Cavero menatapi atap yang demikian dekat dengan kepalanya. Bukan salah dia tentunya terlahir dengan tubuh tinggi warisan dari ibundanya. Tinggi Cavero 185 Cm, sedang atap rumah tersebut seukuran 192 cm, hanya berjarak tujuh senti meter.
Wuih, keluh hati Cavero, dia seperti berada dirumah liliput, dan kehidupan liliput tersebut seolah berlanjut. Di hadapannya seorang wanita tua dengan rambut digelung kebelakang dengan rambut depan yang awut-awutan. Perempuan tua tersebut terkejut ketika Cavero masuk, dia buru-buru mengambil kain berwarna putih dan disampirkan ke kepalanya, menutupi separuh rambutnya, sedang sisanya menjulur keluar.
“Mak, ini Om ini yang punya tas ransel itu,” ucap Widya.
“Oh. Aduh, kok malah di bawa ke sini Wid. Kan udah kita bahas, kita enggak bisa ganti kehilangan di dalam tas itu.” wajah perempuan bernama Mutia terlihat gugup dan ketakutan.
“Dia bilang butuh tempat tidur malam ini. katanya dia enggak akan memperpanjang masalah tas itu,” terang gadis kerempeng itu, membuat Cavero sedikit mengedik, dia tidak merasa melakukan perjanjian tersebut, ketika Cavero hendak menyela, Widya sudah menatapnya dan mengedipkan mata berkompromi.
“Benarkah, aduh syukurlah kalau begitu,” Mutia mengelus dadanya, merasa lega. Sudah cukuplah hidupnya dengan serba kekurangan, jangan pula ditambahi dengan masalah hutang yang tidak pernah dilakukannya.
Widya langsung menarik tangan Cavero, supaya tidak banyak berbasa basi dengan ibunya. Cavero mengikuti, sedikit tersandung, lalu kepalanya terbentur palang atap, rasanya nano-nano. Dibawanya lelaki tampan tersebut ke sebuah pintu kamar yang kondisinya miring, sepertinya tidak bisa tertutup lagi dengan benar. Widya langsung membuka pintu dan dihadapan Cavero terpampang pemandangan kamar kusut dengan kasur tipis yang dipasangi kain seprai tambalan aneka warna. Bau apek menguar diudara, berkat sirlukasi tidak sempurna di kamar itu akibat tiada berjendela.
“Ini kamar adikku, Ropi. Dia lagi ke luar tadi, sebentar lagi anak itu pulang. Om tidur sama dia, memang sempit sih, kasurnya gitu aja, tapi lebih baik kan daripada alas kardus.” Ucap Widya.
Cavero sebenarnya ingin menyemprot gadis kurus itu. Sudah membuat dia kehilangan hartanya yang Cuma secuil kini menempatkan pemuda setampan Cavero yang sangat suka kebersihan pada tempat kotor, bau apek dan kecil. pemuda itu tidak bisa membayangkan harus membaringkan dirinya pada kasur tipis dengan alas kasur beraneka warna dijahit secara serampangan. Belum lagi bau yang tidak pernah dikenalinya seumur hidup. Cavero bergidik sendiri ketika menciumi bau tidak enak ini. dibilang bau sampah, berbeda, bau tanah juga bukan, bau apa ini sebenarnya?