Remi
Pindahan rumah atau pindahan kantor memang selalu merepotkan, tapi Remi sudah terbiasa. Sejak dirinya menumpang selama dua tahun di kediaman keluarga Max, Remi memutuskan untuk keluar dan mencari tempat kos untuk dirinya sendiri. Bermodalkan gaji yang diterimanya dengan bermain untuk sebuah band di cafe, dan sedikit honor yang mulai didapatkannya dari YouTube channel, Remi nekat keluar.
Tahun-tahun berikutnya terisi dengan Remi yang setiap tahun selalu menaikkan level dari kelas tempat tinggalnya. Dari kos-kosan di perumahan, kemudian naik kelas ke kos-kosan di perumahan elit, kemudian menyewa sebuah apartemen studio dan berpindah-pindah tempat sewa, sampai akhirnya ia mampu membeli apartemennya sendiri di daerah Jakarta Barat.
Remi memarkir mini cooper nya di basemen, kemudian melangkah keluar dari mobilnya. Menghela napas kelelahan, Remi naik ke elevator menuju lantai apartemennya sendiri.
Ponselnya berdering begitu ia masuk ke dalam apartemen. Dilihatnya nama pemanggil. Ibunya.
Remi tersenyum kecil sebelum mengangkatnya, “Hey, Mam?”
“Josh!”
Sesuatu di benaknya seperti tertendang begitu mendengar nama depannya- atau nama kecilnya dipanggil dengan begitu bersahabat. Tapi sensasi aneh tersebut buru-buru ditepisnya.
“Mama baru sempat nonton di YouTube loh, waktu kamu di interview sama presenter cantik itu lho, Anastasia!” seru ibunya dari seberang dengan penuh semangat. Meskipun Remi sudah sering mendengar kata-kata pujian atau seruan semangat ketika ia baru menyelesaikan sebuah pekerjaan, tidak ada yang membuatnya lebih lega daripada yang datang dari sang ibu, Risa.
Remi berjalan menuju meja makan untuk menaruh dompet dan kunci mobilnya, “Terus, gimana menurut Mama?”
Terdengar desahan kesal, “Kamu kok kayak godain presenternya sih? Kamu tuh umurnya jauuuuh banget dibawah dia loh, cari kek yang seumuran atau lebih muda…”
Nada suara tersebut berubah drastis, diikuti oleh deretan nasehat soal wanita dan kriteria sempurna dari calon pendamping hidup. Remi sudah bosan mendengarnya, tapi ia tidak pernah menyela Risa.
Sambil menunggu Risa berhenti berkicau soal misteri menemukan belahan jiwa untuk Remi yang ia sendiri tidak tahu harus mencari kemana, Remi melepaskan kemejanya dengan satu tangan, dan tersisa kaos stripes yang dikenakannya sebagai dalaman.
Ia menatap langit Jakarta yang gelap dari jendela ruang tamunya yang besar bersama dengan gemerlap dari lampu lalu lintas yang terlihat sibuk. Kadang Remi melamun lama. Ia berpikir, bagaimana mungkin dirinya bisa merasa penting di dunia yang sangat sibuk ini? Manusia begitu banyak, begitu sibuk, dan seringkali begitu… rumit. Ada atau tidak ada dirinya tidak akan mengubah apapun di dalam dunia ini.
“Jadi kapan Mama bisa datang ke kantor baru kamu?” Suara di seberang terdengar lebih keras, seakan-akan sudah mengulanginya berkali-kali.
“Ng,” Remi baru terbangun dari lamunannnya, tapi berpura-pura sedang sibuk berpikir agar tidak dimarahi, “Gimana kalau… hari Rabu, minggu depan?”
“Kamu nggak sibuk?”
“Sibuk mah selalu, Mam,” Remi membuat nada menggoda, “Tapi buat Mama… bisa lah!”
“Halah, pret,” suara gerutu yang khas itu terulang dan Remi jadi tertawa keras.
Keduanya kembali terlibat dalam percakapan seputar pindahan, kantor baru, dan pekerjaan sehari-hari. Remi berjalan masuk ke dalam kamar tidurnya dan menyalakan AC.
“Tenang, aku gak ada jadwal kok, jadi datang aja, ya?” ucap Remi sambil duduk di atas kasurnya. Di hadapannya, ada sebuah kotak akrilik besar bening yang menyimpan sebuah gitar tua, yang sudah agak hancur.
Gibson ES 165 yang dulu dibanting-banting ayahnya, yang kemudian dipasang-pasang kembali menjadi satu oleh Om Eros, namun tetap rusak dan tidak bisa ia mainkan.
Setiap kali memandang benda itu, hati Remi berubah pahit. Tapi secara paralel, perasaan pahit itulah yang memberikannya kekuatan untuk bisa terus maju.
“By the way, Papa apa kabar, Mam?” Remi bertanya, tiba-tiba merasa penasaran dengan keadaan orang itu.
“Hmm, tumben kamu nanyain?” Ada nada terkejut dari Risa, sebelum menjawab, “Kenapa? Kamu mau ajak Papa kamu ke kantor baru?”
Remi nyaris mendengus, “Ya, mana mau dia? Aku mah hayuk-hayuk aja…”
Keduanya terdiam sejenak, tapi bukan untuk mencari kata-kata, melainkan karena sibuk dengan pemikiran mereka sendiri.
“Lagi stress dia, Rumah Foto lagi kehilangan banyak job,” Risa akhirnya menjawab, “Banyak client nya katanya lebih suka konsep Paradise Escape, katanya lebih fresh, lebih millenials!”
Remi terdiam.
Rumah Foto adalah bisnis ayahnya yang sudah ditekurinya dari tahun-tahun awal pernikahannya. Ayahnya, Darius, memang seorang fotografer. Rumah Foto menyediakan jasa foto passport sampai prewedding. Tidak jauh berbeda dari Paradise Escape. Kadang Remi berpikir mungkin itulah sebabnya ia bisa punya ide membangun bisnis serupa.
“Masa sih? Gara-gara aku masa?”
“Iya, Josh, banyak client udah nego, tapi tiba-tiba batal katanya udah deal sama yang punyamu itu,” Risa menjawab lagi, “Tapi Papamu senyam-senyum aja sih, terus bilang ke mereka kalau yang punya Paradise Escape itu anaknya!”
Remi tersenyum sedikit. Satu, karena tumben-tumbennya sang ayah memujinya secara tidak langsung. Kedua, ia membayangkan bagaimana reaksi kesal partnernya, Reza, karena Paradise Escape lebih dikenal sebagai miliknya seorang. The-Sole-owner.
“Yah, tapi mau begimana, studio bapakmu udah tua juga. Idenya ya begitu-begitu aja, gak ada anak muda yang bisa bantu mikirin. Beda sama punya kamu lah,” Risa lanjut berceloteh, seakan ada unek-unek yang sudah mengganjal di hatinya, “Beda cerita kalau kamu yang lanjutin bisnis Papamu, kan pasti lebih ena-“
“Udahlah, Ma, gak ada gunanya lagi dibahas-bahas,” Remi menyela, agak tidak tahan, “Kayak seakan-akan aku aja yang mutus hubungan,”