Kampung Keling adalah kampung yang terkenal sebagai kampung pemulung. letak kampung tersebut berdekatan dengan TPS, yaitu tempat pembuangan sampah. Hal tersebut membuat penghuni kampung memanfaatkannya dan menjadikan sampah sebagai ladang usaha mereka. Jangan heran bila setiap hari di TPS tersebut penuh dengan banyak orang. Tua, muda dan anak-anak seolah menjadi sebuah pemandangan biasa berada di tempat pembuangan sampah tersebut.
Cavero diturunkan di wilayah Keling, dia menyandang satu ransel berisi barang pribadinya. Ayahnya membolehkannya membawa barang pribadi sebatas pakaian, jam tangan, handphone dan selimut. Sisanya, dia tidak boleh membawa harta bendanya. Ditangan Cavero—atau lebih tepatnya-di dalam dompetnya terdapat uang satu juta rupiah, bekal bertahan hidup.
Luar biasa! Ucap Cavero dalam hati. Satu juta biasanya hanya habis untuk beberapa jam saja, dan kini dia harus bertahan hidup dengan uang satu juta di tangan.
Ayahnya tidak melarang Cavero membawa gawai mahal miliknya, namun semua tabungannya terblokir tidak bisa digunakan. Kartu-kartu sakti miliknya yang tanpa limit sekarang hanya berupa benda mati tak berguna. Cavero hanya ditinggalkan dengan dirinya sendiri, sedikit barang, sedikit uang.
“Gunakan otakmu untuk bertahan hidup,” pesan sang ayah sebelum dia berangkat keluar rumah, “Aku dahulu hidup pun tanpa harta berlimpah ini. setiap manusia dibekali kemampuan beradaptasi. Maka beradaptasilah!”
Ayah Sialan! Rutuk Cavero. Dalam kondisi marah dan letih karena harus bertemu langsung dengan panasnya matahari membuat Cavero gampang haus. Kemudian dia berjalan mencari penjual di pinggir jalan, toh dia masih bisa hidup dengan uang satu juta tersebut.
Kawasan kumuh yang dilaluinya menguarkan bau busuk sampah, pemandangan tersebut sempat membuat pemuda dengan wajah tampan itu mengernyitkan kening. Tidak sedikitpun tersirat dalam kepalanya pemandangan kotor itu. kini seluas matanya memandang hanya ada hamparan sampah dan anak-anak yang bermain di sampingnya dengan gembira.
Orang tua anak-anak itu pasti gila, atau tidak waras. Apa mereka tidak tahu betapa bau dan kotornya gunungan sampah tersebut. Mengapa mereka bisa membiarkan anak-anaknya bermain di tempat tersebut. Tidak layak, banyak penyakit dan penuh dengan kebusukan.
Rasa haus semakin menggoyang dahaganya. Belum lama berdiri di tengah terik tubuhnya sudah berkeringat. Pemuda itu mengusap keningnya, lalu berjalan tertatih mencari. Matanya nyalang berkelana. Kali-kali aja dia menemukan sebuah café di dekat tempat tersebut. Alih-alih harapannya terwujud, Cavero mendapati sebuah kios dari gerobak nangkring di pinggiran jalan tidak jauh dari arah jalan raya. Warna kios tersebut putih, ada terpal yang menutupi satu meter ke depan dan sebuah bangku panjang tersampir di sisi Kios.
Cavero mendekat dan melihat pemilik kios, seorang lelaki paruh baya sedang membuka sebuah box berwarna merah yang didalamnya terdapat batu es dan beragam minuman dingin. Air liur pemuda rambut ikal itu tergerak. Dia mengeguk liurnya sendiri.
“Pak, minuman dingin satu.” Kata Cavero pada lelaki paruh baya bernama Anas tersebut.
“Mineral, soda atau teh?” tanya Anas.
“Air mineral saja.” tegas Cavero, bibirnya sudah terasa kering disesap oleh panas mentari.