Malaikat Jatuh

Jesselyn Abdisaputera
Chapter #22

Semua yang Salah

Remi

Tidak ada yang lebih sempurna dari apa yang dirasakannya sekarang. 

Dalam waktu kurang dari dua jam, ia akan resmi berusia tiga puluh tahun.

Sesuai dengan waktu ulang tahunnya, lagu ‘Malaikat Jatuh’ akan dirilis tepat jam dua belas malam, pada detik yang sama ia akan bertambah usia.

Tidak hanya itu, kejutan terakhir yang akan memperlengkapi kebahagiaannya pada momen ini, adalah Max yang akan meminta Miso untuk memilihnya menjadi pendamping seumur hidupnya.

Remi menatap kedepan. Semua orang yang disayanginya sedang berkumpul di balkon The Factory yang besar, waktu menunjukkan tepat pukul sepuluh malam. Acara ulang tahun Remi tidak diadakan besar-besaran, ia hanya mengundang Miso, Max, Reza, Jordan, Renata, Niki, beberapa rekannya yang berperan penting dalam perjalanan karir Remi di YouTube dan Paradise Escape, dan tentu saja, Eleana.

Karena sekalian untuk merayakan rilis lagu barunya, Remi sebenarnya mengajak Kaleb dan Karel Kesatria untuk ikut serta. Mereka awalnya terlihat antusias untuk ikut, tapi entah mengapa, kemarin sore mereka menghubungi Remi dan meminta maaf karena mendadak tidak bisa hadir. Tidak jelas alasannya mengapa. Tapi Remi berasumsi ada hubungannya dengan keluarga Ningratnya itu. Mungkin saja.

Tapi ia jadi sedikit senang. Mungkin malam ini ia bisa memandangi Eleana lebih lama. Kalau Tuhan berbaik hati dan ingin memberikannya kado ulang tahun, ia akan bisa mengobrol semalaman dengan gadis itu.

Balkon yang biasanya gelap kali ini disulap oleh Miso menjadi sebuah tempat asik dengan hiasan lampu fairy lights dimana-mana. Tersedia tempat duduk dan barberque pit sewaan, dengan stok daging dan sosis yang cukup memberi makan anak-anak satu desa. Kue tart besar berbentuk gitar sudah terletak di tengah, dengan lilin berbentuk 30 yang agak kelewat besar.

Semua temannya mengenakan kaos dan celana pendek dengan santai, tapi pesta seperti inilah yang justru diinginkan Remi. Dilihatnya Miso memarahi Max yang kebanyakkan memanggang sosis, sementara Max meresponi dengan mengecup kepala Miso.

Remi merasa lega. Sekesal-kesalnya Miso kepada Max, begitu dilihatnya Max berjalan masuk, hal pertama yang dilakukan Miso adalah berlari memeluknya. Pada akhirnya, perasaan cinta itu membuyarkan semua tanda keraguan. Remi yakin Miso akan menerima lamaran Max.

Remi tersenyum lagi sendiri. Ia terlalu bersemangat untuk malam ini.

Alam seakan memanggilnya untuk menoleh ke arah pintu, dan bersamaan dengan itu, masuklah Eleana. Remi mengambil waktunya, beberapa detik berharga yang ingin dilambat-lambatkannya, hanya untuk mempelajari figur wanita itu. Tapi Remi mengerutkan keningnya. Hari itu, Eleana terlihat lain.

Dimana lainnya, tidak bisa ia jelaskan. Raut wajah malaikatnya terlihat berat, kedua matanya seperti waswas.

Begitu ia melihat Remi, ia tersenyum cepat, seperti dipaksakan.

“Happy birthday! Eh, tapi belom jam dua belas yah, gak boleh, nanti pamali,” Eleana langsung berceletuk. Ia sudah kembali normal.

Remi mempelajari wajahnya, “Kamu nggak apa-apa?”

“Hah?”

“Kamu kelihatan sedih, atau tegang… kayaknya gitu. You okay?”

Eleana menggeleng, “Nggak kok. Mungkin kecapekan aja. Habis ngedit banyak foto barusan.”

Remi memperhatikan wajah gadis itu yang sudah tersenyum lebar. Daripada bertanya terus tanpa henti, lebih baik langsung ia hibur saja dia.

“Yuk, mau minum sesuatu?” tanya Remi. Ia melirik cool box sebesar speaker gitar yang berisikan minuman dingin.

Eleana mengangguk dan Remi mengambilkannya sekaleng bir. Keduanya berjalan perlahan mendekati ujung balkon, tempat persis dimana dulu mereka pernah berduaan setelah acara Anak-Anak Senar.

“Gimana perasaanmu sudah mau kepala tiga?” Eleana bertanya dengan nada kecil kepada Remi.

Dalam hatinya, Remi berterimakasih kepada kuasa manapun yang sudah menjawab doanya dengan cepat. Ia bisa berduaan dengan si Malaikat. Setiap detik, setiap lirikan kecil, dan setiap kata yang terbagi di antara keduanya terasa begitu berharga.

“Biasa aja.” jawab Remi singkat, “Aku udah gak lagi memberikan makna pada setiap ulang tahun. Setiap hari… kita kan sebenarnya semakin tua. Apa bedanya hari ini sama kemarin?”

Eleana malah tertawa, “Bener sih yang kamu omong. Tapi, dengan ada yang hari ulang tahun, kita kan dipaksa untuk merenungkan ulang… bagaimana kita sudah menjalani hidup selama setahun terakhir, siapa saja orang yang datang dan pergi di hidup kita. Kalo bertambah tua dihitungnya hari ke hari, kita gak akan bisa melihat dari garis besarnya. Makanya pas sekolah ambil rapot kan per semester,”

Remi mengangguk setuju, diam-diam terpikat oleh cara pandang Eleana terhadap waktu dan pertambahan usia. Malah sebenarnya, semua yang keluar dari mulut Eleana selalu bisa melepaskan kepenatan dalam jiwanya.

“Kamu sendiri, gimana? Rasanya aku belum sempat tanya perasaan kamu sejak gabung di Paradise Escape…” tanya Remi, kemudian meneguk minumannya.

Eleana melamun kedepan, perlahan tersenyum, “Nggak kusangka. Aku menikmati banget, satu per satu momennya.”

“Oh ya? Wah, bagus dong.”

“Iya, mungkin… selama sebulan terakhir ini, adalah momen paling seru dalam hidup aku. Kalau boleh jujur, rasanya gak rela kalau misalnya harus selesai hari ini.”

Remi meletakkan tangan di atas pundak Eleana, “Nggak dong. Kita semua masih punya banyak waktu kok. Kan cuma proyek ini yang selesai, kedepannya, akan ada pekerjaan yang lebih besar lagi.”

Eleana menoleh dan menatap Remi lebih lama. Apapun arti tatapan itu, ia tidak bisa menebaknya.

__________

Niki

Senyum di wajahnya merekah dan tidak berubah selama beberapa menit. Dipandanginya sekotak kado yang berada di pangkuannya. Untuk Remi.

Bingung harus membelikan apa, Niki memutuskan untuk melabuhkan pilihannya kepada Valeton Dapper Indie, multi-effects pedal gitar terbaru yang baru rilis minggu lalu. Ia yang tidak memahami gitar samasekali, harus bawel menanyai Miso dan Jordan. Semua perangkat gitar Remi tidak ada yang murah-murah, dan ia nyaris udah mempunyai semua senjata pemain gitar. Tapi keluaran yang terbaru ini sudah pasti belum dipunyai Remi, dan Miso ingat Remi pernah berceloteh ingin mencobanya.

Turun dari mobil ketika sampai di The Factory, ia langsung berlari kecil menuju kantor Remi. Kantor memang sudah kosong, satu-satunya area hidup adalah balkon yang menjadi lokasi pesta ulang tahun Remi.

Niki membuka pintu perlahan, memastikan kalau Remi tidak ada disana. Tersenyum jenaka, ia meletakkan kotak kado yang sudah dibungkus rapih dengan pita ke atas meja Remi. Ia tidak ingin memberikan kado tersebut di depan yang lain. Biar Remi saja yang nanti menemukannya sendiri, mau itu nanti subuh atau bahkan besok.

Baru saja ia hendak beranjak, mata Niki tanpa sengaja berhenti pada tumpukkan kertas di sudut meja. Meja Remi selalu bersih, dan baru kali ini ada kertas-kertas penuh tulisan yang ditumpuk di atasnya.

Mengerutkan kening, Niki pun penasaran. Ia mengambil satu lembar dan membacanya. Barulah disadari kalau tulisan-tulisan tersebut adalah penggalan puisi, kata demi kata yang menjadi lirik ‘Malaikat Jatuh’.

Tersenyum sediki, Niki menyadari kalau ada beberapa tulisan yang dicoret Remi, dan ada beberapa kata-kata puisi yang diubahnya ketika sudah memasuki proses rekaman. Coretan ini adalah ide-ide awal Remi.

Lihat selengkapnya