Max, belasan tahun yang lalu….
Ada banyak sekali pertanyaan di benak Max yang belum terjawab. Kemarin malam, Joshua datang ke rumahnya, muka berdarah dan beberapa bagian tubuh lebam. Ia hanya membawa sebuah tas gitar jelek yang berisikan sebuah gitar listrik yang sudah agak hancur. Beberapa bagian tubuh gitarnya sudah patah, tuning nya hampir copot semua, dan lepas-lepas senarnya.
Ayahnya, Eros hanya menyentuh pundaknya dan berkata, “Jangan ajak dia bicara dulu,”
Cukup itu saja yang membuatnya paham. Artinya Joshua sedang dalam keadaan sulit yang membuatnya tidak bisa berkata-kata. Karena Max ingat, ketika pertama kali diberitahukan kalau ibunya sudah meninggal, ia langsung terdiam dan menangis tanpa suara. Ketika Opa dan Omanya hendak menenangkannya, yang keluar dari mulut ayahnya hanya, “Sudah, Pa, Bu, biarkan dia. Jangan ajak dia bicara dulu.”
Seakan-akan ayahnya bisa memahami dengan memberikannya ruang. Max selalu kagum kepada ayahnya sejak itu.
Hari itu, Max menemani Joshua bolos sekolah. Joshua samasekali tidak beranjak dari tempat tidurnya, dan tampaknya ayah tidak mempermasalahkan dirinya menemani Josh. Miso sudah mengiriminya pesan berkali-kali, menanyakan mengapa mereka berdua tidak masuk sekolah, tapi Max bahkan bingung mau menjawab apa.
Max hanya duduk di samping Josh dan berkata, “Gue gak tahu apa yang barusan terjadi, dan gue gak harus tahu. Tapi apapun itu, gue janji akan selalu ada di samping lo, Josh. But, again, no homo ya,”
Joshua tidak menjawab, dan Max juga sudah terlalu memahaminya sampai tidak menunggui jawaban. Sedekat itulah ikatan mereka.
Siang itu, tiba-tiba ayahnya, Eros kedatangan tamu. Max awalnya tidak peduli dengan tamu tersebut, tapi percakapan yang terdengar patah-patah dan canggung itu membuatnya penasaran. Ia mengintip keluar dari kamarnya, dan melihat ayahnya sedang berbicara dengan…. ibunya Joshua.
Max berpikir kalau ibunya Max, Tante Risa, akan segera menjemput Joshua. Ia baru saja hendak membangunkan Joshua, ketika tiba-tiba Tante Risa menangis.
“Aku nggak tahu kenapa Darius bisa jadi begini, Mas,” Tante Risa mengeluh, dan ayahnya, Eros mengangguk sambil terus mendengarkan dengan seksama.
Max nyaris terkena serangan jantung. Bersahabat dekat dengan Joshua memang sudah lama, tapi ia tidak ingat pernah memperkenalkan ayahnya kepada Tante Risa. Joshua sangat sering main ke rumahnya untuk bermain gitar dan berguru kepada ayahnya. Keduanya memang sangat dekat. Max pun sesekali main ke rumah Joshua dan bertegur sapa dengan ibunya. Tapi kalau mereka sebenarnya saling mengenal, ia tidak pernah tahu.
“Jadi kapan Darius berencana menjemput putranya?” Eros bertanya dengan tenang, seakan sedang berbicara kepada adik yang sudah lama dikenalnya.
“Aku yang kesini jemput, Mas!” Risa berseru disela isakannya, “Mana mungkin orang sekeras Darius mau menginjakkan kaki ke rumahmu?”
Eros diam untuk beberapa saat, “Masakah dia gak mau kesini? Bahkan untuk jemput anaknya?”
Giliran Risa yang terdiam. Memang ada sejarah lama yang sudah terlanjut terukir diantara mereka semua. Sesuatu yang tergores dan terlukis tanpa sengaja, tapi sudah membentuk jalan hidup yang mereka alami masing-masing.
“Pokoknya Joshua akan terus disini, dirumahku. Suruh Darius yang kesini jemput.” Nada bicara Eros terdengar mantap, tidak bisa diganggu gugat.
Risa menatapnya, “Dimana Josh?”
“Tidur seharian. Di kamarnya Maximus.”
Risa menghela napas, kedua matanya menatap lurus keatas, seakan sedang mengingat sesuatu yang tersimpan dalam di hatinya, “Mana kusangka anak-anak kita bisa akhirnya ketemu dan berteman kayak kita semua dulu ya, Mas… Gak direncanakan…”
“Alam ini kan memang bekerja dengan cara yang misterius, Ris. Mana ada yang tahu?” sahut Eros sambil melipatkan kedua tangan di dada.
Max nyaris tidak mempercayai apa yang barusan di dengarnya. Ibunya Josh dengan ayahnya? Teman lama?
“Misterius ya, memang,” Risa tertawa kecil sambil mengelap wajahnya, “Sama misteriusnya ketika Tuhan ngambil Eleana dari kamu ya. Istrimu, sahabat terbaikku. Itu aku juga nggak ngerti.”
Eros diam saja, tapi wajahnya berkata lain. Air mukanya yang biasa terlihat santai, bahkan konyol, terlihat sendu dan penuh lara. Max yang masih menguping, mendadak merasakan kedua matanya berkaca-kaca.
Eleana.
Eleana adalah nama ibunya. Cinta pertama ayahnya, yang sewaktu kuliah membentuk sebuah band bernama Adiwangsa, yang artinya ‘mulia’ dalam bahasa Sansekerta. Eros sering bercerita kepadanya, bahkan pernah kepada Joshua. Arti nama Eleana adalah ‘jawaban Tuhan’. Bertemu dengan wanita itu seperti mendapatkan jawaban Tuhan, kata ayahnya. Dengan suara yang merdu dan kepribadian yang enerjik, Eros jatuh hati kepada Eleana dalam pandangan pertama.
Keduanya langsung menikah setelah lulus kuliah, dan Max pun lahir. Eros bercerita kalau dulu ia suka bercanda kepada Eleana, agar mereka bikin anak sebanyak mungkin, supaya bisa membuat band keluarga. Tapi keinginan tersebut tidak pernah tercapai. Karena apa yang dianggap ayahnya jawaban Tuhan itu, juga menjadi apa yang diambil cepat oleh Tuhan.
“Sudahlah, nggak ada gunanya lagi melihat kebelakang,” suara Eros memecah keheningan, “Sekarang sudah bukan giliran kita, tapi anak-anak kita. Puteramu, Joshua, sama anakku, Max. Tanpa kita rencanakan, mereka bisa bertemu dan sahabatan, sama-sama suka gitar lagi. Seakan-akan kita semua dulu dipertemukan supaya mereka bisa berteman.”