Remi
Tidak pernah ada dalam imajinasi Remi, kalau The Factory suatu hari akan dipenuhi oleh polisi, anggota Badan Narkotika Nasional, penggeledah, bahkan wartawan berita yang sedari tadi subuh sudah berdiri di depan gerbang. Tapi kali ini wartawan datang bukan untuk meliput berita bagus, tapi berita yang siap diberi judul: “Jerit Histeris warnai penggerebekan gudang sabu di The Factory.”
Kantornya yang indah itu diisi dengan kehadiran manusia asing, menciptakan aroma campur-aduk yang membuat Remi merasa mual. Belum lagi beberapa pembatas ruangan yang menghalangi orang masuk, juga tak terhitung lagi garis kuning police line tertempel dia banyak bagian dan ruangan dari gedung The Factory yang megah.
The Factory.
Yang mempresentasikan mimpinya. Yang dulu ia sebut-sebut sebagai pusat kesenian, utopia seluruh anak yang ingin meluapkan kreativitas mereka dan menemukan komunitas.
Remi berjalan perlahan, mau meninggalkan kerumunan manusia di lobby. Ia masuk ke ruangan kantor pribadinya, memandangi seluruh isi ruangan yang sudah terasa berbeda dari sebelumnya. Meskipun barang-barangnya masih di tempat yang sama, ada banyak sobekan kertas di lantai. Remi mengenali itu sebagai kertas lirik dan ide awal ketika menulis puisi ‘Malaikat Jatuh’.
Tawa meledak. Ia tertawa sekeras-kerasnya sendirian, merasa sudah kehilangan akal sehatnya mendadak.
Ia kemudian jatuh terduduk di lantai, menatap kedepan tanpa memperhatikan apapun.
Sekarang ada dimana dia? Ia merasa seperti kembali ke titik nol. Tidak tahu harus kemana, tidak tahu harus mencari siapa.
Dulu, ia tahu harus kemana. Max.
Perlahan hatinya berubah pahit. Ia membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangannya yang panas.
“Jojos?”
Remi mengangkat wajahnya dengan cepat. Panggilan itu. Bukan hanya nama depan “Joshua” yang bisa mengejutkannya, tapi secara khusus panggilan itu.
Jojos.
Seumur hidupnya, hanya ada satu orang yang memanggilnya Jojos. Suara itu, begitu familier. Sampai mendengarnya barusan, Remi tidak sadar kalau ia begitu merindukan perasaan dipanggil olehnya.
Remi menoleh lambat, dan menemukan ayahnya berdiri di depan pintu yang terbuka. Sedang menatapnya lurus, tapi ada kekhawatiran yang terpancar dari kerutan di dahi.
“Jojos,” Darius mendadak kehilangan kata-kata yang sudah dipersiapkannya sedari tadi.
Remi, tiba-tiba merasa menemukan kepingan dari dirinya yang sudah lama terhilang. Tapi bukan seperti ketika menemukan malaikat jatuh. Malah rasanya seperti menemukan dirinya sendiri, yang hanya sejauh nama depannya. Joshua.
“Ya, Pa…”
Dan begitulah, dalam sekejap, jiwa Remi terasa kembali utuh.
__________
Dua gelas kopi panas ternyata tidak cukup hangat untuk mencairkan ketegangan yang malah mendingin. Di halaman rumah masa kecilnya, kini Remi duduk berdua dengan Darius, ayahnya. Ia tidak tahu apa yang membuatnya bisa kembali kesana.