Malaikat Tanpa Sayap

Dewi sartika
Chapter #4

BAB 4 Kisah Malik

Supir keluarga Gunandra menghentikan mobilnya pada sebuah tempat asri di atas bukit. Rumah itu besar, tampak terpampang jelas tulisan di depan rumah tersebut, dengan huruf besar-besar, RUMAH LANSIA. Malik keluar dari mobil, memperhatikan tulisan tersebut sambil berdecih. Siapa sangka taruhan telah membawanya ke tempat tersebut. Malik menaikkan tas ransel miliknya dan disampirkan di pundak, masih dengan posisi dipegang.

“Mas Malik, saya tinggal dulu ya.” Kata supir mereka.

“Iya, dan tolong bilang pada papa, aku akan bertahan disini sesuai dengan harapannya.” Ucap pemuda tersebut pada sang supir sebelum mobil tersebut berlalu meninggalkannya, sendirian di depan rumah panti jompo tersebut.

Panti jompo itu mengambil rumah gaya eropa, dengan pilar pilar besar yang berbentuk bulat. Terdiri dari tiga tingkat dengan jendela-jendela besar yang ditempeli sebuah beranda pendek dengan pagar teralis kuat berwarna hijau. Malik mengamati sekitarnya, tanaman Akasia tumbuh subur dipelataran rumah, rumput-rumput hijau terlihat tercukur pendek dengan semak-semak perdu yang disusun indah.

Malik menarik napas, menikmati aroma udara dari atas bukit yang tentu lebih segar dibandingkan di kota. Lalu, dengan percaya diri lelaki tersebut masuk ke dalam rumah tersebut.

Di dalam rumah, yang pertama kali ditemui Malik adalah sebuah meja panjang berwarna putih. Tampak dua orang berdiri di depan meja panjang tersebut. Malik mendekat ke arah meja tersebut, menepuk meja dengan santai yang kemudian disambut oleh perempuan berbaju putih di depannya.

“Ada yang bisa saya bantu Kak?” tanya perempuan itu dengan sopan.

“Ya,” Malik segera mengeluarkan amplop putih dari balik sakunya, lantas memberikannya pada resepsionis, “Ini, bisa diberikan pada manager tempat ini.”

Perempuan cantik dengan kacamata tersebut segera menerima amplop, lantas berniat membukanya, tapi niatnya tertahan karena pemuda itu sudah menghentikan tangan perempuan tersebut.

“Jangan dibuka nona, tidak sopan.” katanya sambil mengedip.

“Maaf kak, surat yang masuk ke sini harus diperiksa dulu.” ujar perempuan itu sambil mencoba menyingkirkan tangan Malik yang masih menyentuh lengannya.

“Gini aja, sebaiknya nona kasih surat itu pada atasan nona, bilang surat dari Sadam Gunandra.”

Perempuan itu mengernyitkan keningnya ketika mendengar nama Sadam Gunandra. Nama itu familiar, tertera pada sebuah piagam di salah satu sudut mati di dalam ruangan RUMAH LANSIA. Akhirnya, dengan ragu perempuan itu melihat ke arah kawannya, mereka saling melirik dan berbicara bahasa isyarat lewat mata.

“Baiklah Kak, mohon ditunggu, saya akan panggilkan manager.” Ucap gadis itu akhirnya.

 Perempuan berambut model bob tersebut mengangkat gagang telepon dan berbicara di telepon. Tidak berapa lama, setelah berbicara dengan suara pelan, gadis itu meletakkan teleponnya dan keluar dari sisi meja, tangannya dengan sopan terulur menunjuk pintu di sisi lain tempat tersebut.

“Silahkan kak, sebelah sini,” katanya.

Malik mengikuti perempuan resepsionis tersebut, sesekali pandangan matanya beredar pada sekelilingnya, memperhatikan apa-apa yang bisa ditangkap dengan bola matanya yang berwarna cokelat.

Gadis yang berada di depan Malik mengetuk pintu sebuah pintu, tampak terlihat tulisan tersampir di sisi pintu. Tidak beberapa lama, suara mempesilahkan masuk terdengar dari dalam ruangan. Gadis tersebut membukanya lalu kemudian mempersilahkan Malik untuk masuk ke dalam celah pintu yang hanya terbuka separuh.

Malik membuka pintu, dan menemukan sebuah ruangan sederhana yang terdiri dari dua sofa, satu meja dan sebuah meja kantor lengkap dengan peralatan tulis diatasnya. Dari balik meja berdiri seorang wanita, usianya lumayan senja. Dia tampak sumringah, segera mendekat dengan ramah dan mengulurkan tangan pada si bujang Gunandra. Pemuda bermata cokelat tersebut menerima uluran tangan wanita paruh baya itu.

Lihat selengkapnya