keinginan untuk panjat sosial atau menusuknya dari belakang (agar bisa merebut posisinya sebagai asisten Helena Vondrasta). Check.

Berjalan beriringan bersama Miso dan Renata sambil membawa beberapa gelas takeaway Kopi Kenangan untuk rapat nanti, Niki tersenyum lebar.

Miso tidak butuh waktu lama untuk menjatuhkan title nya sebagai orang HRD di depan Niki. Pada hari keduanya, Miso langsung, “Udahlah ya, santai aja sama gue. Gak usah pake ‘saya’ dan ‘anda’!” Pertemanan keduanya dengan cepat terjalin, dengan Miso yang penasaran alias kepo dengan behind-the-scene Stiletto dan diikuti oleh makan siang bareng setiap hari, kemudian pedicure bersama sehabis jam kantor selesai.

Kehadiran Renata juga justru memperlengkapi. Renata yang berstatus sebagai salah satu penyanyi di Torro and Ibanez sejak SMA, juga mendapatkan “ruang” yang penting di The Factory. Ia adalah bagian dari tim kreatif dan salah satu pendiri Anak-Anak Senar, walaupun tidak bermain gitar. Berbeda dengan figur Miso yang fierce, Renata justru terlihat lembut dengan wajah kekanak-kanakannya. Satu-satunya yang membuatnya terlihat seperti anak Torro and Ibanez adalah, kegemarannya memakai kaos-kaos rock band beserta ripped jeans, dan choker hitam yang sudah menjadi ciri khasnya.

Meskipun di The Factory ada banyak karyawan perempuan, Miso dan Renata sepertinya tidak punya rekan kerja wanita lagi yang dekat dengan mereka. Niki jadi merasa sangat spesial bisa langsung bergabung dalam lingkaran cewek-cewek ini, yang merupakan anggota tim pertama Remi.

Niki sudah mempelajari beberapa hal soal hubungan asmara kedua teman barunya. Max dan Miso adalah dua sahabat yang sudah belasan tahun saling mengenal, dan sudah enam tahun terakhir berpacaran. Sementara Renata adalah korban friendzone dari Jordan. Tidak seperti Miso dan Max yang sudah bahagia selama enam tahun terakhir dengan konsisten dan selalu adem-ayem tanpa putus, justru Renata dan Jordan adalah kebalikannya.

Tidak ada status, tapi tangan yang suka bergandengan itu tidak pernah putus. Hubungan mereka tidak ada nama, tapi keduanya selalu bersama. Meskipun Jordan sudah berkali-kali “jajan” di luar sana dengan berbagai tipe wanita berbeda, Renata selalu ada dibelakangnya, seakan menunggunya. Dan akhirnya, Jordan pun selalu kembali padanya.

Miso pernah berkata kepada Renata, “Lu sudah terlalu lama berdiri di belakangnya, sampai setiap kali dia menoleh kebelakang dia sudah tidak sadar ada lu. Dia pikir memang sudah sepantasnya lu berdiri disana, padahal tidak. Lu sedang menunggu, dan lo bebas pergi kapanpun.”

Niki jadi berpikir. Renata pasti sudah berkali-kali mempertimbangkan itu: meninggalkan Jordan dan melanjutkan hidup, cari yang lain. Pokoknya apapun itu agar tidak dipermainkan. Tapi mungkin Renata sudah terlalu lama berada di samping Jordan, dan meskipun tidak pernah menjadi siapa-siapa, posisi itu sudah nyaman baginya. Renata takut kehilangan Jordan.

Mungkin rasa takut kehilangan bisa lebih kuat daripada rasa sayang, dan dengan membayangkan harus kehilangan lah yang bisa membuatnya tidak pernah pergi.

Mereka bertiga berjalan masuk ke ruang rapat yang berada di lantai tiga. Renata dan Niki langsung mengeluarkan gelas-gelas kopi dari kantong plastiknya, sementara Miso langsung mengeluarkan agenda rapat hari ini dan menyusun tumpukkan kertas yang akan diberikannya kepada Remi.

Miso melirik jam. Sudah waktunya rapat dimulai.

“Hmm, Remi udah izin agak telat karena habis rapat sama anak-anak Paradise Escape… Jordan habis hangout sama anak-anak BLP, Max kemana ya?” Miso bergumam sendiri sambil mengeluarkan handphone nya untuk menelepon Max.

Niki buru-buru berkata, “Ah, tadi sebelum beli kopi gue pas-pasan sama dia kok. Dia bilang mau santai di kantornya,”

Miso mengangguk, “Oh, oke, bisa panggilin nggak? Gue mau siapin bahan rapat dulu,”

Niki langsung mengangguk. Ia langsung menaruh gelas kopi terakhir nya ke atas meja, membiarkan Renata menyusunnya sesuai tempat duduk.

Sambil berjalan keluar ruangan rapat, Niki kembali menatapi ruangan-ruangan yang berada di lantai 3. Remi memang sengaja membuat banyak ruang rapat di lantai 3, agar semua tim yang bertugas bisa dengan leluasa melakukan pertemuan kapanpun tanpa harus berebutan tempat. Sekalian untuk menghemat budget rapat, mereka tidak selalu harus makan atau ngopi di luar.

Setelah melewati beberapa ruang rapat kosong, Niki langsung berdiri di depan ruang kantor pribadi Max. Pintu besar itu berwarna merah, sangat kontras dengan wallpaper biru navy yang menghiasi tembok. Sebagai second person nya Remi, Max memang mendapatkan ruang kantor yang cukup besar dan mewah.

Niki mengetuk pintunya perlahan, “Kak Max? Halo? Yuk, rapat.”

Tidak ada suara balasan.

Niki mengetuk untuk kedua kalinya, namun sama, tidak ada jawaban. Niki mengerutkan keningnya kebingungan, “Apa dia ke toilet kali ya?”

Meskipun menyadari kemungkinan tersebut, Niki sudah terlanjur dilingkupi rasa penasaran. Toh tidak ada salahnya mengecek dua kali. Niki memberanikan diri untuk memegang gagang pintu kantor ruangan Max sambil menimbang-nimbang. Apakah ia akan terkena masalah dengan mengintip ruangan Max?

Baru saja Niki hendak membuka, dirinya dikagetkan oleh sebuah suara yang punya dua kuasa atas dirinya. Yang satu, membuat dirinya agak takut dan selalu siap siaga. Yang kedua, mampu membuat detak jantungnya berdebar tak keruan.

“Nik? Ngapain?”

Niki menoleh dan menemukan Remi sedang menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Bibir Niki nyaris kelepasan tersenyum. Remi terlihat begitu keren dengan kaus stripes hitam putih, dipadu dengan luaran kemeja hitam yang lengannya digulung sampai ke siku. 

“A-aku mau manggil Kak Max… harusnya kan kita udah mulai rapat. Tapi gak di jawab-jawab!” Niki menjawab buru-buru dan menyesal karena nada suaranya samasekali tidak terdengar anggun.

Air muka Remi berubah sedikit, kemudian mendekati pintu yang ada di belakang Niki. Remi kelihatan sedang menerka-nerka, sementara Niki malah tenggelam dalam aroma parfum Remi yang menurutnya, sangat wangi.

Remi menengok ke arah Niki, “Kamu balik aja ke ruang rapat. Aku yang panggil Max, nanti kita nyusul.”

Niki mengangguk, meskipun kelihatan ragu, “Oh, iya, oke… yaudah.”

Ia langsung berjalan pergi untuk kembali ke ruang rapat seperti yang diminta Remi, tapi sesuatu membuatnya menoleh ke belakang. Dilihatnya Remi membuka pintu perlahan, sesempit mungkin, membuat tidak ada ruang bagi Niki untuk mengintip.

Niki masih tertegun ketika pintu tertutup. Entah apa yang membuatnya agak nekat, ia tidak langsung kembali ke ruang rapat, malah menunggu agak lama. Kalau Max memang ada disana, pasti sudah terdengar seruan Remi atau sapa tawa keduanya yang selalu terdengar sampai keluar. Tapi tidak ada suara yang terdengar, dan Remi tidak keluar-keluar.

Niki ingin memeriksa, tapi ia takut salah.

__________

Lihat selengkapnya