Malaikat Jatuh

Jesselyn Abdisaputera
Chapter #18

Kaleb dan Karel Kesatria

Kuncuran air hangat yang jatuh dari shower sudah membanjiri kepala dan tubuh Remi untuk waktu yang lama. Remi melamun. Terlalu banyak hal yang terjadi, yang sudah membuat fungsi otaknya terasa melambat, dirinya tidak bisa mencerna apapun.

Semalaman ia tidak bisa tidur.

Ia mendesah pelan, agak merasa bodoh ketika kembali mengulangi adegan-adegan kejadian yang baru saja terjadi, di dalam pikirannya. Dirinya yang tiba-tiba terdorong untuk mencium Eleana, dan ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Seumur hidupnya, setiap kali Remi mencodongkan wajahnya kedepan seorang gadis, reaksi yang didapatkanya selalu kedua mata yang terpejam dan semburat merah yang timbul di pipi. Mana pernah Remi sampai didorong dan dipermalukan seperti itu.

“Sialan,” ia kembali mendesah.

Dimatikannya keran shower, dan ia beranjak keluar sambil handukkan. Kemudian tiba-tiba, tanpa di kontrolnya, kepalanya memutar adegan berikutnya. Ketika Niki menamparnya keras-keras, sebelum berlari meninggalkan dirinya sendiri di atas balkon. Seperti orang bodoh. Seperti seorang pecundang.

Remi reflek menyentuh pipi kirinya. Tamparan Niki terasa sakit, dan Remi masih mengingat sensasi panas yang timbul.

Diliriknya jam kecil yang ada di dekat wastafel menunjukkan pukul delapan pagi. Ia mandi agak lebih lama dari biasanya.

Remi mempertimbangkan untuk tidak usah mengantor samasekali. Tapi Miso pasti marah-marah. Sehari setelah event, mereka memang selalu mengadakan evaluasi bersama semua tim yang menjadi panitia. Itu sudah menjadi budaya kantor mereka. Kedua, Remi sudah ngotot dari berhari-hari yang lalu, kalau tim Paradise Escape harus menyelesaikan semua editan foto acara semalam pada hari ini, maksimal sebelum jam bubaran kantor. Lucu kalau tiba-tiba ia mengeluh sakit. Karena Remi tidak pernah sakit, dan sekalinya ia sakit, ia tetap selalu mengantor.

Kemudian muncul satu perasaan aneh. Ketika Eleana mendorongnya. Perasaan tertolak yang tumben-tumbennya merasa agak melankolis. Remi sadar kalau ia baru saja bawa perasaan, atau istilah anak muda sekarang, “baper”.

Tiba-tiba ia ingin memperbaiki semuanya dengan Eleana. Meminta maaf, kalau misalnya gadis itu merasa tersinggung dengan usahanya semalam.

Remi ingin berlari cepat-cepat.

__________

Remi

Hatinya kembali berdegup kencang ketika dilihatnya mobil Niki sudah terparkir di tempat parkir favoritnya. Dia ngantor, batin Remi dalam hati. Sempat tersirat di dalam hatinya, mungkin saja gadis itu juga ingin kabur untuk sementara. Tapi tidak. Ia datang kerja hari ini. 

Selama sedetik Remi merenungkan bagaimana ia harus menghadapi Niki, tapi kemudian pikirannya terbuyarkan ketika ia melihat mobil lain yang terpakir tidak jauh dari sana. 

Honda Jazz hitam milik Eleana.

Batin Remi berdesir. Ia langsung cepat-cepat memarkir mobilnya. Melirik jam dari arlojinya, Remi tahu ia sudah terlambat. Ia sudah membayangkan Reza akan mengoceh besar, karena jadwal utama setiap pagi- yang sudah disisihkan hanya untuk tim Paradise Escape, akan kacau semuanya.

Remi setengah berlari, mempercepat langkahnya untuk mencapai lobby. Tapi rasa tegang mulai melingkupinya pada saat yang sama.

Ketika ia masuk ke area Paradise Escape, ia agak terkaget karena suasana ruangan agak sepi. Semua karyawan berada di tempatnya, bekerja seperti normal, tapi tidak ada celotehan, seruan, atau tawa berisik yang biasa mengisi udara.

Remi melirik kiri dan kanan, beberapa karyawannya memandang kearahnya bingung.

“Pak Remi, nggak ke ruangannya Pak Reza?” Aldo, salah satu anak magang bertanya kepadanya, “Daritadi sudah ditungguin loh. Tumben terlambat.”

Remi menatap Aldo bingung, “Hah? Kenapa di ruangannya Reza? Terus… Eleana dimana, kamu sudah lihat?”

Sebelum Aldo dapat menjawab, Eleana muncul di hadapannya tiba-tiba, seperti hantu. Remi mundur selangkah, reflek. Ia memandangi Eleana. Gadis itu terlihat sama, terlihat normal. Ia menggenakan sweater lengan panjang, sebuah merchandise dari Reputation Stadium Tour nya Taylor Swift, diperlengkapi dengan lengging hitam dan sepasang sneakers.

Remi menelan ludah.

“Kamu…” Eleana tampak mempelajari Remi, “Lupa ya?”

“Hah?”

“Hari ini kamu ada janji ketemu sama Duo Kesatria… Kamu yang minta pagi…” 

Remi merasa otaknya ditarik naik ke atas langit, lalu terjatuh dan masuk lagi ke dalam tempurung kepalanya. Ia benar-benar lupa. Ia sendiri yang secara khusus meminta Duo Kesatria untuk datang sehari setelah acara Anak-Anak Senar. Bagaimana mungkin ia bisa pelupa begini? Tapi ia baru sadar, kalau setiap malam sebelum ia tidur, Niki selalu mengiriminya pesan yang berisi rincian jadwalnya untuk esok hari. 

Niki tidak mengiriminya semalam, tapi Remi tahu ia tidak bisa menyalahkannya. Kejadian semalam terlalu rumit.

“Aku lupa, sori banget,” Remi mengangkat kedua tangannya pasrah.

Eleana menaikkan kedua bola matanya, “Mereka sudah menunggu daritadi. Diajak ngobrol di dalam sama Reza. Anak-anak disuruh diem jangan berisik.”

Remi mengangguk, “Yaudah, aku temuin sekarang ya.”

Ia langsung berjalan perlahan menuju ruangan Reza yang masih berada di dalam workspace Paradise Escape, beriringan dengan Eleana. Sambil berjalan, ditunggunya Eleana untuk mengucapkan sesuatu, tapi nihil.

Remi menoleh ke arah Eleana, “Ada sesuatu yang mau aku omongin. Soal semalam, aku mau minta maaf kalau mungkin bikin kam-“

“Nggak. Nanti aja ya, Rem. Jangan sekarang.”

Harapan Remi seakan kandas lagi, tapi ia hanya mengangguk. Eleana ada benarnya juga. Mungkin hal itu bisa dilakukannya nanti. Remi memfokuskan pikirannya untuk menyambut tamu penting yang sudah lama dinantikan oleh partner nya. 

Duo Kesatria harus berhasil ia bujuk untuk berkolaborasi. Jika ya, pamor untuk bisnis nya akan berkembang, dan The Factory akan mendapatkan reputasi lebih jika sampai menggaet seniman yang sedang naik daun, seperti Duo Kesatria.

Begitu sampai, Remi langsung membuka pintu kantor Reza. Beberapa pasang mata langsung menatap kearahnya.

“Nah, ini dia, yang sudah ditunggu-tunggu,” Reza kelihatan sangat sumringah begitu wajah Remi muncul. Ada Reza yang ditemani oleh Jordan, beserta salah satu partner Paradise Escape yang lain. Mereka kelihatannya sudah canggung berbasa-basi dengan tamu ini, hanya untuk mengulur waktu sampai Remi datang. 

Remi menoleh dan menemukan sepasang kakak beradik yang duduk di sofa tamu. Dipandanginya mereka, Duo Kesatria. Kedua kakak beradik itu bangkit berdiri begitu Remi masuk ke dalam ruangan.

Tanpa Remi duga, ia diperhadapkan kepada dua pemuda yang begitu tampan. Remi sudah pernah menemukan beberapa foto mereka di internet, tapi bertatap muka langsung tetap terasa lain. Kakak beradik ini sama-sama tinggi, dan meskipun tubuh mereka kurus seperti seniman yang kebanyakan bergadang, mereka berdua memiliki pundak yang bidang.

Keduanya jelas-jelas blasteran, meski Remi tidak bisa menebak campuran suku yang menjadikan mereka. Mereka bukan kembar identik, sehingga tidak akan sulit membedakan keduanya. Entah mengapa, meskipun aneh untuk Remi, mereka pun melakukan satu hal partikular yang biasa dilakukan oleh saudara kembar, yaitu: memakai baju kembaran. Kakak beradik Kesatria ini sama-sama menggunakan sweater putih polos.

Untungnya celana dan sepatu mereka berbeda. Kalau sampai sama, Remi akan mengecap mereka aneh dalam sekejap dan ia mungkin tidak masalah kalau sampai kolaborasi ini tidak jadi.

“Hai, maaf saya terlambat, tadi ada urusan mendesak,” Remi mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, “Perkenalkan, nama saya Remi.”

“Karel,” yang kelihatan lebih muda menjabat tangannya duluan, “Ya, kamu terlambat hampir sejam.”

Situasi berubah canggung. Semua orang terdiam. Tidak ada yang berani bersuara. Baru saja salah satu member dari Duo Kesatria… menegur Remi. Terang-terangan.

Remi menatap balik Karel. Karel memiliki wajah yang kekanak-kanakan, meskipun ekspresinya tajam. Rambutnya yang agak kepanjangan dikuncir kebelakang, dan di lehernya, ada kalung berwarna keperakan dengan lambang yang tidak Remi pahami.

Baru saja Remi hendak meminta maaf untuk kedua kalinya, kembaran Karel yang lain maju selangkah dan menegurnya, “Sudah, Karel.”

Ia menjabat tangan Remi, “Kalau saya Kaleb. Perkenalkan,”

Saudara yang kedua ini terlihat seperti kakaknya. Sebenarnya tidak penting mana yang kakak dan mana yang adik. Keduanya lahir pada saat yang sama. Tapi sudah terlihat jelas dari ekspresi dan cara mereka bersikap. Karel adalah yang lebih muda dan lebih berani, sementara Kaleb terlihat lebih kalem. Berbeda dengan Karel, ekspresi wajah Kaleb terlihat lebih kalem dan jarang berekspresi.

Tiba-tiba ada perasaan aneh yang muncul di hati Remi. Seperti sebuah firasat, soal Duo Kesatria ini. Remi tidak tahu persis apakah itu baik atau buruk, tapi buru-buru ditepisnya.

Lihat selengkapnya