Remi
Kepala Remi serasa mau pecah.
Hari itu mungkin sudah resmi menjadi hari pertama Remi mengalami “bad day” semenjak kepindahan kantornya ke The Factory. Pagi hari sudah diganggu oleh tim Torro and Ibanez yang mengejar-ngejar deadline video baru yang seharusnya sudah selesai, tapi ternyata audio dari Jordan mengalami gangguan yang memaksanya harus merekam ulang permainan gitarnya.
Jam makan siang sudah dirusak oleh Renata dan tim kreatif nya yang menekannya untuk segera memutuskan tanggal fellowship Anak-Anak Senar berikutnya, meskipun Tohpati sudah setuju untuk mengisi di acara Guitar Talks mereka. Remi tidak masalah menentukan tanggal. Tapi, begitu sebuah acara besar sudah memiliki tanggal, ia akan selalu disibukkan dengan perincian acara dan acara tersebut akan menuntut fokusnya selama berminggu-minggu.
Remi berpikir pada sore hari ia bisa ngopi santai sambil berleha-leha sedikit, tapi barusan Reza baru saja menyodorkannya semua kandidat yang dimilikinya untuk segera menempati posisi Operational Manager dan Senior Photo Editor di Paradise Escape. Remi jadi agak sedikit menyesal ingin ikut campur soal ini. Tapi, kalau kandidat yang jabatannya tinggi itu samasekali tidak “klik” dengan Remi, ia akan merasa sangat kesulitan berkomunikasi pada saat reporting.
“Kenapa, Rem? Stress amat muka lo,”
Remi otomatis mengangkat dagunya, dan langsung nyengir begitu melihat Max sedang berjalan masuk ke kantor pribadinya. Max terlihat segar, dan kedua tangannya menenteng se-box pizza yang langsung mencuri perhatian Remi.
“Oh, I love you, Max!” seru Remi begitu Max membuka boks pizza tersebut di depan mukanya.
Max ikut tertawa, “Gimana? Udah liat calon-calon kandidat dari Reza?”
Sewaktu Reza mengirimkan file tersebut kepada Remi, Max memang ada disana dan sempat ikut berdiskusi.
Remi menggelengkan kepalanya, “Belom. Mereka semua looks so competent sih. Yang satu, adalah pentolannya Click Shoot Photography, tapi gue denger kabar kalau dia dulu masuk kesana gara-gara di hijack dari Lense Team. Bayangin deh, orang gak setia kayak gitu. Ditawarin gaji lebih tinggi dikit, langsung pergi. Gak setia ini, dia bisa aja loh di hijack sama company lain, terus pas cabut bawa anak team nya. No way.”
Max tertawa, “Value loyalty above anything else, ya?”
Remi mengangguk, “Iyalah! Menurut lu gimana kita selama ini membangun tim kita susah-susah? Orang banyak yang datang dan pergi… tapi gue anti banget lah sama sistem hijack-hijack-an!”
“Terus, yang lain gimana? Ini kan baru satu…”
Remi melanjutkan dengan penuh kekesalan yang membuatnya malah kelihatan berapi-api, dan Max menikmatinya.
“Terus yang satu mukanya aneh, kayaknya bakalan awkward kalo disuruh jadi project leader dan bikin team dari scratch. Yang terakhir, kerjanya di lapangan bagus, tapi menurut gue pengalaman mengeditnya masih kurang, sementara kriteria terakhir yang Reza mau adalah, dia harus menjadi senior photo editor juga,”
Max menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kenapa sih harus ribet banget kebutuhannya?”
“Reza dan gue mau rekrut tim sesedikit mungkin. Jadi yang masuk harus bisa handle two jobs at once.” jawab Remi mantap.
“You’ll never know sampe lu kerja langsung sama orangnya. Itu kan alesannya lu langsung kasih Niki probation,” sahut Max sambil berjalan kecil menuju kulkas kecil yang terpasang di ujung ruangan kantor Remi.
“Niki berbeda, Max,” bela Remi, “Dia udah pernah jadi asistennya Helena Vondrasta. Gue justru bodoh kalo gak langsung rekrut dia. Gaji dia selama probation aja gak ada setengahnya sama yang dia dapat ketika full-time disana,”
Max terkekeh. Ia membuka kulkas Remi, mengeluarkan dua gelas air mineral dari sana dan membawanya kembali ke meja Remi.