Harusnya malam itu Cavero bisa tidur nyenyak—itu idealnya—tapi Ya Tuhan, yang benar saja. kasur tipis, ada tumila (kutu busuk) debu dan pengap, hal begini bikin Cavero terjaga sepanjang malam. Rasa gatal, jangan tanya. Beberapa kali pemuda itu menggaruk siku, pipi, lengan perut bahkan kakinya pun di serang. Semula Cavero menyangka itu nyamuk, tapi rasa gatalnya berbeda. Lama dan bentolnya besar.
Ropi yang tidur disebelahnya terbangun, menguap dan mata masih terpejam, “Kenapa Om?” tanyanya setengah tertidur.
“Gatel!” seru Cavero yang masih juga terjaga dan tidak bisa mengantuk.
“Oh, itu tumila.” Sahut Ropi lalu kemudian membalikkan badan dan kembali tidur.
Tumila? Apa pula itu? seumur hidup Cavero tidak pernah mendengar kata tumila. Tidak tahan dengan gatal dan pertanyaan, Cavero pun bertanya, “Tumila itu apa?”
Ropi yang sudah jatuh terlelap tidak mendengar ucapan Cavero, malah napasnya teratur naik dan turun.
Cavero bertanya lagi, “Eh, bocah! Tumila itu apa?!”
Ropi yang kaget karena disentak oleh Cavero dengan gerakan menggoyang kencang, merasa kesal. Bagaimana mungkin om disampingnya ini tidak tahu arti tumila. Karena malas menjelaskan, Ropi menjawab asal, “Itu monster malam yang suka gigit-gigit om ganteng. Memang genit itu tumila…” lalu Ropi kembali memutar tubuhnya, membelakangi Cavero dan cuek dengan jawabannya yang mengundang kerutan di dahi Cavero sampai berlipat tiga.
Cavero tidak tahan, pemuda itu lantas duduk lalu berdiri dan keluar dari kamar bau apek tersebut. Heran, bagaimana manusia bisa tidur dengan nyaman seperti itu? pikir pemuda itu. Dia keluar dan mendapati ruangan terang pada ruang depan. Cavero bingung menyebutkan ruang tersebut, karena tidak ada tempat duduk, hanya meja tua di taruh dipinggir secara asal. Lantai semen dingin dan gompel sana-sini membuat permukaan tidak rata. Kalau tidak hati-hati bisa tersandung.
Tampak Widya sedang membaca. Lampu yang meneranginya hanya 5 watt saja, dan itupun lampunya ditarik sampai dekat dengan tempat dia duduk. Sepertinya gadis belia itu tengah membaca buku dengan serius.
Ketika mendengar pintu kamar anak cowok terbuka, Widya langsung menoleh dan heran melihat Om tampan keluar dari kamar.
“Belum tidur?” mereka berdua bertanya bersamaan. Keduanya terkejut, Cavero tersipu, begitupun Widya.
“Enggak bisa tidur, gatel.” Cavero menjawab pertanyaan tadi. Tangannya masih saja menggaruk sana dan sini pada sisi tubuhnya.
“Oh, nyamuk?”
“Bisa jadi. Tapi adikmu tadi bilang tumila.”
“Ow,” Widya mengangguk. dia mengasihani Cavero karena tahu bahwa sekali tumila menyerang seseorang, binatang itu tidak akan berhenti karena sudah hapal dengan bau orang yang bersangkutan.