Remi
Semilir angin membuat bulu kuduk Remi berdiri begitu tersentuh dengan kulit. Masih di tepi balkon, Remi terduduk sendirian, melamun dalam kekosongan yang tiba-tiba mengisi penuh jiwanya. Bagaimana mungkin sesuatu yang kosong mengisi penuh sesuatu yang masih kosong? Remi pikir ia sudah mulai gila.
Ia mengangkat kepalanya dan melihat puluhan tamu dan temannya terduduk di tempat yang berjauh-jauhan, tidak ada yang saling menatap, semuanya terdiam menunduk. Beberapa dari mereka sedang ditanyai polisi, beberapa terduduk diam sambil menghirupi air teh, beberapa sudah entah dibawa kemana.
Apa yang barusan saja terjadi, tidak bisa diselami pikiran Remi saat ini. Tapi ada bagian dari otaknya yang masih bisa bekerja, dan mempersatukan semua kepingan perlahan.
Kehadiran polisi yang mendadak. Penyergapan. Ketika telinganya merekam suara seorang pria yang sempat berkata kepadanya, “Kami dari Badan Narkotika Nasional.”
Remi bengong lebih lama.
“Joshua Remiano,”
Remi menengok dan menemukan pria tegap yang tadi sedang menghampirinya, disebelahnya ada Eleana. Ekspresi lembut yang selalu menyelimuti wajahnya, berubah menjadi wajah wanita tegas dengan otoritas penuh. Rambutnya yang selalu digerai indah, diikatnya keatas, menghilangkan bingkai kepala yang tadinya membuat Remi membayangkannya seperti malaikat.
Tidak ada lagi malaikat itu.
Yang ada hanya seorang gadis berjaket kepolisian. Menatapnya balik.
“Perkenalkan, nama saya Evan Tirta. Ketua Unit Pemberantasan Narkoba, tim buru sergap.” Pria itu mengangkat lencananya, malah seakan memamerkan lengannya yang keras.
Remi diam saja.
“Ini sprin-nya,” Evan memberikan Remi selembar kertas yang ajak lecek.
“Sprin?” Remi menatap dengan bingung, suaranya tipis, nyaris hilang total.
“Maksudnya, surat perintah,” Eleana disampingnya, yang menjelaskan. Ia masih terus menatap Remi lurus-lurus.
“Mungkin anda masih bingung, tapi, biar saya jelaskan,” Evan membuka suara, “Sebelumnya saya minta maaf untuk semua ketidaknyamanannya. Tapi sudah enam bulan terakhir, kami dari BNN sudah mengamati pergerakan yang ada di The Factory. Kami punya sumber yang berkata kalau ada aktivitas penyimpanan, penyeludupan, bahkan transaksi narkoba, berupa sabu dan ganja, ditempatmu ini.”
Remi rasa kepalanya dijedutkan ke tembok keras.
“Enam bulan terakhir? Saya baru pindah kantor kesini bahkan gak sampai tiga bulan, Pak…” Remi berusaha menguatkan suaranya.
Evan mengangguk cepat, “Ya, memang aktivitas ini bukan dilakukan oleh kamu. Kami sudah memastikan. Tapi orang lain, orang dalam. Itu sebabnya… kami mengirim masuk seorang mata-mata, untuk mencari tahu…”
Remi menoleh, dan menatap kearah Eleana. Sudah tidak salah lagi.
“Sejak kapan?” Remi bertanya lirih.
“Tepatnya ketika tempat ini masih di renovasi, belum kamu tinggalin,” Eleana menjawab. Remi sedikit mencari nada suara lembut yang selalu menghiburnya. Tapi nada suara wanita yang satu ini malah terdengar terlalu tajam, tidak ada hangat-hangatnya, dan agak melengking sedikit. Kemana suara merdu bak bidadari itu?
Eleana melanjutkan, “Partner kamu di Paradise Escape, Reza Adigraha, berdua dengan sahabat kamu… Maximus Tedja. Mereka adalah dalang dari semua ini. Pemindahan barang, bahkan transaksi. Nggak cuma mereka yang terlibat, bahkan beberapa karyawan kamu, Remi. Yang bekerja disini hanya sebagai kedok.”
Remi mengulangi kejadian-kejadian saat dirinya baru menemukan lahan untuk The Factory. Bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya? Ketika Reza berkata bahwa lahan ini sangat sempurna, karena ada ruang bawah tanah yang katanya bisa dijadikan studio dan dark room untuk mencuci foto.
Tapi… Max, mana mungkin?
Max memakai, ia tahu, tapi mana mungkin Max melakukan hal sekotor itu tanpa sepengetahuannya? Menusuknya dari belakang? Max mana mungkin ikut menjadi bandar? Bagaimana caranya ia bisa melakukannya? Siapa yang mengajaknya?
“Evan, kamu bisa kasih kita waktu? Aku mau bicara berdua saja dengan Remi,” terdengar bisikan Eleana. Ia mendapatkan satu anggukan dari Evan, sebelum pria itu melangkah pergi untuk memberi keduanya privasi.
Remi tidak bisa merasakan apa-apa, ketika Eleana duduk di sebelahnya, menatapnya dari samping. Hanya keheningan yang mengisi untuk beberapa saat, tidak ada yang bersuara.
“Selamat ulang tahun ya,” Eleana melirik jam yang sudah menunjukkan pukul satu pagi, “Momennya gak menyenangkan. Aku bahkan gak menduga kalau Max mau melamar Miso hari ini. Aku benar-benar minta maaf udah merusak hari ini buat kamu.”
Tidak ada balasan untuk waktu yang lama. Eleana pun tidak menunggu, ia tidak berharap akan dijawab. Keheningan yang sangat panjang menciptakan jarak di antara mereka.
“Kamu nggak apa-apa, Josh?” Eleana membuka suara, “Kamu pernah bilang gak apa-apa untuk panggil kamu Joshua. Aku panggil kamu itu ya sekarang… aku mau bicara kepada kamu yang asli, bukan Remi yang kamu jadikan topeng.”
Remi menoleh. Tapi kembali tidak ada suara yang keluar. Hanya tatapan.
Eleana menghela napas, “Aku… mau minta maaf. Aku hadir di hidup kamu… memang sebenarnya adalah tugas yang harus aku selesaikan. Aku… adalah anggota dari unit buru sergapnya Evan. Ya istilahnya, tim gerebek…”
Hati Remi hancur berkeping-keping dengan pernyataan itu.
“Aku baru tahu kalau tim gerebek bisa pakai agen yang jadi mata-mata begitu. Kupikir cuma dil fim-film…”
Eleana jadi tertawa kecil, “Aku sudah berkali-kali nyamar. Dari belagak jadi bandar di pabrik ganja Lampung, jadi anak pak haji yang mondar-mandir masjid yang dibelakangnya ada rumah pengedar… sampai… jadi editor foto,”