Helaian rambut hitam yang terjatuh dari depan pundak ketika kepalanya menoleh kebelakang.
Sepasang mata kecokelatan yang terbuka lebar ketika menangkap sosok dirinya yang baru saja hadir, untuknya.
Suara tawa kecil, yang begitu ringan, dengan lembut menyapanya, seakan menawarkan dirinya sebentuk persahabatan, sewujud keakraban.
Tidak ada kata yang muncul di benak Remi untuk bisa mendeskripsikan apa yang baru saja ia lihat dan apa yang persisnya ia rasakan. Yang ia tahu pasti, kepalanya, ralat, dunianya seperti berputar. Semua perasaan ini muncul pada pandangan pertama. Remi ingin sekali mengatai dirinya aneh, atau absurd, abnormal. Tapi kemunculan impresi ini di dalam hatinya sendiri sudah cukup dibilang ajaib, bahkan gaib. Atau luar biasa.
Ia ingin terjun ke atas ranjangnya. Ia ingin tidur.
__________
Remi, Max, Miso, Niki
Ruangan kerja Max yang kecil mendadak terasa penuh begitu diisi oleh beberapa manusia. Max sendiri, duduk di mejanya sambil menatapi Eleana dengan pekat sedari tadi. Miso dan Niki, berdiri berselebahan di sebelah meja Max, menatapi Eleana seperti mempelajari sebuah predator yang akan hidup berdampingan di lingkungan mereka. Tapi metafora tersebut memang sempurna untuk mendeskripsikan apa yang keduanya rasakan dan… takutkan.
Remi mengambil tempat di sebelah Max, duduk di atas satu bangku cadangan- dirinya menghadap langsung Eleana, yang duduk di di kursi tamu. Meja kerja Max menjadi pembatas bagi mereka semua.
“Eleana Adiwangsa…” Remi mengetesnya di bibir.
“Ya,” gadis itu tersenyum, malah berpikir kalau Remi sedang memanggilnya.
Max tertawa kecil, menyadari kecanggungan yang mengudara. Ia sekali lagi memperhatikan figur wanita di hadapannya. Tubuhnya cukup tinggi dan atletis, kelihatannya ia sering berolahraga. Kulitnya putih pucat, agak terlalu putih untuk selera Remi. Max tahu, Remi punya kecenderungan menyukai gadis yang kulitnya “hitam manis”. Eleana terlalu putih untuk tipenya. Tapi, sikap Remi pada saat ini menunjukkan sebaliknya. Malahan, menunjukkan sesuatu yang Max sudah nyaris tidak ingat. Remi yang malu-malu. Remi yang canggung. Remi yang tegang di hadapan wanita.
Postur tinggi Eleana semakin dipertajam dengan raut wajahnya yang agak berkesan keras, disertai dengan pakaiannya yang serba gelap. Ia menggunakan kaus abu-abu dengan lambang ACDC, dilengkapi oleh jaket bomber yang sepertinya sudah tua. Beberapa tindikkan di telinganya membuatnya terlihat seperti rocker. Yang memberikan kontras pada penampilannya adalah, ternyata nada suaranya begitu lembut, ia pun mudah tersenyum ramah. Dan warna lipstiknya terlalu muda untuk memiliki kesan gothic.
Max dan Remi tidak sadar kalau mereka berdua menilai gadis yang ada di hadapan mereka terlalu lama. Suara dehaman Miso yang membangunkan keduanya.
“Saya pikir yang akan interview saya adalah tim Human Resource dari Paradise Escape?” Eleana tiba-tiba bertanya. Nada suaranya ringan, tapi ada sedikit kebingungan disana.
Remi tiba-tiba dikontrol oleh rasa gemas yang muncul mendadak.
“Kamu gak mengharapkan kita samasekali?” Remi balik bertanya. Menantang.
Eleana menggelengkan kepalanya, tanpa senyum, “Bukannya begitu. Tapi, kalian semua kan.. member Torro and Ibanez. Kecuali… satu.”
Mata Eleana berhenti kepada Niki, yang tidak dikenalinya sebagai anak Torro and Ibanez.
“Saya asisten pribadinya Remi,” Niki seakan menancapkan posisinya disana kepada Eleana, tapi tidak digubris wanita itu.
“Saya jadi merasa kayak direkrut buat masuk tim nya Torro and Ibanez, haha,” Eleana menambahkan. Samasekali tidak ada bau-bau tegang dari dirinya. Remi agak kecewa, padahal ia sudah memberikan beberapa tatapan maut nya yang biasa membuat lawan jenis membuang muka karena malu.
“Betul sih. Memang seharusnya tim Paradise Escape yang interview kamu, tapi… sambil nunggu partner saya datang, kami yang nanya-nanya nggak apa-apa, kan?” Remi bertanya.
Eleana hanya mengangguk.
“Apa yang membuat kamu tertarik meng-apply ke Paradise Escape?” Remi bertanya. Pertanyaan formalitas, tapi sejujurnya ia ingin tahu jawabannya.
Eleana langsung menjawab, “Saya tertarik banget menjadi bagian dari The Factory. Menjadi bagian dari Joshua Remi’s team.”
Ketegangan dirasakan Miso dan Max. Penggunaan nama “Joshua” sudah dilakukan sebanyak dua kali, tapi mereka tidak menegur karena Remi sendiri tidak kelihatan terganggu.
“Kenapa?”
“Berdirinya The Factory nggak diragukan sudah menggerakan movement kreatif di lingkungan kita. Dalam segi musik, kemudian dunia fotografi. Saya memang sudah lama bekerja di bidang ini, tapi saya nggak pernah merasa menjadi sebuah bagian dari movement besar. Kalau saya bergabung di Paradise Escape, kayaknya seperti masuk ke dalam penjelajahan baru. Kayak petualangan, meskipun bisa dibilang saya gambling.”
Niki terperangah. Jawabannya sama persis dengan dirinya ketika Remi mewawancarainya. Remi begitu senang ketika seseorang percaya kepadanya, memutuskan untuk ikut dengannya. Perasaan tidak nyaman itu muncul lagi benak Niki, dengan hadirnya Eleana.
Remi mengajukan beberapa pertanyaan lagi yang bersifat formal, perihal jabatan Eleana sebelumnya, pengalaman bekerja dan daftar project serta semua kolaborasi yang pernah dilakukannya. Semuanya terdengar begitu sempurna.
“Oke, soal beginian mah gak usah ditanya,” Remi menghela napas panjang, “Tinggal kamu diberikan test. Kamu harus mengedit beberapa foto yang akan diberikan, dalam kurun waktu satu jam. Nanti saya dan Reza yang akan secara pribadi periksa.”
“Oke, memang begitu kok harusnya.” Eleana mengangguk.
Remi tiba-tiba merasa kehabisan topik. Reza belum datang, dan ia tidak tahu harus melanjutkan dengan apa.
Tiba-tiba Max yang membuka pembicaraan, “Kamu… orang mana, Eleana?”
Eleana menoleh ke arah Max, tersenyum, “Bapak orang Surabaya. Ibu orang Jakarta. Tapi seumur hidup di Jakarta kok.”
“Tinggal dimana?”
“Casta Diva Apartemen. Aku anak barat.”
Remi hampir melompat terkejut. Apartemen itu sangat dekat dengan apartemennya sendiri. Ia tidak paham mengapa fakta itu mampu membuatnya seakan ingin meloncat.
“Meskipun kamu masuk kesini untuk join Paradise Escape, kamu pernah nontonin YouTube channel nya Torro and Ibanez, nggak?” Max bertanya dengan penasaran. Dirasakannya pandangan aneh dari wajah Miso, tapi entah mengapa ia merasa bisa mengurusnya nanti.
Eleana tertawa kecil, “Oh, jelas dong! Siapa yang gak tahu Remi, Max, dan Miso of Torro and Ibanez? Aku malahan tahu sejarah nama grup kalian…”
“Mm, oh ya? Gimana ceritanya?” Miso menantang tiba-tiba.
Eleana menoleh ke arah Miso, dan menjawab, “Waktu kalian SMA, kalian memulai dengan nama channel Joshua & Friends. Tapi kemudian Remi pengen seriusin dan kalian malah menggabungkan nama gitaris favorit nya Miso, Ray Torro, dengan merk gitar yang dikoleksi oleh Max, Ibanez.”
Miso mengangguk pelan, takjub, “Wow, kamu bisa tahu ya…”
“Kalian pernah jawab kok di salah satu video Q&A kalian, tapi udah lama sih,” Eleana tersenyum kepada Miso, “Tapi aku suka banget. Meskipun front man kalian adalah Remi, tapi nama group kalian dibentuk dari apa yang disukai oleh Max dan Miso… Seakan-akan imbang semuanya,”
Max mengangguk, “Wow, seneng deh dengernya.”
Jawaban Eleana yang menghibur, terutama dari cara gadis itu tersenyum, menjelaskan sesuatu dengan antusias, telah menjadi lipuran sendiri bagi Remi.
Pintu tiba-tiba terbuka tanpa diketuk, dan semuanya kontan menoleh ke arah pintu. Terlihat Reza menengok ke dalam, dengan raut wajah agak panik.
“Sorry, gue denger anak yang mau di interview nya sudah datang ya?” tanya Reza sambil perlahan masuk ke dalam ruangan. Mata nya yang barusan celingak-celinguk langsung terpaku kepada wanita di hadapannya.
Eleana dengan santai tapi terlihat begitu anggun, beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Reza. Eleana mengulurkan tangannya untuk berjabatan. Reza hanya terdiam beku menatapnya, tidak bergerak. Terpesona.
Remi dan Max ingin tertawa.
Miso dan Niki ingin mencekik perempuan baru itu.